Chereads / Trapped in Love in The Game / Chapter 23 - Air mata palsu

Chapter 23 - Air mata palsu

"Gwen, maaf! Aku lupa memberitahumu ternyata Mr.Dean tetap datang untuk kelas siang nanti." Erica mengatupkan kedua tangannya, matanya pun berkaca-kaca seakan air mata palsu itu bisa menetes kapan saja. Reaksi Casey? Tentu saja tak peduli. Alasan-alasan tak masuk akal terus menyerang dirinya. Casey melirik ke arah tas tabung di samping perempuan itu, lalu menganggukan kepala.

"Padahal sebelumnya kau sampai menghubungiku untuk memberitahu info salah itu, kenapa tidak memberitahuku lagi?" tanya Casey, tatapannya pun dibuat sendu. Mengikuti akting Erica.

"A-aku minta maaf... aku juga masih berada di rumah. Aku juga awalnya tak bawa, kok! Kakakku menyuruhku untuk cepat bergegas, jadi aku tak sempat membuka ponsel lagi. Aku sungguh-sungguh minta maaf, Gwen." Air mata Erica langsung mengucur deras, bahkan saat menangis sekali pun gadis itu bisa tetap terlihat menawan. Casey tak bisa mengelak, Erica benar-benar sangat cantik layaknya bidadari, hanya saja sifatnya benar-benar menjengkelkan. Gadis itu masih belum selesai menangis, pipi mulusnya yang sudah merah semakin memerah sama halnya dengan hidung mancungnya. Anak-anak lain melihat ke arah mereka dengan bingung, salah satunya mendekat.

"Erica, ada apa? Kau bertengkar dengannya, Gwen?"

"Apa? Tidak sama sekali! Erica, sudahlah. Tak apa-apa, berhenti menangis," pinta Casey seraya mengelus bahu perempuan itu. Erica mengusap kedua matanya, menghapus bening-bening air mata yang sedari tadi membasahi pipinya. Gadis itu mulai menampakkan senyuman mautnya pada anak-anak lain yang mengkhawatirkannya.

"Aku tidak apa-apa, kok. Aku hanya merasa bersalah pada Gwen," ujarnya.

"Memangnya kau salah apa, Erica?" tanya mereka lagi, begitu suka mencampuri masalah orang lain.

"Hanya masalah sepele! Erica, Mora dan Hanna sudah berada di depan kelas. Lebih baik kau menyusul," ujar Casey mengalihkan topik. Anak-anak tersebut kini sudah tak memperhatikan mereka. Erica menoleh ke arah luar kelas, dan memang kedua temannya berada di sana.

"Lalu kau? Kau tidak mau makan lagi bersamaku?" cicitnya. Tatapannya seperti anjing liar yang meminta dipungut oleh tuannya yang baru, begitu menggemaskan tetapi Casey sadar sikap perempuan itu hanyalah racun untuknya.

"A-aku ke toilet dulu. Nanti aku menyusul," ujarnya sebelum meninggalkan kelas menuju kamar mandi. Ia harus membasuh wajahnya dan menetralkan emosi yang sedari tadi terus bergemuruh di dadanya.

Casey menatap cermin yang memantulkan wajah Gwen sang heroine. Sudah lumayan lama ia terperangkap di dalam game itu. Masih lama menuju happy ending jika sesuai dari rute yang ia jalankan saat di dunia nyata. Casey bahkan sudah mulai samar-samar mengingat wajah aslinya. Padahal ia baru saja mewarnai rambutnya menjadi ash brown di dunia nyata, tetapi ia harus kembali merasakan warna rambut hitam legam milik Gwen. Casey membasuh wajahnya berkali-kali, setelah itu mengoleskan sunscreen kembali dan liptint pada bibirnya agar tak terlalu pucat. Jika dilihat-lihat, sang heroine lumayan manis, walau memang tak semenawan Erica. Namun, ia harus tetap berbangga karena wajah inilah yang diperebutkan dengan keempat tuan muda itu. Casey menggelengkan kepalanya cepat, bahkan menampar kedua pipinya. Bukan waktunya ia berpikir hal yang tak penting seperti ini!

Salah satu bilik kamar mandi paling ujung terbuka, sesosok gadis keluar dari sana dengan langkah santai menuju wastafel untuk membasuh tangannya.

Dia laura, si penanggung jawab kelas.

Laura menoleh pada Casey. "Oh, hai, Gwen. Aku tak sadar kau yang ada di sampingku," sapanya seraya menggosok telapak tangannya menggunakan sabun. Casey hanya menanggapinya dengan tertawa kecil.

Ah, sepertinya sekarang adalah saat yang tepat untuk bertanya mengenai tugas tadi. Casey ingin semakin yakin apakah dugaannya jika Erica menjebaknya itu benar, jadi ia harus bertanya lagi pada orang lain. Dan Laura adalah orang yang cocok untuk ditanyakan.

"Anu, Laura," panggilnya.

"Ya?" sahut Laura seraya mengeringkan tangannya, lalu beralih menatap Casey.

"Apa sebelumnya Mr. Dean memberitahumu bahwa beliau ada urusan mendadak sehingga tak bisa datang untuk kelas siang nanti?" tanya Casey. Ia menunggu perubahan mimik wajah lawan bicaranya sekarang.

Tepat dugaan.

Laura mengerutkan dahinya lalu memeriksa ponselnya apakah ada pesan atau tidak dari dosen tersebut. "Sama sekali tidak ada informasi seperti itu, Gwen," jawabnya lalu memperlihatkan layar ponselnya pada Casey agar bisa melihatnya sendiri.

Casey tersenyum miring. "Ah, seperti itu."

"Kau dapat informasi darimana?"

"Erica yang memberitahuku," jawab Casey mantap. Lagipula ia tak perlu menyembunyikan siapa pelaku yang menjebaknya.

"Huh? Erica?"

Casey mengangguk. "Erica bilang padaku dia mendapat informasi jika Mr. Dean tidak bisa datang, jadi tak perlu membawa tugasnya."

Alis Laura semakin bertautan, lalu tawa yang sedari tadi ia tahan akhirnya keluar juga. Laura tertawa tak percaya dengan apa yang dikatakan Casey. Hal ini membuat Casey heran akan sikap spontan gadis dengan rambut kepang model dutch braid itu.

"Aku? Bicara dengan dia saja tak pernah," ujar Laura seraya mengusap sudut matanya yang berair. "Lagipula jika ada sesuatu tentu saja aku langsung memberitahukan pada grup kelas, kau sendiri harusnya tahu itu."

"Ahaha ... kau benar ...," tawa Casey merasa malu.

Laura memperhatikan Casey yang kini terlihat sedang memikirkan sesuatu dengan serius. Ada sedikit kecurigaan karena tak biasanya Casey sampai bertanya padanya, di antara mereka bahkan memang jarang sekali untuk berbincang layaknya teman akrab. Namun, Laura tahu dari awal saat Casey menghampiri Nakamura, gadis itu memang tak membawa tugas gambar yang diberikan Mr. Dean. Laura tersenyum miring, setelah banyak memperhatikan interaksi Erica dan Casey, ia sudah cukup paham dengan apa yang terjadi di antara mereka berdua.

"Lebih baik kau menghubungi orang rumah, untuk membawakan tugasmu ke sini," ujar Laura membuyarkan lamunan Casey.

"Ah, ya. Sepertinya begitu," sahut Casey memaksakan tersenyum. Laura menepuk bahu Casey dengan pelan. "Kalau ada sesuatu, lebih baik kau tanyakan padaku. Tidak semua orang dapat dipercaya, ya ... itu juga kalau kau percaya padaku."

Casey terdiam mencerna perkataan Laura. Ia merasa seperti ketiga kalinya ia kagum pada sesama perempuan. Yang pertama pada Eleana, kedua Asylin dan terakhir pada lawan bicaranya saat ini. Bahkan Casey merasa Eleana dan Laura memiliki sifat yang mirip. Ia juga merasa Laura seperti mengetahui perbuatan Erica padanya, dilihat dari apa yang Laura ucapkan terdengar ambigu. Apa Casey bisa membuat Laura menjadi teman? Sepertinya hal ini bisa ia pikirkan lebih lanjut.

Intinya, Laura sangat keren!

"Terima kasih, Laura. Aku percaya padamu."

***

Di sisi lain ...

Eric baru saja keluar dari kamarnya untuk bersiap ke kampus. Hari ini memang jadwal kuliahnya dimulai dari siang hari. Pria itu bersiul bahkan bersenandung ria selama berjalan seraya menggoyangkan kunci mobilnya. Sepertinya kondisi mood Eric sedang baik. Dengan kaos rib pendek berwarna abu tua dan celana panjang hitam formal. Belum hanya itu, Eric memadukannya dengan jas hitam yang ia sampirkan di lengannya, menambah kesan maskulin serta kacamata yang ia kaitkan di antara kaosnya untuk ia pakai saat perkuliahan berlangsung. Seperti biasa Eric tak pernah main-main dalam urusan berpakaian.

"Selamat siang, Tuan Eric," sapa Asylin seraya membungkukkan badan. Ketika mereka berpapasan di koridor. Pelayan itu sudah tak begitu sesibuk saat pagi dan bermaksud untuk meletakkan tas tabung milik Casey.

"Pagi, Asylin," balas Eric seraya tersenyum tanpa menghentikan langkahnya. Namun, dahinya berkerut saat sekilas melihat barang yang dipegang oleh pelayannya. Ia menghentikan langkahnya lalu berbalik, Asylin masih tidak jauh dari dirinya.

"Asylin," panggil Eric.

"Ya, Tuan?"

Eric berjalan mendekat, mencoba memastikan barang berbentuk tabung tersebut. "Ini, bukankah milik Gwen?"

"Benar, Tuan. Saya bermaksud untuk meletakkannya di kamar."

"Huh? Kenapa? Apa Gwen lupa membawanya?" tanya Eric lagi.

Asylin menggeleng. "Gwen bilang benda ini tidak jadi dibawa sekarang, ia sudah telat jadi akan tak sempat jika kembali ke kamar. Karena itu saya membantunya ,Tuan," jelas Asylin. Perempuan itu memperhatikan secara seksama raut wajah tuannya, terlihat bingung. "Apa ada sesuatu yang salah, Tuan?" tanyanya sedikit khawatir.

Eric menggeleng seraya tersenyum manis. "Ini, biar aku yang bawa ke kampus." Pria itu mengambil alih tas tabung dari Asylin.

"Tapi, Tuan—"

Eric membuka tas tersebut, memeriksa tugas seperti apa yang dikerjakan oleh Casey. Setelah mengetahuinya, ia mengangguk paham. "Aku yakin Gwen salah menduga, tugas seperti ini tidak mungkin seorang dosen seperti Dean menundanya. Kalau begitu aku berangkat, dah!" pamit Eric sebelum berlari meninggalkan Asylin menuju mobil kesayangannya.

Eric meletakkan tas itu di kursi penumpang sampingnya. Ia mulai menyalakan mobil lalu melesat membelah jalanan, ia harus cepat-cepat sampai dan menemui Casey.

"Kau pasti sedang kesusahan saat ini, tunggu aku, Gwen."