"Wah! Kita satu kelas lagi ternyata, Gwen!
"Gwen, ayo kita satu kelompok!"
"Ah, sepertinya ini terlalu sulit untukku, ada yang mau membantuku?"
"Gwen, maaf ... tadi malam aku ketiduran, akan kukerjakan malam ini, aku janji tidak ketiduran!"
"Gwen ... kemarin aku menghadiri pemakaman salah satu kerabat jauh keluargaku, aku lupa untuk memberitahumu ... apa tugasnya sudah dikumpulkan?"
Lagi, lagi, dan lagi.
Apa yang ditakutkan dan dihindari Casey tetap terjadi.
Erica selalu mengikuti ke mana pun dirinya pergi. Kehidupan aman, damai, dan tentram Casey di kampus hanya seminggu saja saat acara pengenalan kampus. Dan ternyata hampir semua kelas yang Casey ambil sama dengan gadis itu. Casey yang introvert, energinya sering terkuras habis karena selalu di samping Erica yang selalu dikelilingi banyak orang. Gadis cantik itu terlalu terang hingga membuat Casey meredup, bahkan terlihat seperti bayangan.
Ternyata Casey tetap hanyalah sebagai Gwen Valerian si heroine yang tidak banyak memberontak dan selalu patuh pada siapa pun bagaikan anjing kepada majikannya.
Tidak! Casey tidak mau seperti itu! Casey sudah mewanti-wanti jika ada sesuatu yang tidak beres, ia akan melawan. Tak mau nasibnya tertindas seperti heroine aslinya.
"Erica, tugas bagianmu sudah selesai? Kau bilang hari ini seharusnya sudah," tanya Casey setelah pergantian kelas. Setiap ada tugas kelompok, Erica selalu ingin bersama Casey. Sebenarnya Casey enggan, apalagi Erica selalu menarik orang-orang yang tidak bisa diajak kerja sama. Erica sendiri bahkan sama sulitnya.
"Gwen, maaf! Aku sedikit tidak enak badan, bahkan hari ini sebenarnya orang tuaku menyuruhku untuk tidak masuk dulu," jawab Erica beralasan dengan raut wajah yang pucat dan sedih seolah merasa bersalah. Casey hanya bisa memandangnya datar, karena ini sudah kesekian kalinya gadis itu membuat banyak alasan yang sudah tak masuk akal bagi Casey.
"Kau baik-baik saja? Seharusnya tidak usah dipaksakan, Erica," ujar Liana salah satu anggota yang lain. Mengusap punggung Erica dengan lembut, terlihat khawatir pada gadis yang sudah dianggap bunga fakultas arsitektur.
"Lebih baik kau istirahat, biar aku yang mengerjakan,"
"Itu tidak perlu, Tier! Kemarin saja kau sudah menggantikanku," tolak Erica pada lelaki berambut gondrong tersebut. "Aku pasti sudah banyak merepotkan kalian."
'Sadar diri juga, kau,' batin Casey masih enggan untuk berbicara lagi.
"Sama sekali tidak! Kita kan satu tim, jadi sudah wajar!" Pria bernama Tier masih berusaha meyakinkan. Casey masih terus memandang Erica yang kini menimbang-nimbang perkataan dari Tier. Sebelum gadis itu mengeluarkan kata-kata manis, Casey lebih baik segera berkata.
"Waktunya masih ada tiga hari, kau masih bisa menepati janjimu, kan, Erica?" tanya Casey seraya menempelkan punggung tangannya ke dahi Erica. "Kau tidak demam ternyata, pasti sakitnya tidak akan lama. Cepat sembuh, temanku," ujar Casey dengan tatapan mengkhawatirkan. Casey ingin tertawa saat raut wajah Erica terlihat kaget karena sikapnya yang tiba-tiba.
"O—oh, iya ... terima kasih, Gwen."
"Hei, tapi kasihan Erica dia sedang sakit. Tidakkah kau terlalu keras padanya?" Tier membela. Casey beralih menatap Tier dengan tatapan datar hingga membuat pria itu sekilas takut.
"Daripada itu, Tier, aku sudah memeriksa hasil tugasmu dan Liana, masih ada yang menurutku kurang. Bisakah kalian perbaiki lalu kirimkan lagi malam ini?" tanya Casey kini tersenyum tipis. Karena jika wajahnya terus terlihat datar, ia akan terkesan dingin dan tak berperasaan. Ia juga tak mau terlihat seperti ketua kelompok yang jahat dan kerjanya hanya menyuruh ini dan itu. Bahkan dari awal ia sudah banyak bersikap sabar, membiarkan para anggotanya seenaknya. Membiarkan mereka mengerjakan tugas asal-asalan dan akan ia perbaiki lagi untuk dikirim ke dosen. Sedangkan tugas Erica hanya menjadi beban kelompok.
Casey heran, kenapa orang-orang seperti mereka bisa masuk ke kampus ini.
"Ah ... aku tidak janji, malam ini aku ada urusan," sahut Liana.
"Aku juga, ada pertandingan basket jalanan ...," timpal Tier seraya mengusap tengkuknya. Casey hanya bisa tersenyum dengan alasan mereka. Apalagi Tier, memangnya basket jalanan lebih penting dari tugasnya apa? Namun, Casey tidak bisa protes. Hal ini sudah biasa untuknya, ia akan lebih lelah beradu mulut dengan mereka dibandingkan merevisi tugas yang dikirim.
"Baiklah, tidak apa-apa."
Tier dan Liana pamit entah ke mana dan kini hanya tinggal mereka berdua. Casey beralih menatap Erica.
"Erica, kau akan membantuku, kan? Aku tidak mungkin mengerjakan ini sendirian," mohon Casey dengan tatapan yang dibuat menjadi sendu.
"Tentu saja! Malam ini akan kukerjakan," ujar Erica, tersenyum paksa.
"Sungguh? Aku jadi kepikiran apa yang dikatakan Tier itu benar, apa aku benar-benar keras padamu?"
Erica menggeleng cepat lalu memeluk Casey. "Sama sekali tidak! Aku yang minta maaf karena telah merepotkan kalian."
Seulas senyum miring terpatri di wajah Casey, ia mengelus punggung gadis cantik itu dengan lembut. "Tidak apa-apa, Erica. Aku mengerti kondisimu."
Sedangkan Erica, raut wajahnya sedikit menyeramkan karena menahan emosi. Ia mengepalkan tangannya dengan kuat. Rencana yang ia lakukan tidak berjalan lancar. Casey sudah tak membiarkan dirinya bersikap seenaknya seperti hari-hari sebelumnya. Bahkan sikap Casey seperti menginjak harga dirinya saat ini.
Setelah pelukan ini lepas mereka berdua akan kembali memasang wajah palsu. Sama-sama merancang berbagai rencana untuk bisa menjatuhkan satu sama lain.
Erica melepaskan pelukan tersebut lebih dulu. "Oh, tidak! Nanti kau tertular dariku!" seru Erica seraya menutup mulutnya.
Casey hanya meresponnya dengan terkekeh pelan.
***
Eric baru saja keluar dari ruangan dosen untuk mengingatkan kelas yang sebentar lagi akan dimulai karena pria itu dari tahun pertama kuliah selalu menjadi penanggung jawab kelas. Kehidupannya di kampus selalu sibuk, selalu mencoba aktif ke mana pun selama itu hal yang positif. Ia tidak mau kalah hebatnya seperti kedua kakaknya mau pun adiknya. Mengingat Luke sebagai kakak pertama adalah aktor terkenal, seluruh film yang diperankan olehnya selalu meraih rating tinggi dan mendapatkan banyak penghargaan. Lalu Noel, CEO di bidang perhotelan dengan sikapnya yang tenang dan berwibawa, apa pun yang diberikan kepada Noel selalu mencapai hasil yang sempurna. Dan terakhir, adiknya Gabriel. Walaupun Gabriel terlihat manja dan kekanakan, tetapi ia bisa bersekolah diselingi menjadi model sebuah majalah fashion, produk dan sebagainya, pekerjaan pertamanya pun langsung membuat Gabriel terkenal dalam sekejap.
Kadang kala, Eric iri melihat kesuksesan saudara-saudaranya sendiri. Ia sudah memutuskan setelah lulus, akan menjadi seorang arsitek hebat dan terkenal, agar dirinya bisa seimbang dengan ketiga saudaranya.
"Eric!"
Hup!
Sebuah bola basket dilempar ke arah Eric, untung saja dengan sigap Eric dapat menangkap bola tersebut. Pria itu menatap pelaku yang melempar seraya terkekeh pelan.
"Hei! Jangan tiba-tiba melempar bola seperti itu! Bagaimana kalau aku tidak sadar? Wajahku bisa-bisa yang kena!" protes Eric. Ia tidak memperlihatkan bahwa dirinya kesal. Hanya senyuman yang selalu ia tampilkan.
"Haha! Kalau begitu jangan melamun, lagipula kenapa jika wajahmu yang kena? Apa aset pentingmu hilang?" ledek salah satu temannya masih tertawa kencang.
Eric tersenyum lalu melemparkan kembali bola basket tersebut. "Aset pentingku ada di sini," sahut Eric seraya mengetuk kepalanyanya bermaksud menunjukkan bahwa aset pentingnya itu adalah otaknya.