Eric berjalan beriringan dengan teman-temannya. Pria itu lebih sering dikelilingi orang, selalu disapa di mana pun dan kapan pun. Mau dosen, senior, seangkatan atau junior, sikapnya tetap sama. Hanya saja, kedua pria yang berada di sisinya saat ini bisa dibilang teman terdekat Eric di kampus.
"Zayn, aku pinjam bolamu," pinta Eric pada temannya yang tadi. Pria bertopi itu langsung melempar bola basketnya pada Eric.
"Tumben sekali, ingin bermain lagi?"
Eric memutar bola basket tersebut di atas jarinya. "Tidak, aku hanya sudah lama tidak bermain basket."
"Karena itu ayo kita main di lapangan!" ajak Harry, pria berambut cepak.
"Nanti saja, kalau aku tidak sibuk," sahut Eric masih fokus memutar bola basket.
"Cih, sampai aku menikah belum tentu kau senggang," desis Zayn membuat Eric tertawa renyah.
Karena fokusnya pada satu titik, Eric tanpa sengaja menabrak bahu seseorang. Ia langsung menghentikan jalannya, bola basketnya pun sampai jatuh memantul ke sembarang arah, dan langsung ditangkap oleh Zayn. Eric berbalik ke belakang, bermaksud meminta maaf.
"Maaf, kau tidak apa-apa?" tanya Eric pada pria yang tinggi badannya tidak jauh dengannya. Surai berwarna hitam, dengan kacamata yang bertengger di hidungnya. Pria itu membetulkan letak kacamata tersebut seraya menatap lurus Eric.
"Tidak apa-apa, bukan sesuatu yang besar."
Eric meneliti perawakan pria yang ada di depannya lalu tersenyum lebar. "Kau Alan, kan?"
"Iya, senior. Kau mengingatku," jawab pria berkacamata bernama Alan. Eric tertawa seraya menepuk bahu juniornya.
"Tentu saja! Pria yang langsung populer dalam waktu sekejap!"
'... Bukankah kau juga sama seperti itu??' batin Zayn dan Harry bersamaan.
"Bagaimana belajarmu? Apa masih baik-baik saja? Jika ada yang—"
Zayn dan Harry merangkul bahu Eric seketika, membuat korban menatap mereka dengan bingung. "Eric, apa setiap kau bertemu junior harus menanyakan pertanyaan yang sama terus menerus?" tanya Harry. Pasalnya, setiap Eric bertemu dengan adik tingkat, pertanyaan pertama adalah menanyakan bagaimana perkembangan belajar adik-adiknya. Ia terlihat lebih seperti dosen pembimbing dibandingkan senior, saking perhatiannya. Eric tak segan mengajari siapa pun yang meminta bantuannya, juga bersedia meminjamkan buku-bukunya.
"Huh? Memangnya kenapa? Aku hanya bertanya siapa tau ada kesulitan?"
"Anak seperti Alan yang bahkan mendapat nilai tertinggi di angkatannya sepertinya tidak akan kesulitan, ya, kan?" tanya Zayn pada Alan.
Alan tersenyum tipis pada seniornya. "Untuk saat ini tidak ada, terima kasih atas perhatiannya. Kalau begitu aku permisi," pamit Alan seraya membungkukkan badannya sekilas lalu berjalan menjauh meninggalkan Eric dan yang lain.
"Dia keren sekali," puji Harry tanpa sadar yang langsung mendapat anggukan setuju dari Zayn dan Eric.
Eric menggelengkan kepalanya cepat, agar tersadar dari kekagumannya pada Alan. "Hei, kita masih ada kelas. Sebentar lagi Mr. Edy akan masuk," ujarnya menyadarkan yang lain. Mereka langsung bergegas menuju kelas.
***
Sore ini kelas terakhir untuk Casey. Gadis itu membuka loker untuk mengambil alat gambarnya sekaligus cemilan yang memang sudah ia stok di sana apabila ia lapar sewaktu-waktu. Karena ada beberapa kelas yang memperbolehkan belajar sambil memakan cemilan. Tentu saja Casey sangat senang, karena dirinya tipe yang lebih fokus jika mulutnya bergerak mengunyah sesuatu.
Casey kembali menutup loker dan tak lupa menguncinya. Saat dirinya berbalik, ia dikagetkan dengan sosok tinggi besar yang ternyata sedari tadi berada di belakangnya. Casey sampai mundur ke belakang menabrak lokernya sendiri.
"Astaga! Eric, kau mengagetkanku ...," protes Casey seraya mengelus dadanya yang hampir terkena serangan jantung mendadak. Sedangkan pelaku hanya tersenyum lebar, karena berhasil mengagetkan.
"Ada apa?" tanya Casey, ia juga sedikit tak nyaman dengan orang-orang yang kini memandang mereka berdua. Untung saja tidak ada Erica dan dayang-dayangnya.
Eric menyodorkan sebuah snack coklat berbentuk persegi panjang padanya. "Terjatuh dari lokermu," ujar Eric.
Casey menerima snack tersebut dengan ragu dan bingung. Pria ini sampai mengagetkan dirinya hanya untuk memberikan sebuah snack yang terjatuh? "Oh ... terima kasih."
"Wah, cemilan yang kau selundupkan ternyata banyak sekali ya. Gwen memang lahap sekali jika makan," tambah Eric seraya tersenyum lebar menampakkan gigi putihnya. Wajah Casey memerah menahan malu karena perkataan tuannya itu.
"H—hanya, kadang-kadang ...."
"Sering juga tidak apa-apa!"
"Kau sudah mau pulang?" tanya Casey mengubah topik. Eric mengangguk. "Kau masih ada kelas?" tanya Eric balik.
"Iya, terakhir."
"Kutebak kelas Mr. Tian?" tebak Eric seraya menunjuk Casey dengan mata yang menyipit.
"Benar, bagaimana kau tahu?"
"Karena cemilan itu!" Mata Eric mengarah pada sekantong cemilan yang Casey bawa. Gadis itu mengeratkan goody bagnya. Merasa malu karena sedari tadi Eric terus menyinggung cemilan kesayangannya.
"Tapi bukankah tidak hanya Mr.Tian saja yang memperbolehkan makan? Kenapa tebakanmu bisa langsung tepat?"
Eric memiringkan kepalanya, menatap Casey dengan polos. "Entah? Tapi benar, kan?"
"Gwen! Lama sekali! Jadi aku menyusulmu, oh, halo senior Eric!" sapa Erica dengan memasang senyuman termanis. Gadis cantik itu akhirnya menyusul Casey karena Casey tak kunjung kembali ke kelas. Pipi mulusnya sedikit merona karena melihat Eric di sana, walaupun kesal orang yang berbincang dengan Eric adalah temannya.
"Ah, halo—siapa namamu?" tanya Eric membuat Casey menatapnya tak percaya. Seorang Erica masih tak dikenali oleh Eric? Casey ingin tertawa. Apalagi melihat raut wajah Erica berubah terkejut.
Erica tertawa pelan dengan anggun. "Aku Erica, kita sempat berdiskusi saat acara pengenalan kampus, sakit sekali tidak diingat oleh senior."
Eric berpikir keras untuk mengingatnya lalu tak lama mulutnya berbentuk bulat seraya menjetikkan jarinya seolah berhasil mengingat gadis cantik bersurai pendek itu.
"Ah, iya, iya. Aku ingat. Namamu hampir mirip denganku."
"Benar!" seru Erica senang. Tingkahnya dibuat menggemaskan di depan Eric. Mungkin berharap Eric juga berpikir dirinya begitu manis. Casey hanya bisa memutar bola matanya cepat, agar Erica mau pun Eric tak melihatnya. Kebetulan koridor sudah sepi.
"Kalian berteman?" tanya Eric menatap kedua gadis itu bergantian.
Casey tersentak kaget saat Erica memeluk lengannya. "Ya! Kami berteman dekat! Pertemuan pertama kami bahkan unik, saat aku menolong Gwen yang terjatuh dan tertumpah minuman. Aku tak bisa menahan diriku untuk tidak membantu Gwen," jawab Erica, senyuman tak pernah hilang dari wajah manisnya. Gadis itu mengira Eric akan mengagumi aksi heroiknya dan berkata bahwa dirinya begitu baik karena telah menolong orang lain. Namun, sebaliknya. Eric menautkan alisnya, menatap Casey seperti menuntut penjelasan.
"Terjatuh? Kapan?" tanya Eric.
Casey tak berani menatap mata Eric, seakan ubin lantai lebih menarik untuk dipandang. "Itu sudah lama, kok."
Erica menatap mereka secara bergantian. Merasa aneh dengan kekhawatiran Eric yang tak biasa, sikap temannya pun berbeda. "Kenapa memangnya? Bukan sesuatu yang besar, kok! Gwen baik-baik saja!" Dia mulai membuka suara kembali.
Eric menghela napasnya. "Aku tunggu penjelasanmu, Gwen. Kalau begitu aku pulang duluan, kalian semangat belajarnya, okay? ujarnya kembali mengukir senyumnya yang khas.
Kedua gadis itu mengangguk, Erica melambaikan tangannya pada Eric yang kian menjauh.
"Ayo kembali," ajak Casey, berjalan mendahului Erica. Erica yang sedari tadi selalu tersenyum sampai matanya berbentuk garis saja, kini berubah sinis pada Casey tanpa Casey sadari.