Casey menyantap dessert buatan Riley yang dibawakan oleh Eric. Pria itu tahu jika Casey akan berada di perpustakaan saat malam hari. Ia sendiri sudah belajar dan mengerjakan tugasnya. Bahkan selama ia berkuliah, jarang sekali Eric kurang tidur karena mengerjakan tugas. Manajemen waktunya sangat baik, apalagi ditambah dengan organisasi dan segala aktivitasnya. Untuk malam ini ia berniat untuk membantu junior kampusnya siapa lagi jika bukan Casey.
"Bagaimana tugas sketsa dari Dean?" tanya Eric memecah keheningan. Ia sebenarnya gemas dengan pipi Casey yang terus mengunyah kue coklat tanpa berhenti sama sekali.
"Perfect! Aku mendapat pujian dan nilaiku bagus!" seru Casey seraya mengangkat ibu jarinya. Eric terkekeh pelan seraya mengacak-ngacak surai Casey. "Aku tahu kau hebat! Untung saja kubawa tugasmu."
"Hehe, terima kasih sekali lagi, Tuan."
Sepertinya sekarang waktu yang tepat untuk melancarkan aksi menjodohkan Eric dan Erica. Walaupun hati kecil Casey sangat tak rela. Namun, karena untuk formalitas, suka tak suka, ia harus lakukan.
Casey memandang Eric yang kini tengah membaca jurnal di laptopnya, sesekali pria itu menyesap kopi hitam yang berada di sampingnya. Bahkan disaat dirinya senggang, Eric tetap menyempatkan waktunya untuk membaca sebuah jurnal. Jika itu Casey, dirinya akan langsung tertidur di saat baru membaca dua halaman. Casey menghela napasnya, mau dilihat dari segi mana pun, Eric benar-benar sangat tampan dan hebat. Tak berbeda jauh dengan saudara-saudaranya.
Casey berdeham, agar Eric mengalihkan fokus padanya. Sebenarnya ia merasa bersalah karena topiknya akan sangat tidak penting dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Eric saat ini. Entah pria itu akan kesal atau tidak.
Eric sama sekali tak merespon.
Casey mencoba berdeham lagi. Kali ini lebih keras. Namun karena terlalu keras, ia menjadi batuk sungguhan dan sulit berhenti. Eric dengan sigap memberikan ia minum seraya menepuk punggung Casey.
"Apa sih yang kau lakukan? Kau bisa memanggilku dengan normal jika memang ada yang kau butuhkan," ujar Eric khawatir sekaligus menahan tawanya karena sikap Casey yang menurutnya konyol.
"Kau peka, tapi kau diam saja," cibir Casey, wajahnya merona karena malu.
"Aku menunggu kau memanggil namaku. Lagipula tingkahmu ada-ada saja," tawa Eric meledak. Casey hanya bisa merutuk dalam hati. "Jadi, ada apa?"
"Um ... itu ...." Casey tak bisa berbicara dengan benar. Ia merasa bingung harus memulainya darimana. Eric masih menunggu dengan sabar, seraya membaca jurnalnya kembali.
"Boleh aku bercerita?"
Eric menghentikan bacanya. Ia memutar kursinya menghadap sempurna pada Casey. Fokus sepenuhnya untuk mendengar sebuah cerita dari lawan bicadanya. Pria itu tersenyum lembut. "Tentu saja boleh, ada apa?"
Casey menghela napas panjang sebelum bercerita. Hanya ini satu-satunya membuka obrolan tentang Erica walaupun ia akan sedikit berbohong. "Kau tahu kan, Erica adalah teman pertamaku. Ia juga yang membantu saat aku terjatuh dan menumpahkan minuman ke baju. Dari awal aku merasa ia benar-benar seperti dewi. Tidak hanya cantik, tapi hatinya baik sekali. Ia selalu membantuku saat belajar, membuatku mudah berbaur dengan yang lain juga. Itu semua karenanya. Aku merasa beruntung sekali bisa berteman dengan orang seperti Erica. Mungkin kau merasa aku berlebihan, tapi menurutku Erica seperti dewi penyelamat untukku," ujar Casey panjang, jelas dan tak berguna. Perutnya sudah bergejolak meminta keluar dari sana karena terlalu banyak mengatakan hal-hal yang tak dimasuk akal dan penuh kebohongan. Casey mual. Ia benci mengatakan hal tersebut, tapi hanya itu caranya.
Casey melirik Eric yang tak kunjung merespon. Eric tidak tidur, kan? Tolong jangan membuat Casey semakin tersiksa dan harus mengatakan hal seperti tadi untuk kedua kalinya.
Eric mengusap dagunya, berpikir. "Hmm, jadi inti dari cerita itu apa?" tanya Eric polos. Seketika Casey merasa seperti ada batu besar yang jatuh tepat di atas kepalanya.
"A—aku hanya ingin mengatakan kalau aku sangat senang bisa berteman dengan orang sebaik Erica. Ah, kau bisa lupakan apa yang kukatakan. Maaf membuang waktumu." Casey menyuap kuenya kembali, menangis dalam hati. Mungkin sekarang Eric menganggapnya sangat bodoh dan tidak jelas. Sepertinya malam ini, otaknya sudah sangat konslet jadi tak dapat berfungsi dengan baik.
Eric masih terus memandangi gerak-gerik Casey dengan senyuman kecil yang tersungging di bibirnya. Lucu sekali melihat tingkah Casey. "Aku paham maksudmu. Kau ingin aku berpikir hal yang sama tentang Erica. Begitu?"
"Y—ya, begitu ...."
Pria itu mengelus dagunya, berpikir. "Hmm, Erica memang terlihat baik, ceria dan selalu dikelilingi orang-orang. Aku juga suka mendengar bahwa Erica bisa dibilang mahasiswi tercantik di angkatanmu," ujar Eric yang malah membuat Casey tertohok. Entah kenapa ia tak suka jika pujian-pujian aneh itu sungguh keluar dari mulut Eric. "Kalau kau senang berteman dengannya, aku juga ikut senang kau bisa menikmati kehidupan perkuliahanmu." Eric kembali mengusak surai hitam Casey.
"Ugh ... kenapa kau terus mengacak-acak rambutku," protes Casey dengan bibir mengerucut.
"Aku suka! Rambutmu halus seperti bulu anjing!" ujar Eric santai dengan senyum lebarnya.
"Erica memang sangat cantik, kan?" tanya Casey tiba-tiba sampai Eric menghentikan gerakan mengacak surai Casey.
"Hm? Ya, kuakui."
"Eric, kau terus membuat hatiku sakit." Casey meringis dalam hati, kesal dan sedih bercampur jadi satu. Kenapa pria satu ini begitu tidak peka dan terlalu santai. Ah, tidak. Ini salahnya sendiri. Casey yang memancing, kenapa juga dirinya yang harus kesal. Dasar gadis labil.
Casey berpikir kembali. Ia harus menceritakan tentang Erica seperti apa lagi. Gadis itu hampir jarang sekali bersikap tulus padanya. Ia juga sadar bukan seseorang yang mudah mengarang cerita. Casey merutuk dalam hati, Erica terus-terusan membuatnya kesusahan.
"Sebenarnya apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Eric. Wajahnya begitu dekat dengan Casey membuat gadis itu reflek mundur. Ritme jantungnya tak terkontrol karena mendapat serangan tiba-tiba.
"Uh, huh?"
Entah kenapa wajah mereka kian mendekat, Eric seakan tak ingin Casey terus menjauh dari dirinya hingga jemari pria itu menyentuh pipi mulus Casey. Sang gadis bisa merasakan hangatnya napas Eric sekaligus aroma parfum maskulin dari pria tersebut. Otaknya tak dapat berkerja dengan benar, ia tak tahu mengapa atmosfir di antara mereka berdua jadi seperti ini. Lidahnya begitu kelu dan tubuhnya enggan untuk berpindah seakan menikmati jarak di antara mereka yang begitu dekat. Eric kini beralih memandang bibir ranum merah muda milik Casey, jemarinya kini berpindah menyentuh bibir itu. Entah setan darimana hingga membuat Eric berani seperti ini.
"T—tuan? T—tipe idamanmu seperti apa?" tanya Casey membuat Eric mengerjapkan matanya, bingung.
"E—eh?"
Casey memberanikan diri untuk menjauh dari posisi sebelumnya. Jantungnya semakin berpacu dengan cepat. Rona wajahnya sudah tak dapat dipungkiri begitu merah layaknya lobster rebus bahkan memerah hingga ke telinga. Ia spontan bertanya hal tersebut, jangan tanya kenapa karena dia sendiri tak tahu mengapa!
"T—tipe idamanku?"
"T—tak perlu dijawab, aku duluan!" Casey bangkit lalu merapikan tugas-tugasnya sebelum pamit kabur meninggalkan tuan mudanya sendirian di sana. Jantungnya bisa meledak jika terus berada di samping Eric.
Sepeninggalan Casey, Eric menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Jika mengingat kejadian barusan, wajah Eric mulai memanas hingga rona merah tersebut perlahan kian muncul di pipinya. "Bodoh, apa yang mau kau lakukan tadi ...."