Chereads / Trapped in Love in The Game / Chapter 14 - Beda pemahaman

Chapter 14 - Beda pemahaman

"Aku sungguh tidak mengerti! Kenapa saat di kampus aku harus pura-pura tidak mengenalimu padahal kita tinggal bersama? Kau tahu aku tidur, bangun, mandi dan segalanya."

"Tuan ... kata-katamu ...."

"Aku juga tidak mengerti. Aku pikir jika kau satu sekolah denganku, mungkin aku akan terus ke kelasmu. Lalu aku bisa meminta kau mengerjakan tugasku, lalu-"

"Tuan Gabriel, anda bisa dimarahi jika benar tak mengerjakan tugas sendiri."

"Benar kan, Gab?! Kau juga tidak mengerti pola pikir Gwen, kan?"

"Ya!"

"Aku yang tidak mengerti dengan pola pikir kalian!" teriak Casey dalam hati. Mulai depresi menghadapi kedua pria di depannya ini. Di dunia belah mana seorang majikan ingin berteman akrab dengan pelayannya saat di luar rumah? Kenapa Eric dan Gabriel tidak mengerti jika mereka begitu terkenal dan disukai oleh seluruh wanita yang ada di muka bumi? Para wanita itu pasti akan mencaci maki dirinya, karena merasa iri. Casey hanya butuh ketenangan, sebenarnya ia ingin protes pada pencipta game ini. Bisakah dia menghindari salah satu plot cerita yang menurutnya sangat tidak cocok dengan kepribadiannya. Walaupun plot tersebut lumayan penting, tetapi jika ia terjun secara langsung tentu tidak nyaman untuknya. Casey hanya bisa menghela napas panjang, mengasihani diri sendiri.

Eric memajukan bibirnya, memasang ekspresi sedih. "Aku kecewa sekali. Padahal aku yang membantumu bisa masuk ke universitas terbaik itu." Air mata palsu dikeluarkan. Bahkan Gabriel langsung memahami akting kakaknya, pria itu langsung merangkul Eric seraya menatap Gwen dengan tatapan sendu.

"Ternyata Gwen tidak mau mengakui kita di luar, Eric. Kita harus mengerti."

"Bocah gila, mereka kenapa pintar sekali bersandiwara! Mereka seharusnya menjadi aktor seperti Luke!" batin Casey.

"B—bukan seperti itu, Tuan! Kalian salah paham," sahut Casey. Ia melirik jam dan menunjukkan pukul tujuh malam. Kira-kira sekitar satu jam lagi Noel akan pulang. Sedangkan Luke tidak pernah pasti akan pulang kapan. Sudah satu setengah jam dirinya menghadapi dua tuan mudanya ini.

Awal kejadiannya adalah saat dirinya baru saja pulang dari pengenalan kampus menggunakan bus umum. Baru saja membersihkan tubuhnya yang terasa sedikit lengket sekaligus merelaksasikan tubuh dan pikirannya, tuan mudanya itu mengetuk pintu kamar.

Karena Casey pikir orang tersebut adalah Asylin atau pelayan lain jadi ia membuka pintu kamar hanya dengan balutan handuk yang menutupi tubuh telanjangnya. Masih terbayang seperti apa malunya, apalagi wajah pria itu yang sebelumnya polos dan langsung tergantikan pipinya yang semakin memerah saat sudah mengetahui kondisi saat itu, sama halnya dengan wajah Casey. Gadis itu langsung saja membanting pintu, tak mempedulikan sikapnya yang terbilang tidak sopan di hadapan majikannya.

Rasa malu nomor satu, katanya.

Setelahnya Eric menarik Casey ke ruang keluarga. Di sana sudah ada Gabriel yang sedang asik melihat majalah-majalah dengan cover bagian depan wajah dirinya sendiri. Casey benar-benar diprotes oleh Eric. Gabriel tentu saja ikut masuk ke dalam obrolan, pria itu tidak mau terlewatkan.

"Jadi? Kita bisa bersikap biasa saja, kan?"

"Sebenarnya saya bisa, Tuan. Tapi saya takut dengan perkataan orang-orang di luar sana. Mereka akan ... um, bicara yang tidak-tidak, mungkin?"

Eric menautkan alisnya, kepalanya ia miringkan sedikit. "Huh? Selama ini aku berteman dengan siapa saja tidak pernah ada yang seperti itu."

"Gwen tipe yang terlalu memikirkan apa kata orang, ya," sahut Gabriel.

"Ahaha ... ya, seperti itu ...."

"Lagipula kenapa kau sudah yakin akan terjadi seperti yang kau bilang? Memangnya kau datang dari masa depan?" cerocos Eric tanpa henti.

"Ya, aku tahu! Katakanlah aku dari masa depan!" pikir Casey.

"Hanya berfirasat ...." dalih Casey tanpa menatap kedua pria tersebut. Ia mulai tidak nyaman berada di posisi ini. Dirinya juga takut jika tiba-tiba Noel pulang. Pasti akan semakin rumit.

Ia ingin segera kembali ke kamar untuk memikirkan langkah yang harus ia ambil ke depannya.

"Tetap aku tidak mau." Eric tetap bersikukuh. Casey rasanya ingin berteriak sekencang-kencangnya. Dirinya pikir, Eric akan mengerti.

Gabriel menghela napas pelan. Mulai jengah dengan pertengkaran yang tak ada habisnya. "Sudahlah, Eric. Kau tidak akan mengerti dengan posisi Gwen. Mungkin nanti orang-orang akan menyerang Gwen karena tak suka dengan kedekatan kalian."

Casey menatap Gabriel dengan binar di matanya. Terharu karena pria paling muda di keluarga Wilson ini ternyata lebih mengerti apa yang ia maksud. Ingin rasanya Casey bersujud di depan pria itu.

"Tapi sampai saat ini tidak ada yang seperti itu, Gab???"

"Sudah kubilang kau kan tidak berada di posisi korban! Jadi tidak akan tahu!" Gabriel memukul kepala Eric dengan santai.

"Kau berani-beraninya!" protes Eric. Memegang kepalanya seraya mendelik kesal pada Gabriel.

"Kau sih terlalu bodoh, segini saja kau tidak mengerti! Kau menyogok kampus dengan uang Noel, kan?!"

"Brengsek! Kau tidak melihat buktinya, huh? Gwen bahkan bisa lolos berkat aku!"

"Itu karena Gwen sudah pintar dari awal!"

"Tuan, kumohon berhenti bertengkar ...." Alis Casey sudah berkedut. Kedua pria ini lebih sering bertengkar daripada akur. Seperti kucing dan anjing. Persentasenya lebih besar jika tidak ada Noel apalagi jika pertengkaran tersebut ditambah dengan adanya Luke. Padahal pria dingin itu kakak tertua di sini, tetapi emosinya selalu tak bisa ditahan. Karena itu jika mereka bertengkar, sungguh triple combo yang bisa memecah kehidupan nusa dan bangsa. Hanya Noel lah yang bisa menghentikan mereka.

"Ada apa ini?"

Glek!

Baru dibicarakan!

Casey menoleh ke belakang dengan patah-patah. Sedikit enggan untuk mengetahui siapa pemilik suara tersebut. Suara berat dan tegas pria dewasa yang seakan bisa membuat siapa pun bertekuk lutut langsung di hadapannya. Sebelas dua belas dengan kakak tertuanya, Luke.

Dan inilah pria tipe charming, kini sudah pulang.

"Kak Noel! Selamat datang! Pasti lelah sekali, ya?" Gabriel menghentikkan pertengkarannya lebih dulu. Memasang senyum semanis gula kepada kakak keduanya itu.

Noel hanya berdeham meresponnya seraya menjatuhkan dirinya di sofa. Dasinya ia longgarkan agar bisa bernapas lebih lega. Casey menahan napasnya seraya memalingkan tatapan ke arah guci sudut ruangan saat Noel menatap dirinya. Seakan guci lebih nikmat dipandang dibandingkan pria seperti Noel.

"Kalian sedang membahas apa? Bagaimana kuliahmu, Gwen?" tanya Noel.

"M—menyenangkan, Tuan," jawab Casey seraya tersenyum.

"Eric memandumu dengan baik?"

Casey mengangguk. Sedangkan Eric seperti tak tertarik dengan arah pembicaraannya. Bibirnya terus maju, seakan sedang merajuk. Pria itu masih kesal karena dilarang untuk bertegur sapa dengan Gwen saat di kampus. Dia pikir itu terlalu berlebihan, lagipula jika memang terjadi Eric siap untuk menjadi tameng bahkan menjadi pahlawan untuk gadis itu. Tapi ia benar-benar yakin seratus persen tetap tidak akan terjadi. Lagipula semua tahu dia siapa, pasti tidak ada yang berani berbuat jahat padanya. Eric terkenal sebagai malaikat di kampusnya. Semua orang segan terhadapnya.

Seharusnya.

Noel sadar dengan sikap Eric yang terus diam, ia melirik adiknya itu kemudian memegang paha Eric membuat korban sedikit kaget.

"K—kenapa? tanya Eric.

"Kau yang kenapa? Kau hanya bertengkar biasa dengan Gabriel, kan? Tidak dengan Gwen?"

"Kami tidak bertengkar, Tuan! Tidak mungkin!" Gwen lebih dulu bicara.

Wajah Eric yang mulanya datar, kini mengangkat kedua ujung bibirnya. Tersenyum manis hingga kedua matanya hanya nampak segaris lurus. "Tidak mungkin aku bertengkar dengan Gwen, Kak. Sudah ya, aku kembali ke kamar. Besok aku harus berangkat lebih pagi," pamit Eric seraya bangkit dari duduknya meninggalkan ruang keluarga tersebut.

"Kalian juga lebih baik kembali ke kamar. Istirahatlah," ujar Noel.

Gwen mengangguk. "Kalau begitu selamat malam, Tuan. Selamat beristirahat."

Gwen melangkahkan kakinya dengan pikiran yang begitu kalut. Mau dilihat bagaimanapun, Eric marah padanya. Casey kembali bertanya pada dirinya apakah sikapnya terlalu berlebihan. Ia bahkan masih tidak tahu akan berjalan melenceng dari alur cerita sebelumnya atau tidak. Namun jika memang hal ini berhasil, setidaknya ia bisa menghindari drama perkuliahan dengan satu orang tersebut, mungkin.

Casey sungguh ingin menghindar dari orang itu.

Untuk sekarang ia lebih baik menulis catatan harian lalu tidur.