"Eric, apa James datang ke sini siang hari tadi?" tanya Noel, matanya masih berkutat pada majalah bisnis. Eric yang sibuk dengan ponselnya kini menoleh pada sang kakak.
"Ya, apa Jamie memberitahumu?"
"Eh? Jamie ke sini? Sudah lama aku tidak bertemu dengannya! Ayo ajak Jamie ke sini lagi!" sahut Gabriel kegirangan. Luke disampingnya tampak tak tertarik dengan obrolan mereka, pria itu lebih asik meminum american kopinya.
"Kudengar yang sakit adalah Gwen, dia baik-baik saja?" pertanyaan Noel membuat Gabriel semakin terkejut. Luke bahkan ikut menoleh.
"Gwen sakit?"
"Dia bilang hanya pusing. Jadi kurasa baik-baik saja," jawab Eric santai.
Gabriel mengernyit alis. "Jadi urusan mendadak yang ia bilang adalah sakit? Aku bodoh sekali tak peka." Wajah laki-laki termuda itu begitu sedih. Berbanding terbalik dengan Luke yang merasa curiga.
"Tapi wajahnya tidak terlihat pucat."
"Huh, kau kan tidak mengurusi hal-hal yang menurutmu tidak penting. Gwen itu sungguh sakit!" Perkataan Eric membuat Luke kesal. Pria itu meletakkan cangkir kopinya.
"Hei, kau pikir sudah berapa lama aku berada di dunia akting? Aku tahu yang mana yang asli dan yang tidak!"
"Apa? Jadi kau berpikir Gwen akting dan berbohong padaku?!" sungut Eric tak mau kalah.
Luke mengedikkan bahunya. "Entahlah, aku tidak peduli. Mau dia berbohong atau tidak, tidak merugikan kita juga."
"Kau—"
Noel menutup majalah bisnisnya. "Luke benar. Lagipula aku menanyakan hal ini bukan untuk membuat kalian berdebat apa Gwen benar-benar sakit atau tidak. Aku ingin kalian meluangkan waktu untuk besok," final Noel membuat ketiga saudaranya menatapnya penasaran. Ada angin apa Noel tiba-tiba mengumpulkan mereka dan meminta meluangkan waktunya di mana masing-masing memiliki waktu yang sangat padat.
"Untuk apa?"
"Mendadak sekali."
"Aku sih bisa saja."
Noel tersenyum penuh arti. "Kita sudah lama tidak meluangkan waktu bersama karena memiliki kesibukan sendiri. Ayo kita berkunjung ke panti asuhan Camaraderie. Dan Gwen akan kita ajak."
"Apa?!" seru mereka bersamaan.
***
Casey mengerjapkan matanya. Masih mencerna dengan apa yang ia lakukan saat ini. Mendadak Noel mengajaknya untuk berkunjung ke sebuah panti asuhan. Saat ia bertanya pada Eric pun, pria itu tidak memberi jawaban yang membuat Casey berhenti penasaran. Sekarang gadis itu sedang duduk di antara keempat tuan mudanya. Mobil melaju dengan santai menuju panti asuhan yang dituju. Sangat canggung dan tidak ada seorang pun yang berbicara. Casey meneguk ludahnya kasar, begitu gugup.
"Kita sudah sampai." Noel membuka suara.
Seluruh awak mobil keluar, Casey adalah orang terakhir yang keluar dari mobil. Matanya tak lepas pada sebuah bangunan putih yang terlihat bersih dan terawat. Banyak bunga yang bermekaran dan pohon yang rindang di sekeliling panti asuhan tersebut. Sepertinya para pengurus di sana sangat menjaga lingkungan sekitarnya. Sekumpulan anak-anak berlarian ke sana ke mari, tertawa bersama. Sangat menyejukkan hati untuk orang yang melihatnya.
Eric menepuk bahu Casey. "Ayo."
Saat mereka berlima semakin dekat dengan tempat itu, para anak-anak mulai menyadarinya dan berlari menghampiri keempat tuan muda dengan sorak kegirangan. Mereka berebut memeluk pria-pria itu, Eric bahkan menggendong salah satu anak laki-laki yang berbadan gemuk dan menggemaskan.
"Hei, jagoan! Lama tak bertemu," ujar Eric mencubit pipi gemas anak itu.
"Luke, Luke! Aku mau gendong!" pinta gadis kecil yang berumur sekitar enam tahun dengan surai yang dikuncir dua ke atas. Luke langsung menuruti permintaannya, gadis kecil itu pun berteriak senang.
Casey baru pertama kali melihat interaksi mereka, begitu sejuk dilihat. Mereka sangat lembut pada anak kecil.
Casey menunduk ke bawah ketika menyadari ada sesuatu yang menarik ujung roknya. Sesosok anak laki-laki yang tengah menggendong balita. Tatapan mereka begitu polos, pipinya yang merah dan padat sangat menggoda untuk dicubit. Casey membungkuk menyejajarkan tinggi tubuhnya dengan anak tersebut. Ia tersenyum manis.
"Halo—"
"Kau siapa? Kenapa kau bisa bersama dengan kak Noel dan yang lain?" tanya anak laki-laki itu dengan ketus. Seketika Casey membeku, tak menyangka dengan perkataan ketus sosok yang kini ada di depannya. Padahal penampilannya begitu polos, menggemaskan tapi ternyata mulutnya lumayan tajam.
"A—aku—"
"Noel! Dia siapa?" Anak laki-laki itu berteriak seraya menunjuk Casey sedikit tak sopan. Sedangkan balita yang berada di gendongannya mulai tak nyaman dan mengulurkan tangannya pada Casey seakan ingin berpindah pada Casey.
Noel yang sedari tadi asik mengobrol dengan anak-anak, ia menghampiri Casey dan anak laki-lakit tersebut. "Ada apa, Reo?"
Anak laki-laki yang bernama Reo tersebut masih menunjuk Casey, tatapannya tajam. "Dia siapa? Kenapa dia ada di sini?"
Noel tersenyum tipis, lalu mengambil balita yang sebentar lagi akan menangis itu. "Reo, turunkan tanganmu. Itu tidak sopan." Reo dengan patuh langsung menurunkan tangannya. Masih menunggu jawaban Noel. "Namanya Gwen, hari ini dia akan ikut menemani kalian. Akurlah dengannya." Noel mengelus surai blonde Reo itu dengan lembut. Anak laki-laki itu memiliki wajah bagaikan boneka hidup. Benar-benar sangat tampan, Casey bisa membayangkan bagaimana nanti Reo beranjak tumbuh dewasa. Untuk saat ini, Casey hanya bisa tersenyum kaku karena masih terkejut dengan apa yang terjadi.
"Wow! Kalian sudah sampai ternyata! Kenapa tidak bilang? Aku sudah menunggu kalian dari tadi." Seorang pria diikuti dengan wanita paruh baya keluar dari bangunan tersebut. Menyambut kedatangan mereka.
"Jamie! Aku merindukanmu!" Gabriel berlari dan menjatuhkan dirinya ke pelukan James. Pria itu sama sekali tak malu dilihat oleh anak kecil. Gabriel sama manjanya dengan anak-anak itu. Sedangkan Eric menyembunyikan tubuhnya di belakang Luke. Ia memang sedikit trauma dengan James. Apalagi karena kejadian kemarin.
"Aku juga merindukanmu, Gab. Semuanya berjalan dengan lancar, kan? Tidak ada sesuatu yang membuatmu sedih?" tanya James lembut. Gabriel mengangguk senang. "Tentu saja! Sama sekali tidak!"
James mendapati sesosok yang asing baginya di tempat itu. Seulas senyum menghiasi wajahnya. "Halo, Gwen. Kita bertemu lagi," sapanya.
Casey membungkuk sopan lalu tersenyum tipis. "Halo, Dokter. Senang bertemu denganmu lagi. Mengenai kemarin, terima kasih sudah repot-repot mengobati."
Pria itu tertawa renyah seraya mengibaskan tangannya. "Hei, tidak perlu sungkan padaku. Aku sudah terbiasa dengan hal itu. Ayo masuk. Orang-orang sibuk repot datang ke sini, kita harus menjamunya dengan baik," goda James mempersilahkan masuk.
Bagian dalam gedung pun sama luar biasanya. Casey sampai berpikir ia sedang berada di dunia yang berbeda. Kuno tetapi kesan artistiknya begitu kuat. Walaupun sedari tadi ia mulai merasakan sesuatu yang tak mengenakkan hati, sekelebat ingatan yang dimiliki sang heroine pun terkadang muncul.
Casey seketika menghentikan langkahnya ketika merasakan gejolak hebat, jantungnya semakin sakit dan membuatnya sesak napas. Ingatan-ingatan Gwen yang asli terus muncul dan membuatnya pusing. Casey menarik napas banyak, mengusahakan diri untuk tidak panik. Orang-orang sudah berjalan semakin jauh, sedangkan dirinya masih berdiam diri di tempat.
Casey ingat tempat seperti ini. Walaupun tidak sama dengan tempat yang ditinggali Gwen saat masih kecil. Namun tetap membuat rasa trauma Gwen yang asli kembali muncul. Dadanya semakin mual, Casey menutup mulutnya dengan tangan yang gemetar. Ia ingin keluar dari sini.
"Kau tidak apa-apa?" tegor Luke ketika menyadari bahwa Casey berhenti mengikuti rombongan mereka.
Casey tersentak kaget, ia mendongak menatap Luke penuh ketakutan. Netra Luke membulat, ketika melihat wajah Casey yang sangat pucat dan mata yang berkaca-kaca. Pria itu memegang kedua bahu Casey. "Hei, kau kenapa?"
"A—aku ... a—aku ...."
"Tenangkan dirimu dulu." Luke menuntun Casey untuk duduk di kursi. Pria itu sama sekali tak melepas pandangannya dari Casey. Seakan jika mengalihkan sedikit, gadis itu akan hilang. Dengan sigap pria itu mengeluarkan ponselnya dan mengetikkan sesuatu.
Tak lama dari itu, Noel datang seraya membawakan segelas air putih hangat. Casey dengan tangan yang masih gemetar menerima air itu. "Apa sudah merasa tenang?" tanya Noel dengan lembut dan hati-hati.
Casey menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Ia mengangguk lemah.
Luke menghela napasnya berat. "Sudah kubilang jangan sekarang untuk membawanya," protes Luke tak terima. Noel tidak merespon, pria itu masih mencoba menenangkan Casey.
"Apa kau mau segera pulang?" tanya Noel lagi.
"Aku ... minta maaf, aku sungguh minta maaf." Casey menggosokkan telapak tangannya dengan takut seolah sebuah halunasi kelam kembali muncul dan terlihat nyata. Ia sendiri tidak bisa mengendalikan tubuh itu seakan ini naluri dari sang heroine sendiri.
Noel tanpa pikir panjang langsung membawa Casey ke dalam dekapannya. Mengelus surai Casey dengan lembut dan hangat. Seolah-olah gadis itu adalah makhluk lemah yang harus dijaga sepenuh hati dan tak boleh tergores barang sedikit pun. "Kau tidak perlu minta maaf. Tidak apa-apa. Kau sudah aman, kau sudah bersamaku." Noel sama sekali tak memiliki ide bagaimana caranya membuat gadis itu tenang, karena ia yakin Casey tak membutuhkan banyak kata-kata. Sebuah sentuhan mungkin bisa membuat gadis itu lebih baik dan Noel hanya tidak mau Casey semakin tenggelam ke dalam ingatannya yang kelam.
Kalimat penenang itu perlahan membuat Casey ikut merasakan kehangatan dan ketenangan dari pelukan pria itu. Kegelisahan yang menggelegak di dalam dirinya telah mereda. Gadis itu membalas pelukan Noel dengan erat.
Luke mendesah lega setelah Casey mulai tenang kembali, ia mengelus punggung Casey. Ikut menenangkan.
Pelukan itu terlepas. Casey tersipu setelah menyadari apa yang tadi di lakukan. "M—maaf! Saya merepotkan kalian!"
"Sama sekali tidak," jawab Noel seraya tersenyum hangat. Darah di dalam diri Casey seketika berdesir hebat, yang sebelumnya sungguh bukan mimpi. Ia dipeluk oleh Noel dan ditenangkan oleh Luke adalah benar-benar nyata.
"Ah! Ketemu!" seru Gabriel lalu berlari menghampiri mereka.
"Kalian! Dari tadi kita mencari. Ternyata masih di sini. Ada apa?" tanya Eric memandang ketiga orang itu secara bergantian. Merasa atmosfir di antara ketiga orang itu terlihat serius.
"Haah ... aku lapar." Luke dengan tidak acuh pergi menuju dapur meninggalkan yang lain.
"Si sialan itu memang berhati dingin," umpat Eric bahkan mengulurkan jari tengah pada Luke yang kian menjauh. Gabriel tak suka lalu memukul tangan Eric.
"Kenapa, sih?!" protes Eric.
"Tanganmu tidak baik! Anak-anak bisa melihatnya!" tegor Gabriel, kali ini dia benar.
Eric mendecih. "Sok baik!"
"Apa katamu?!"
Casey terkekeh pelan melihat interaksi keempat bersaudara itu. Seolah telah lupa dengan kepanikan yang dialami sebelumnya. Noel tersenyum, lega karena Casey sudah bersikap seperti biasa.
"Apa kau masih mau melanjutkan kunjungan?" tanya Noel. Casey menoleh ke arah Noel lalu mengangguk.
"Ya, saya mau."