Casey benar-benar diperiksa oleh dokter keluarga Wilson. Ia bisa melihat pria berseragam putih dan perawakannya terlihat baru berumur sekitar tiga puluh tahun itu terus mengecek kondisinya dengan wajah heran.
Casey tahu apa yang membuat dokter tersebut heran.
Dokter yang bernama James akhirnya mengakhiri pemeriksaannya, memasukkan stetoskop ke dalam tasnya kembali. "Kondisi tubuhnya baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tetapi jika pusingmu masih berlanjut, minumlah ini." James memberikan dua strip obat kapsul pada Casey.
"T—terima kasih."
"Dia sungguh baik-baik saja?" tanya Eric. Pria itu sedang memeluk sebuah boneka lumba-lumba milik Casey.
"Ya. Seperti biasa khawatirmu berlebihan, ya," jawab James seraya tersenyum tipis. "Apa kau tidak tahu bahwa pasienku di rumah sakit sedang mengantri? Tapi demi kau aku langsung bergegas ke sini."
"Hei, jangan menyepelekan! Dokter macam apa kau! Aku hanya takut terjadi sesuatu yang membahayakan! Tapi syukurlah jika hanya pusing saja. Terima kasih, Jamie!" ujar Eric tersenyum ceria. Jika diibaratkan, Eric kini seperti anjing yang sedang mengibaskan ekornya karena senang. James sampai mengelus puncak kepala Eric dengan lembut saking gemasnya. Merasa malu, Eric langsung menepis tangan itu.
"A—aku sudah bukan anak kecil lagi tahu."
James yang semula kaget, raut wajahnya berubah. Pria dewasa itu tertawa renyah. "Bagiku kau tetap anak kecil, Eric. Anak kecil yang dulu selalu menangis karena selalu dipukul oleh Noel."
"Oh, Ayolah! L—lagipula sejak kapan Noel memukulku, huh?" Eric denial, tak mau faktanya terungkap karena ada Casey di sana.
"Bukankah dulu kau selalu menjahilinya hingga Noel kesal dan dia memukulmu? Apa kau lupa ingatan? Mau kuperiksa?" tanya James dengan nada mengejek seraya mengeluarkan alat medisnya kembali. "Atau kau tidak mau terlihat memalukan di depan seorang gadis?"
"B—bukan begitu!"
James terus saja menggoda Eric yang kini wajahnya kian merona. Melihat pemandangan mereka, membuat hati Casey merasa tenang. Hanya melihat Eric saja, aura positifnya menular ke semua orang. Eric memang berbeda saat di rumah dan kampus. Pria itu memang terlihat sangat sempurna di kampus, selalu tersenyum dan menebarkan aura positif. Namun, sisi Eric yang jahil ataupun sedang kesal, tetap membuat Eric menjadi pria yang selalu membuat semua orang merasa nyaman berada di sekitarnya.
Jauh di dalam lubuk hatinya, ia juga sangat senang karena Eric begitu mengkhawatirkan kondisinya, tetapi ia juga sadar bahwa tidak hanya Eric, ketiga tuannya yang lain memang sangat memperhatikan seluruh pelayannya. Keluarga Wilson memang memiliki hati yang mulia.
Namun, misi Casey bukanlah menjadi seseorang yang hanya diperhatikan sebagai pelayan. Ia harus lebih dari itu. Tingkat love Eric pun hanya naik sedikit. Bisa dibilang, Casey di mata Eric masih sebatas teman dekat.
"Apa Noel dan lainnya sedang bekerja? Sepertinya aku tidak melihat mereka tadi," tanya James seraya merapikan peralatannya karena ia harus segera kembali ke tempat bekerjanya.
"Apa kau melihat langit belum gelap? Itu tandanya mereka masih membanting tulang," jawab Eric asal membuat James kembali tertawa.
"Kau benar, hanya kau saja yang pengangguran."
"Jaga mulut kotormu itu, ya!"
Tanpa sadar Casey mengeluarkan tawanya yang sudah ia tahan sedari tadi sampai kedua pria itu menoleh. Ia langsung menutup mulutnya, merasa bersalah dan takut. "M—maaf."
Pria matang itu tersenyum manis pada Casey. Hampir saja jantung Casey meloncat karena mendapat serangan mendadak tersebut.
"Tidak perlu ditahan, Gwen. Kau terlihat lebih manis saat tertawa."
Rasanya seperti ada hujaman panah cinta menembus tepat pada jantung Casey.
Casey sama sekali tidak menduga perkataan dokter itu! Wajahnya langsung memerah malu. Tak bisa dipungkiri, walau usia James terpaut jauh dengannya, tetapi wajah tampan pria itu masih terlihat dengan jelas. Pria itu bahkan sama sekali tidak terlihat tua. Casey tak bisa membayangkan bagaimana jika dirinya bertemu dengan James versi muda. Pasti ketampanananya setara dengan keempat keluarga Wilson. Oh, tuhan. Kenapa keluarga Wilson tak pernah jauh-jauh dari pria menawan dan memikat seluruh wanita?! Casey jadi bersyukur masuk ke dunia ini.
"Kau! Ingat umur, Jamie. Tidak sepantasnya kau menggoda perempuan yang bahkan lebih muda dariku!" tegur Eric tak suka. Matanya berapi-api.
"Eh? Aku hanya berkata jujur, kok?" James menatap balik Eric dengan wajah yang dibuat polos. Hal ini membuat empat sudut siku-siku muncul di dahi Eric.
"P—pulang sana! Pasienmu menunggu!" Eric menarik jas James agat cepat keluar dari kamar Casey.
"Ahaha, kau cemburu ya karena aku menggoda gadis yang kau sukai? Apa kau menyukainya? Apa aku benar?" goda James sama sekali tak mau berhenti. Pria itu memang sangat suka menggoda keempat pria yang ada di keluarga Wilson sejak mereka masih kecil.
"A—apa? Suka?" Pipi Eric memerah, sudut matanya tiba-tiba melirik pada Casey. Dan wajahnya malah kian merona. "Omong kosong! Pergi sana, dan terima kasih!"
"Kalau begitu sampaikan salamku pada ketiga saudaramu! Aku merindukan mereka!"
"Ya, ya! Serahkan padaku!" balas Eric sebelum membanting pintu kamar.
James akhirnya berhasil diusir.
Eric mendesah lega lalu kembali menghampiri Casey. Pria itu duduk di samping ranjang Casey, lalu meletakkan kepalanya di sisi ranjang tersebut. Mendongak menghadap langit-langit kamar dengan mata terpejam. Casey memperhatikan wajah Eric yang kembali seperti semula, rona merah antara malu dan kesal itu sudah menghilang. Ia bisa melihat dengan jelas bulu mata Eric yang lentik, dan rahang yang tegas. Ia tak mau terus mengabsen seluruh bagian tubuh yang ada di pria ini. Bisa-bisa ia menggila dan membayangkan sesuatu yang terlalu jauh.
"Eric," panggilnya.
"Hm?"
"Terima kasih sudah repot-repot memanggil dokter ke sini," ujar Casey tulus.
"Sudah kubilang tidak apa-apa. James memang sudah terbiasa direpotkan." Eric membuka matanya lalu menatap Casey serius. "Untuk yang dibicarakan oleh pria tua itu jangan dianggap serius, ya."
"P—perkataan yang mana?"
"Yang ... menurutmu yang mana?"
Casey mengerjap polos. "... Kau menyukaiku?"
Eric menjentikkan jarinya. "Benar! Jangan dianggap serius! Ah, tapi aku memang menyukaimu."
"Eh?! Jadi yang mana?" Degup jantung Casey berdebar kencang. Ia tahu Eric selalu mengatakan sesuatu yang konyol dan tidak terduga. Dalam hati kecilnya sudah meyakinkan bahwa apa yang dikatakan Eric setelah ini pasti hanyalah omong kosong.
"Menyukaimu sebagai teman yang sangat dekat" ujar Eric dengan santai. Senyum khasnya menghiasi wajah tampan itu.
Ah, ternyata dugaannya benar. Ia di mata Eric sekarang hanyalah sebagai teman dekat. Tidak apa-apa, perjalanan cintamu masih panjang, Casey. Walaupun tetap terasa sakit.
Casey tersenyum pahit, lalu mengangguk. "Baguslah."
Gadis itu meraih minuman energi yang menganggur di atas meja lalu meneguknya agar rasa kecewanya teralihkan.
"Makan lalu minum obatnya, Gwen. Setelah itu istirahat," ujar Eric perhatian. "Kalau merasa tak kuat, kau bisa izin lusa agar tak masuk kuliah."
Casey merengut kesal, Eric benar-benar terlalu berlebihan. "Sudah kubilang aku baik-baik saja."
"Oke-oke, aku mengalah."
Casey jadi teringat tentang Erica. Bagaimana kelanjutan mereka setelah ia pergi dari sana, ia harus bertanya pada pria ini. "Ngomong-ngomong, Eric. Bagaimana pertemuanmu dengan Erica? Apa berjalan lancar?"
Eric menaikkan alisnya heran. "Maksudmu pembelajarannya? Lumayan lancar, tapi ternyata ia terlalu banyak bertanya, ya."
Casey ingin tertawa kencang rasanya.
"Tapi tak apa, memang tujuannya seperti itu. Aku jadi merasa diandalkan," lanjut Eric lagi seraya tertawa. Sontak raut wajah Casey berubah menjadi diam. Ia tak tahu harus merespon apa, melihat tuan mudanya terlihat baik-baik saja setelah bertemu teman palsunya. Ia pikir Eric akan merasa risih dan tidak mau semakin dekat dengan Erica.
"Lalu setelah itu bagaimana? Apa kau mengantarnya pulang?" tanya Casey, ia mengusir kekalutan yang baru saja ia rasakan tadi.
"Ya, dia memintaku mengantarnya. Tapi entah kenapa saat perjalanan dia lebih banyak diam."
Casey mengerutkan dahinya. "Apa yang kau lakukan padanya?"
"Apa maksudmu? Aku tidak melakukan apa pun. Bisa saja dia sedang menahan perutnya yang sakit dan ingin segera ke toilet!" celetuk Eric membuat Casey menepuk jidatnya pasrah.
"Apa kau memang selalu berpikir tentang sakit perut dan toilet? Kau pikir wanita seperti itu?!" murka Casey. Hari ini ia sudah terlalu banyak mendengar sakit perut dan toilet dari mulut Eric dan Gabriel. Lama-lama ia muak.
"Huh? Wanita dan pria sama saja! Kita butuh mengeluarkan kotoran dari tubuh agar sistem pencernaan kita tetap lancar dan baik!"
"Tapi bukan seperti itu maksudnya!"
"Hah ...." Eric menatap Casey dengan tatapan seakan menganggap gadis itu bodoh dan itu membuat Casey kesal. "Aku tidak mengerti pola pikir kalian."
"Aku yang tidak mengerti pola pikirmu!"
Eric mengerjapkan matanya, sedikit kaget. Ia tak menyangka jika Casey akan membalas perkataannya dengan serius. Padahal ia hanya bercanda seperti biasa. Casey memang terlihat benar-benar kesal, alisnya bahkan menukik tajam. "Hei, hei sudah jangan marah. Nanti kau semakin pusing. Aku minta maaf, okay?" Eric mengalah, jemarinya mengelus punggung tangan Casey dengan lembut. Perlahan emosi gadis itu kian surut dan sadar apa yang ia lakukan terlalu berlebihan.
"M—maaf, Eric. Aku tidak seharusnya seperti itu."
Pria itu tersenyum lembut. "Aku yang minta maaf. Kalau begitu aku keluar, agar kau bisa istirahat. Jika butuh bantuan, panggil aku." Eric menepuk puncak kepala Casey sebelum keluar dari kamar.
Casey menghela napasnya. Ia meraih ponselnya mengetik sebuah pesan pada Erica. Apa yang dikatakan Eric tadi tetap membuatnya penasaran.
[Erica, jangan lupa membawa barang-barangku besok, ya]
Sepuluh menit kemudian Erica membalasnya. Casey mengernyit alisnya. Ia tak menyangka jika balasan dari Erica hanyalah sebuah emoji ibu jari. Begitu singkat, padat, dan jelas. Tak biasanya gadis itu bersikap. Biasanya walaupun Casey tahu Erica tak menyukainya dan terkadang menunjukkan secara jelas, tetapi Erica selalu mengirim pesan padanya secara heboh dan membuat orang yang melihatnya menjadi pusing karena saking ramainya.
Dan sekarang hanya satu emoji tanpa embel-embel yang lain? Sungguh, Casey penasaran apa yang dilakukan Eric saat di kafe tadi.