"Jadi kau ditabrak seseorang hingga minumanmu tumpah ke baju?" tanya Eric, menaikkan sebelah alisnya dan kedua tangannya dilipat di depan dada. Menuntut penjelasan Casey. Saat ini mereka berada di perpustakaan mansion. Seperti biasa, Eric menyeret pelayannya ke sana ke mari. Sikap Eric terlihat kesal walaupun Casey tidak mengerti kenapa tuan mudanya itu sebegitu kesalnya hanya karena masalah sepele. Yang seharusnya kesal adalah Casey pada Erica! Karena mulut ular perempuan itu, ia harus berada di posisi bagaikan tersangka yang menunggu hukuman keadilan. Walaupun memang benar. Casey bahkan tak berani menatap wajah Eric karena takut. Ia hanya menjawabnya dengan anggukan.
"Bagaimana bisa?"
"Hmm ... Karena aku tak fokus dengan jalan, akhirnya terjadi tabrakan," jawab Casey singkat tetapi nyata adanya.
"Apa minumannya dingin?"
"Panas. Aku mengambil coklat panas."
Eric bangkit dari duduknya membuat Casey tersentak kaget. Pria itu menatapnya dengan tatapan khawatir, lebih kagetnya lagi saat Eric memegang lengannya dengan lembut.
"Apa kau terluka? Kau pasti terluka! Di bagian mana?" tanya Eric bertubi-tubi seraya memeriksa tubuh Casey bagian depan, belakang bahkan mengangkat kedua tangan Casey ke atas. Sedangkan Casey sudah tak mampu mengatur ritme dentuman jantungnya karena Eric yang kini begitu dekat dengannya bahkan deru napas pria itu pun bisa Casey rasakan, hingga membuat otaknya ikut hilang fokus. Casey melepas pegangan Eric secara paksa, menjauh dari tuan mudanya.
"T—tidak ada sama sekali luka, Tuan!" ujar Casey seraya menahan rona pipinya agar tak semakin memerah.
Eric merengut sedih serta memajukan bibirnya. Casey semakin ingin mengumpat, karena pria di depannya ini kenapa bertingkah menggemaskan, tidak kasiankah dengan jantung Casey?
"Kenapa kau menjauh, sih? Apa aku bau?" rengek Eric seraya mengendus tubuhnya waspada jika benar tercium bau yang tidak mengenakkan. Casey hanya menatap Eric dengan wajah 'seriously?' dari sekian alasan, kenapa Eric curiga jika dirinya bau? Itu sangat tidak mungkin! Para tuannya ini sekali keluar dari kamar, wangi tubuh mereka akan tercium sampai gerbang depan mansion. Casey bahkan curiga sepertinya mereka mandi parfum. Sudah begitu, wangi tubuh mereka berbeda-beda, Casey sampai hafal.
Intinya, bukan alasan karena bau. Tidakkah Eric sadar bahwa pesonanya membuat kaum hawa akan terkesima?
Casey menggeleng cepat. "Bukan! Kau terlalu dekat!" sanggahnya.
"Ah, aku mengerti." Eric menganggukan kepalanya seraya tersenyum miring. Kembali ke posisi duduknya karena sudah mengerti dengan sikap spontan Casey. "Jadi kau benar-benar tidak terluka? Luka bakar atau semacamnya?"
"Tidak sama sekali."
"Syukurlah kalau begitu. Apa aku harus mencari orangnya untuk meminta maaf padamu?" tanya Eric membuat Casey melongo kaget. Masalah sekecil ini seharusnya mudah dilupakan, lagipula ia baik-baik saja. Akan semakin runyam jika benar Eric akan mencari pelakunya, bahkan dirinya saja tidak ingat seperti apa wujud rupa orang tersebut. Jangan-jangan Eric juga bisa nekat meminta bantuan FBI? Casey membuyarkan pikiran gilanya itu.
"Eric, itu berlebihan. Lagipula aku tidak ingat seperti orangnya," jawab Casey, semangat Eric menjadi turun.
"Apa aku harus memberitahu Noel dan yang lain?"
Netra Casey membulat sempurna. Tidakkah Eric semakin gila? Jika Noel dan yang lain tahu, hal ini bisa semakin merepotkan. Casey benar-benar tidak mengerti kenapa masalah kecil dibesar-besarkan. Casey meraih kedua lengan Eric, jarak mereka kini kembali dekat.
"Kau tidak serius akan memberitahu mereka, kan? Aku sungguh baik-baik saja! Sama sekali bukan masalah besar! Lagipula apa kata anak-anak nanti, jika mereka tahu aku—"
"Oke-oke, aku mengerti! Kau yang sekarang terlalu dekat, Gwen ...," lirih Eric menahan gejolak dalam dadanya. Ada semburat merah muncul di kedua pipi pria itu, dan lama-lama kian terlihat. Casey yang sadar akan situasinya sekarang, perlahan-lahan wajahnya pun ikut memerah mirip seperti buah tomat. Gadis itu langsung mundur, gerakannya begitu kikuk terlihat sekali menahan malu.
"P—pokoknya aku mohon hanya kita berdua saja yang tahu! Aku bersumpah ini bukan masalah yang besar!" seru Casey seraya menunduk. Ia masih malu untuk menatap Eric. Pria itu tak bisa menahan senyuman yang sedari tadi sudah ia tahan, Eric mengigit jarinya pelan seraya menatap Casey dengan tatapan yang lembut. Entah kenapa Ia sangat menyukai tingkah Casey yang seperti ini.
"Jadi ini rahasia kita berdua?"
"Y—ya! Seperti itulah."
"Aku senang sekali memiliki rahasia yang hanya kita berdua yang tahu," goda Eric.
Casey tak merespon, ia sibuk menetralkan degup jantungnya. Takut mendapat serangan mendadak kembali, bisa-bisa hidupnya hanya sampai di sini.
"Aku juga senang akhirnya kau sudah memiliki teman, sepertinya dia baik."
Wajah Casey langsung berubah menjadi datar. Jika mengingat Erica perasaan kesal selalu muncul. Dan lagi, Eric sama sekali tidak sadar jika wanita itu bisa licik kapan saja. Tinggal menunggu waktu sampai permintaan Erica terjadi.
"Iya, kan?" tanya Eric lagi karena tak kunjung mendapat respon dari Casey.
"Ya, dia sangat baik," jawab Casey seraya tersenyum manis.
Setelah mengakhiri perdebatan, akhirnya mereka belajar bersama di perpustakaan. Sibuk dengan tugas masing-masing, sesekali Casey bertanya pada Eric karena tentu saja Eric lebih banyak ilmu dibandingkan dirinya.
"Halo guys!" sapa Gabriel memasuki ruang perpustakaan dengan membawa milkshake vanilla kesukaannya. Ia tak sendiri, Luke mengikutinya dari belakang.
Geh!
Casey merasa atmosfir ruangan semakin penuh, dan menakutkan karena ada Luke di sini.
"Ah, Kenapa kalian ke sini? Pergi! Hus, hus, kalian menganggu fokus kami!" Eric mengibaskan tangannya pada kedua saudaranya bermaksud mengusir.
"Selamat malam Tuan Gabriel, dan Tuan Luke," sapa Casey dengan ramah.
"Malam, Gwen! Lihat, Gwen saja tidak merasa terganggu!" sahut Gabriel tak mau kalah. Eric hanya mendengus.
"Berisik, kita juga tidak lama. Di mana buku yang kau inginkan, Gab?" tanya Luke seraya melangkah menghampiri buku-buku yang berderet rapi di lemari. Gabriel berjalan cepat memandu Luke, lalu menunjuk ke sebuah buku cerita dengan sampul bergambar dua ekor beruang. Luke mengambil buku tersebut karena memang letaknya terlalu tinggi dan Gabriel tak dapat menjangkaunya. Eric yang tak bisa fokus dengan tugasnya karena kedua saudaranya datang, dan akhirnya memperhatikan gerak-gerik mereka, lalu tertawa mengejek.
"Minta didongengkan lagi, Gab? Dasar anak kecil!" ledek Eric, tawanya pecah. Gabriel mendelik kesal, wajahnya memerah antara emosi dan menahan malu. Pasalnya, sejak kecil Gabriel selalu meminta Luke untuk membacakan sebuah cerita apabila dirinya sedang sulit untuk tidur. Hanya Luke lah yang dapat membantunya. Terkadang jika Luke tidak bisa pulang ke mansion karena syuting kerjaan, Luke sudah berjaga-jaga selalu merekam suaranya saat membaca sebuah cerita. Jadi jika Gabriel sewaktu-waktu insomnianya kambuh, adik kecilnya itu dapat mendengar rekaman suara tersebut hingga dapat terlelap ke dunia mimpi.
"Diam kau! Aku tidak meminta kau yang baca! Suaramu jelek, tak membuatku bisa tertidur," sahut Gabriel. Eric sampai tersedak ludah sendiri karena hinaan dari adiknya.
"Cih! Aku juga tidak sudi membacakan untuk anak manja sepertimu!"
"Berhenti bertengkar, aku lelah," lirih Luke, sedang tak mood meladeni kedua adiknya. Luke menyeret Gabriel untuk keluar dari perpustakaan menuju kamar. Eric memberikan jari tengahnya pada Gabriel, dan adiknya pun melakukan hal yang sama seraya menjulurkan lidahnya. Casey hanya bisa tersenyum melihat pertengkaran tuannya itu. Sebuah hiburan di kala hidup terasa pahit. Walaupun terkadang membuat kepalanya hampir pecah.