Casey mulai terbiasa dengan anak-anak panti asuhan. Mereka bermain, bernyanyi, bahkan menari bersama. Gelak tawa tak pernah hilang dari tempat tersebut. Eric dan Gabriel selalu ada bahan lucu untuk membuat anak-anak itu tertawa. Sedangkan beberapa anak gadis mulai membuka kantung belanjaan yang sebelumnya mereka bawa. Pakaian dan mainan yang dibagi tiap satu anak. Casey bahkan ikut memilih pakaian-pakaian itu.
"Wah! Dress ini manis sekali! Aku suka, terima kasih, Kakak!" seru salah satu gadis kecil seraya memeluk leher Noel.
"Katakan terima kasih pada kakak yang ada di sana. Dia yang memilihkannya untuk kalian," ujar Noel seraya menunjuk Casey. Gadis- gadis kecil itu langsung berlari dan memeluk Casey.
"Terima kasih, kak Gwen!"
"E—eh?" Casey bingung ketika sekumpulan anak perempuan tiba-tiba berlari lalu memeluknya.
"Kak Noel bilang kita harus berterima kasih pada kakak karena sudah memilihkan pakaian untuk kita!" jelas salah satu anak itu. Raut wajah mereka begitu senang.
Casey terkekeh pelan lalu mengangguk. "Begitu rupanya. Sama-sama, aku ikut senang jika kalian suka." Casey mengelus rambut anak-anak itu secara bergantian. Setelah itu mereka kembali pada Noel dan bercerita banyak hal mengenai keseharian mereka di panti asuhan. Casey bangkit dari duduknya berniat untuk mengambil segelas air putih karena tenggorokannya terasa kering. Ia meneguknya secara perlahan seraya memandang pemandangan sejuk yang tidak akan sering ia lihat.
"Kau senang berada di sini?"
Casey menoleh ke asal suara dan mendapati sesosok pria matang berkacamata. Ia tersenyum lalu kembali memandang anak-anak itu. "Ya, aku bersyukur bisa ada di sini."
James terkekeh pelan. "Syukurlah. Anak-anak itu memang lumayan sering datang ke sini. Karena ini panti asuhan milik mereka." James membuka topik. Anak yang dimaksud adalah Wilson bersaudara. "Tetapi karena mereka mulai sibuk dengan kegiatannya, aku yang selalu mewakilkan mereka."
"Bukankah kau juga sibuk karena seorang dokter?" tanya Casey mulai tertarik dengan perbincangannya.
James tersenyum tipis. "Aku harus tetap menyempatkan waktuku untuk anak-anak. Sekedar mengetahui keluhan mereka, hal-hal yang membuat mereka bahagia. Lagipula melihat mereka bahagia membuat energiku terisi penuh kembali."
"Kau baik sekali, Paman," puji Casey tulus membuat pria itu tertawa renyah.
"Aku jadi tersipu karena dipuji oleh seorang gadis manis."
Casey menjadi takut karena James terkadang mengatakan sesuatu seperti om-om mesum. Ia hanya meresponnya dengan tersenyum canggung.
Raut wajah pria itu seketika berubah menjadi sendu tetapi tetap mencoba untuk tersenyum. "Sejak dulu, keluarga Wilson memang tidak pernah membiarkan anak-anak yang dibuang oleh orang tuanya semakin menderita. Karena itu, panti asuhan yang mereka miliki pun lumayan banyak. Bahkan anak semata wayangnya tetap melanjutkan kebaikan tersebut sampai sekarang. Eldric dan Noa berhasil mendidik anaknya menjadi persis seperti mereka," jelas James. Pria itu mengeluarkan sebuah tisu lalu mengusap sudut matanya padahal sama sekali tidak ada air mata di sana. "Huhu, aku jadi ingin menangis," ujarnya bercanda.
"E—eh! Apa anda sungguh menangis, Paman? Tapi, Paman, apa maksudmu dengan anak semata wayang? Bukankah mereka empat bersaudara?" tanya Casey bingung. "Lalu siapa itu Eldric dan Noa?" Begitu banyak pertanyaan yang ada di otak Casey.
"Sebenarnya hanya Noel lah keluarga asli di keluarga Wilson. Yang lainnya sama seperti anak-anak di sini. Dan kedua nama itu adalah orang tua dari Noel," jawab James membuat netra Casey membulat tak percaya. Walaupun sebenarnya dirinya sudah sedikit mengetahui hal itu. James menoleh ke arah Casey seraya tersenyum manis. Jari telunjuknya ia letakkan di depan bibirnya. "Jangan beri tahu siapa pun lagi, ya. Ini rahasia kita berdua."
Gadis itu mengangguk cepat. "Akan kukunci rapat-rapat."
"Eh~ Apanya?" tanya James dengan senyuman jahilnya.
"M—mulutku ...."
"Ahaha, kau sungguh manis, Gwen. Pantas saja yang lain senang berada di sekitarmu," goda James tak pernah berhenti. Casey hanya bisa menunduk malu dengan pipi yang mulai merona hingga ke telinga.
Eric yang tidak terlalu jauh dari mereka, sedari tadi terus mencuri pandang karena was-was dengan sikap James yang sering menggoda siapa pun. Kekesalannya memuncak tatkala melihat wajah Casey yang tersipu malu. Eric menepuk pundak seorang anak laki-laki. "Ello, apa kau melihat pria tua itu sedang menggoda seorang gadis? Menurutmu apa yang harus kita lakukan?"
Anak bernama Ello itu mengikuti arah pandang Eric. "Kita harus melindungi gadis itu!" jawabanya dengan mantap.
"Betul sekali, kau memang pintar! Ayo pisahkan mereka!" perintah Eric. Ello dan anak-anak lainnya langsung menyerbu James yang tidak tahu apa-apa itu.
Sedangkan Eric tertawa puas melihatnya. Noel hanya bisa menggelengkan kepala pasrah dengan ulah dari adiknya.
Hari semakin sore, saatnya mereka pamit untuk pulang. Anak-anak enggan untuk melepas keempat bersaudara itu bahkan James dan pengasuh lainnya kewalahan menangani hal tersebut. Casey hanya bisa tersenyum maklum. Karena jika ia menjadi anak-anak itu, sikapnya pun tidak akan jauh berbeda. Bagaimana mungkin kau mau melepaskan keempat pangeran yang memiliki hati sebaik malaikat? Rasa ingin memiliki dan mengurungnya seketika naik seribu persen.
"Kau," panggil seseorang membuat Casey mendapati seorang anak yang sebelumnya bersikap tak sopan padanya.
"O—oh, Hai, Reo," sapa Casey sedikit canggung karena masih takut dengan anak itu.
Reo menyodorkan sebuah cookies coklat yang terlihat lezat pada Casey dengan wajah malu-malu. Casey menerima bungkusan tersebut dengan bingung tetapi tak mau bertanya lebih memilih untuk menunggu perkataan selanjutnya dari mulut Reo. "A—aku minta maaf tentang tadi. Ini buatanku, kalau kau tak suka lebih baik dibuang saja," ujarnya memalingkan wajah ke samping. Casey dapat melihat semburat merah yang ada di pipi bulat anak itu.
Ah, Casey merasa gemas.
Casey membawa bungkusan itu ke depan dadanya seraya tersenyum manis. "Terima kasih, Reo. Aku sangat senang. Aku merasa sayang untuk dimakan, sepertinya akan kupajang di kamar!"
"B—bodoh! Aku membuatnya untuk dimakan bukan dipajang!" protes Reo tetapi Casey tak menggubris makian dari anak itu. Ia terlalu senang seolah di dalam perutnya ada banyak kupu-kupu yang berterbangan.
"Ugh ... terserah kau saja. Hati-hati di jalan." Reo masuk ke dalam setelah pamit dengan keempat bersaudara. Wajahnya kembali merah ketika Eric dan Gabriel menggodanya karena melihat kejadian barusan.
Akhirnya setelah bisa lepas dari anak-anak panti, mereka dapat pulang ke rumah. Tidak seperti saat berangkat, kini mobil terasa hidup dengan obrolan-obrolan ringan. Keempat saudara itu terlihat senang dan energinya mulai terisi kembali tidak jauh berbeda dengan Casey. Sesekali Casey pun masuk ke dalam obrolan tersebut. Gelak tawa terhenti ketika ada suara perut berbunyi nyaring.
"Gabriel ...."
"Maaf, aku lapar." Gabriel menepuk perutnya seraya memperlihatkan senyumnya yang lebar.
"Bukankah daritadi kau sudah banyak makan? Dasar perut karet!" Eric memaki.
"Jaga ucapanmu! Mau bagaimana lagi kalau aku lapar. Kau mau kumakan?!" sungut Gabriel tak mau kalah. Luke langsung memeluk leher Gabriel agar tubuh adiknya tak semakin maju dan bisa memicu perang.
"Hei, sudah. Tidak perlu sampai pakai otot jika berbicara, kan. Lebih baik kita makan dulu," lerai Noel. Pria itu memberitahukan sebuah lokasi restoran pada sang sopir. Casey mengelus lengan Eric agar pria itu tidak terus menatap Gabriel dengan tatapan tajam mengajak berkelahi. Sikap Eric memang sungguh berbeda jika berhadapan dengan keluarganya.
Ah, Casey jadi teringat dengan perkataan James. Memang benar wajah mereka sangat tampan, tetapi tidak ada satu pun yang mirip satu sama lain. Namun Casey yakin mereka tetap saling menyanyangi walaupun sering bertengkar kecil. Ia belum mengetahui semua kisah dibalik keluarga ini, karena rute Noel belum pernah berhasil ia taklukan. Sekarang ia semakin penasaran dengan semua kisah-kisah itu.
"Kau baik-baik saja?" tanya Eric seraya melayangkan telapak tangannya di depan wajah Casey yang melamun. Casey mengerjapkan matanya lalu tersenyum.
"Aku baik-baik saja."
Tak lama mereka sampai ke restoran yang dituju. Sebuah restoran ala perancis yang menunya sulit dibaca oleh Casey. Alhasil ia memilih menu yang sama dengan Eric. Casey menahan teriakan fangirl-nya ketika melihat Luke yang telah selesai makan lalu menghisap sebuah rokok dan itu sungguh pemandangan yang begitu indah untuk Casey. Luke benar-benar tampan walaupun menakutkan.
Karena hari semakin gelap, mereka langsung membayar semua tagihan lalu berjalan kembali menuju mobil.
Di sisi lain ....
"Ck, Aku merasa bosan ...," keluh seorang gadis cantik yang terus memandangi jalanan yang mulai diterangi oleh lampu-lampu jalanan. Netranya menyipit ketika menangkap seseorang yang ia kenal. "Berhenti!" perintahnya.
"Ada apa, Nona Erica?"
"Diam."
Erica menajamkan pandangannya. "Itu Gwen dan Eric, kan? Kenapa mereka bisa bersama? Tidak hanya berdua, ada pria lainnya juga. Apa-apaan ini!" amuk gadis tersebut seraya mengigit jarinya menahan emosi yang lebih besar. Alisnya semakin menukik tajam tatkala temannya itu tertawa lalu memasuki mobil bersamaan dengan keempat pria tampan tersebut.
"Ini tidak bisa dibiarkan ... ikuti mobil itu!" perintah Erica pada sang sopir. Walaupun tidak mengetahui alasannya dan tak berani untuk bertanya, sopir tersebut mematuhi perintah nona mudanya. Dengan hati-hati mobil Erica terus mengikuti mobil yang ditumpangi Casey. Sampai mobil itu terhenti sedikit jauh karena mobil keluarga Wilson memasuki sebuah mansion besar.
Erica tertawa kesal. "Huh? Apa maksudnya ini? Kenapa Gwen bisa masuk ke sana? Sebenarnya hubungan apa yang mereka jalin?" Tawa gadis itu semakin menggelegar, matanya penuh dengan api kemarahan yang besar. Seolah baru saja dikhianati oleh seorang teman. Padahal sedari awal pertemanan mereka hanyalah palsu.
Gadis itu tersenyum licik. Tangannya mengepal sangat kuat, kuku panjangnya bahkan menekan kulit telapak tangannya hingga berdarah. Sang sopir tak bisa berbuat apa-apa jika majikannya sudah berulah.
"Kau berani berbohong padaku ternyata, Gwen. Lihat saja, aku akan mencari tahu tentang dirimu sampai ke titik paling dalam!"
"Aku tidak akan membuatmu tenang! Karena sampai kapan pun Eric hanyalah milikku!"