"Aku menyukai Eric. Bisakah kau membantuku agar bisa lebih dekat dengannya?"
Casey sudah tahu hal ini akan terjadi. Raut wajahnya sama sekali tak ada perubahan. Menatap datar gadis di depannya yang kini sedang tersipu malu akibat perkataannya sendiri. Karena merasa tak mendapat respon, Erica menatap Casey bingung.
"Gwen?"
"Ya?"
"Kau mendengarku, kan?" tanya Erica memastikan.
Casey tersenyum tipis lalu mengangguk. "Aku dengar, kok."
"Kau mau membantuku, kan?" Erica memegang kedua tangan Casey dengan penuh harap. Namun, tak lama dari itu Casey melepas genggaman Erica membuat gadis tersebut terkesiap.
"Kalau aku tidak mau, bagaimana?" tanya Casey dengan santai. Ia tahu jika Gwen yang asli akan langsung membantu gadis ular itu. Namun karena dirinya sudah tahu siapa Erica, tentu saja harus ditarik ulur terlebih dahulu. Casey juga senang melihat Erica kesal, sebuah hiburan baginya.
Dahi Erica berkerut. Tak menyangka dengan apa yang dikatakan Casey. Ia pikir Casey tanpa basa-basi akan langsung mengiyakannya. Ah, dia lupa. Casey sama sekali tak senaif itu. Lagipula siapa yang percaya jika Casey memang benar-benar hanya berteman dengan Eric? Gadis itu pasti memiliki perasaan khusus pada senior itu juga.
"K—kenapa? Kau bilang hanya berteman dengannya, kan?"
"Iya, tapi aku tidak mau Eric jadi merasa risih jika dijodoh-jodohkan. Lagipula bukankah kau tidak akan sulit mendapatkan pria mana pun?" Casey menatap Erica dengan santai, tidak peduli jika lawan bicaranya kini sedang jengkel setengah mati.
"A—aku tidak seperti itu, Gwen ..., sebenarnya aku tipe pemalu pada pria yang aku sukai," balas Erica dengan wajah malu-malu.
"Bohong sekali, sialan! Mau dilihat dari lubang sedotan pun terlihat jelas kau tak tahu malu di depan Eric!" umpat Casey dalam hati. Merasa gemas, ingin rasanya mengaduk-aduk wajah cantik Erica saat ini.
Erica memegang kedua tangan Casey lagi, kali ini lebih erat seakan tak mau dilepas untuk kedua kalinya. Menatap Casey dengan tatapan berkaca-kaca. "Kau mau membantuku, kan? Hanya kau yang kuharapkan, Gwen. Aku mohon ...."
Ugh, situasi yang sangat dibenci Casey. Apalagi wajah Erica yang begitu dekat dengannya. Casey memejamkan matanya sebelum menghela napas pendek.
"Aku tidak yakin bantuanku akan membuahkan hasil yang baik," ujar Casey formalitas. Ia sendiri sudah tak niat untuk membantunya. Tetapi daripada Erica terus merengeknya, lebih baik ia sanggupi saja dulu.
Erica menggeleng cepat. "Kau mau membantuku saja itu sudah lebih dari cukup!"
"Bohong sekali ...," batin Casey.
"Ya, sudah. Kuusahakan."
Casey terlonjak kaget ketika Erica berhambur ke pelukannya. Aroma vanilla yang manis bisa ia rasakan menyatu dengan wangi shampoo beraroma buah segar. "Terima kasih! Kau memang sahabat terbaikku!" seru Erica senang.
Casey hanya mengangguk malas seraya mencoba melepas pelukan tersebut.
"Apa yang kalian lakukan di sini?"
Netra Casey langsung membulat ketika mengetahui siapa pemilik suara tadi. Ia langsung memberi kode pada Erica untuk melepas pelukannya. Sama seperti Casey, Erica pun langsung gelagapan.
"Selamat siang, Sir. Kami baru saja akan masuk ke kelas. Anda sudah ditunggu oleh anak-anak," ujar Erica seraya tersenyum manis. Seperti yang diharapkan, gadis itu pintar menjilat dan mencari muka.
"Kalian dari kelasku? Kalau begitu cepat ke kelas."
"Baik, Sir~"
***
Casey mengetuk-ngetukkan pensilnya. Berpikir keras mengenai Erica yang meminta bantuan padanya. Ia sudah memilih untuk mengiyakannya, dengan kata lain mau berhasil atau tidak, ia sendiri akan terkena akibatnya. Jika Erica benar-benar mendekati Eric, hasilnya akan nol besar. Karena Eric akan menolaknya. Dan hal itu akan membuat Erica membencinya secara terang-terangan, bahkan akan membuat rumor-rumor buruk mengenai dirinya. Sama halnya jika ia menolak membantu, Erica tak akan membiarkan dirinya lolos dari kehidupan kampusnya yang damai dan sejahtera. Bukan Erica saja, semesta dalam game pun tak akan membiarkan hal itu. Karena garis besar cerita tetap tak mampu ia ubah. Casey hanya bisa memperlamat atau memajukan alur. Konflik kecil bisa ia hilangkan, tetapi hanya itu. Ia tetap akan dipertemukan dengan konflik besarnya.
Tuhan, hanya satu permintaan saja yang Casey pinta. Ia tak mau berhadapan dengan Erica. Walaupun mustahil untuk dikabulkan.
Ah, tapi bagaimana jika Erica berhasil membuat Eric jatuh cinta padanya? apakah dirinya akan selamat?
Casey langsung merasa horror. Tidak! Tidak akan selamat! Ia tak bisa membayangkan hal itu terjadi. Jika Eric dan Erica berpacaran bahkan sampai menikah, lalu bagaimana dengan dirinya? Apa ia akan terjebak dalam game ini sampai ajal menjemput? Apa jika ia meninggal di dunia game, dunia nyatanya pun akan ikut meninggal? Casey mengacak-ngacak rambutnya frustrasi, pikirannya semakin kacau. Ia menidurkan kepalanya di atas meja menggunakan kedua tangannya sebagai tumpuan. Ia tak ada mood untuk mengerjakan tugas yang bertumpuk bagai bukit.
Ingin tertidur selamanya, tetapi takut tak bisa bangun lagi.
Terlalu banyak ketakutan, dan terlalu nyaman di zona aman itu memang tak bagus.
Lumayan lama Casey memejamkan matanya sekaligus menenangkan pikiran dan hati yang terus berkecamuk. Gadis itu tiba-tiba melotot lalu bangun karena mendapat ide yang dirasa cemerlang, tetapi hal itu tak bisa dihindarkan oleh seorang pria yang berada di belakangnya.
Dug!
"Aw ...," ringis Casey memegang kepalanya. Ia lalu berbalik ke belakang ingin tahu siapa sosok yang bertabrakan dengannya. "E—eric? Kenapa kau ada di sini?!" tanyanya kaget.
Sedangkan sosok pria tersebut masih mengusap dagunya yang menjadi korban benturan kepala Casey. Ia menatap kesal pada gadis di depannya. "Begini, Gwen. Bisakah kau memberi aba-aba jika akan bangun?" protes Eric tak berdasar.
Casey tentu saja tak terima. Ia pun menatap sama kesalnya. Tak peduli jika Eric adalah majikannya. "Kau sendiri kenapa berada di belakangku? Aku bahkan tak menyadarinya!" sungut Casey tak mau kalah.
Eric tak melanjutkan perdebatan kecil itu. Ia menarik kursi di samping Casey dan duduk di sana. Tatapannya menelisik ke seluruh tugas-tugas yang Casey bentangkan sedari tadi tapi sama sekali tak disentuhnya itu. "Kau lelah, ya? Istirahatlah dulu, jangan terlalu diforsir," ujar Eric seraya mengusap puncak kepala Casey dengan lembut.
Casey sama sekali tak meresponnya. Ia tetap bungkam, mulai memejamkan matanya untuk menikmati sentuhan lembut dari pria tersebut. Merasa seperti energinya kembali terisi penuh karena sentuhan dan perkataan yang begitu halus masuk ke indera pendengarannya.
Eric menoleh ke arah Casey, menatapnya dengan lembut. "Masih sakit? Maaf, ya. Aku tak tega menganggumu yang sedari tadi begitu sibuk."
Casey merasa seperti mendapat hujaman panah cinta yang langsung menusuk hatinya.
Tuhan, pria lembut dan tulus seperti Eric tentu saja tak akan Casey berikan pada gadis ular seperti Erica.
Ia pastikan akan lolos sampai happy ending di rute Eric.