Selang lima menit, Erica datang ke perpustakaan lalu mencari posisi duduk Casey dan menemukannya di sudut ruangan bersama dengan seorang pria. Casey menoleh ke arah belakang lalu melambaikan tangannya pada Erica.
Erica tersenyum seraya berjalan mendekat. "Sudah lama di sini?" sapa Erica seraya duduk di samping Casey.
"Lumayan," jawab Casey. Ia bisa melihat Alan yang terus mencuri pandang pada temannya. Erica kini beralih memandang pria berkacamata tersebut. "Ah, Hai, Alan! Kalian membaca buku bersama? Aku tidak tahu jika kalian dekat," ujarnya seraya menutup mulutnya dengan anggun.
"Bukan, bukan begitu. Aku berebut buku dengannya. Jadi menunggu giliran setelah dia," balas Casey sepenuhnya benar.
"Kan sudah kubilang lusa. Kau keras kepala."
"... diam."
"Ahaha, kalian dekat, ya. Memang buku apa yang kalian perebutkan?" tanya Erica dengan ramah. Alan mengangkat bukunya untuk memperlihatkan pada Erica. Gadis itu hanya mengangguk dan membentuk mulut seperti huruf O tanda mengerti.
"Dan aku tidak dekat dengannya," sanggah Alan membuat empat buah siku-siku muncul di dahi Casey, merasa kesal. Hal itu tidak perlu dikatakan dengan jelas, kan? Kenapa pula sedari tadi dirinya selalu beradu mulut dengan Alan.
"Gwen, apa kau sudah makan? Aku membawakan beberapa makanan untukmu, karena dari kemarin kau hanya makan sedikit." Erica memberikan tas yang berisikan makanan pada Casey. Tentu saja Casey terima dengan senang hati, tidak peduli pemberian ini hanya sebuah pencitraan, yang penting perutnya tak lagi memaksa untuk berbunyi karena lapar.
"Thank you, Erica! Kau memang teman terbaikku!" puji Casey. Langsung melahap hotdognya.
"Hei, tidak boleh makan di perpustakaan," tegur Alan sedikit sinis.
"Ini tempat paling ujung, orang-orang tidak akan melihatnya. Jadi seharusnya tidak apa-apa," balas Casey tak peduli. Sedangkan Erica hanya tersenyum maklum. Gadis cantik itu menyodorkan sebuah sandwich ke hadapan Alan. Pria itu mengerutkan dahinya bingung, ia menatap Erica yang kini tersenyum manis padanya.
"Makanlah."
"Ah, tidak perlu—"
"Tidak baik menolak pemberian orang," sahut Casey menyindir. Sepertinya Alan memang tidak cocok dengan tipe orang seperti Casey. Akhirnya Alan mengalah dan menerima sandwich tersebut.
Entah sejak kapan, Erica dan Alan sudah berbincang dengan santai bahkan Casey hanya seperti onggokan daging kadaluwarsa saking tak terlihat dan diabaikan. Sesekali pria itu tertawa pelan menanggapi gadis cantik tersebut. Sepertinya memang benar Alan sesuka itu pada Erica.
Yang Casey tangkap dari menyimak obrolan mereka adalah mereka baru saja kenal di kampus tetapi terlihat seperti sudah mengenal jauh lebih lama dari itu. Saat hari pengenalan kampus, Casey juga terkadang melihat mereka kerap kali berada di satu kelompok yang sama. Karena itu selain Erica dianggap cocok dengan Eric, gadis itu juga dianggap cocok dengan Alan.
Hah ... beruntung sekali jika memiliki wajah rupawan.
Ingin rasanya Casey teriak bahwa mereka begitu cocok karena itu Erica tak perlu terobsesi pada Eric. Karena Eric hanya miliknya seorang.
Sepertinya jika Casey meninggalkan mereka tiba-tiba, mereka tidak akan sadar karena saking asiknya berbincang. Casey bangkit dari duduknya, ia sudah tak perlu berada di sini, karena rencananya memang hanya ingin membuat mereka dekat. Tapi sepertinya tanpa bantuan dari dirinya pun, Alan dan Erica sudah lumayan dekat. Casey merasa payah, seperti membuang-buang waktu. "Aku duluan, ya."
"Eh, mau ke mana?" tanya Erica.
"Ke kelas. Kau menyusul saja."
"Tidak mau, aku ke sini kan untukmu." Erica ikut berdiri lalu merangkul lengan Casey. Ah, Casey jadi merasa bersalah karena membuat mereka berpisah. Alan pasti merasa sedih walaupun sama sekali tak terlihat dari wajahnya yang datar.
"Kau masih akan di sini, Alan?" tanya Erica.
"Iya, kelasku masih lama," jawabnya seraya kembali membaca buku.
"Kalau begitu kita duluan, sampai nanti, ya!" pamit Erica sebelum ia dan Casey keluar dari perpustakaan.
Selama di perjalanan menuju kelas, tak ada satu pun yang berbicara. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Casey berharap Alan benar-benar bisa membantu dan membuat Erica memilihnya.
"Gwen," panggil Erica.
"Ya?"
"Kenapa kau bisa bersama dengan Alan?" tanya Erica. Casey mengerutkan dahi, bukankah tadi ia sudah menjelaskan di awal? Kenapa Erica masih bertanya lagi?
"Bukankah aku sudah mengatakannya tadi?"
"Kalian terlihat dekat untuk seseorang yang baru saja bertemu," ujar Erica dengan senyuman palsunya. Entah apa yang ia sembunyikan dari senyum itu, tetapi Casey bisa tahu jika Erica tak menyukainya interaksinya dengan Alan.
Casey memandang langit yang berwarna biru cerah seraya berpikir. "Hmm, bukan dekat, lebih tepatnya aku merasa tidak cocok dengannya," ujar Casey membuat Erica tertawa renyah.
"Kalau itu tentu saja memang tidak cocok, ahaha!"
Empat buah sudut siku-siku dengan jumlah banyak seketika muncul di dahi Casey. Apa maksud perkataannya? Apa Erica mengejeknya? Entah kenapa Casey kesal mendengar respon gadis itu. Bisa-bisanya dia merendahkan orang lain dengan tampang polos nan ramah itu.
"Oh, iya. Gwen, jangan lupa beritahu Eric yang sudah kita rencanakan, ya!" ujarnya mengingatkan. Casey hanya mengangguk malas.
***
Seperti biasa pada saat malam hari Casey berada di perpustakaan bersama Eric. Pria itu tengah sibuk dengan tugas dan rapat organisasi secara bersamaan. Casey merasa bangga karena bisa memandang pria itu setiap saat dibandingkan gadis-gadis lain yang menyukainya. Karena merasa terus dipandang, Eric melirik pada Casey, gadis itu langsung membuang wajahnya dengan kikuk.
"Ada apa, Gwen? Ada yang mau kau tanyakan?" tanya Eric. Tak lupa senyuman khas menghiasi wajahnya.
Casey menggeleng pelan, ia tak berani menatap mata Eric secara langsung. "A—apa pekerjaanmu masih lama?"
"Lumayan, ada apa?"
"Oh ... ya, sudah. Nanti saja." Casey terlonjak kaget saat Eric menggeser kursinya ke arah gadis itu dengan cepat.
"Sekarang saja, kenapa?" cecar Eric. Tipe orang yang jika sudah penasaran, ia harus segera mendapatkan jawabannya. Casey menghela napasnya, mengalah pada tuannya.
"Aku hanya ingin mengajakmu belajar bersama," ujar Casey membuat Eric menaikkan alisnya sebelah.
"Bukankah kita memang sudah sering melakukannya?"
Casey menggeleng."Tidak hanya berdua."
"Dengan siapa?"
"Hmm, Erica, mungkin?"
"Kenapa tiba-tiba?" tanya Eric lagi.
Casey menatapnya dengan sendu dan mengerucutkan bibirnya. "Apa tidak boleh? Senior tak mau membantu Juniornya?"
"B—bukan begitu, aku hanya kaget ...."
"Ah, kau sudah sangat sibuk, aku tidak mungkin membuatmu lebih repot lagi. Maaf, lupakan saja," ujar Casey memaksakan tersenyum. Jika seperti ini, Casey bisa mengatakan pada Erica bahwa Eric menolak ajakan tersebut karena jadwalnya sudah sangat padat. Walaupun jika hanya seperti ini tidak langsung menyurutkan semangat gadis cantik itu.
Casey kaget saat Eric mencubit kedua pipinya, tatapan pria itu terlihat kesal. "Hei, jangan membuatku jadi merasa bersalah. Aku kan belum memberi jawaban yang pasti."
"M—maaf, Eric. Sakit, lepaskan ...," ringis Casey seraya menepuk tangan Eric agar melepasnya. Karena iba, akhirnya Eric melepas cubitan itu, alhasil pipi mulus Casey menjadi merah tetapi justru terlihat menggemaskan.
"Kalau hanya itu tentu saja aku bisa. Tentukan saja tempat dan waktunya, aku akan membantu kalian berdua." Eric tersenyum lebar memperlihatkan deretan giginya yang rapi.
Ah, Eric tentu saja tak akan menolak. Pria itu kan baik hati.