Chereads / Trapped in Love in The Game / Chapter 15 - Akhirnya bertemu

Chapter 15 - Akhirnya bertemu

"Tumben sekali bangun pagi."

"Aku harus berangkat awal."

"Tuan, ingin saus—

"Tidak perlu, Gwen. Aku bisa sendiri." tolak Eric dengan senyuman manisnya

Casey hanya bisa mengerjapkan matanya. Eric bersikap seperti yang Casey inginkan.

Benar-benar menganggap Casey layaknya embusan angin lalu. Dari pagi, sebelum Casey datang ke kamarnya untuk membangunkan pria itu, Eric sudah berada di ruang keluarga dengan penampilan yang sudah rapi dan wangi. Hanya tinggal menunggu sarapan bersama yang lain. Bahkan Noel dan Luke sendiri kaget melihatnya. Casey masih berpikir positif mungkin karena Eric adalah panitia acara ia harus berada di kampus lebih awal, lagipula Eric sendiri yang bilang kemarin.

Namun, ternyata tidak hanya kejadian itu. Saat di kampus, setiap kali mata mereka bertemu, Eric langsung memalingkan wajahnya seakan enggan bertatapan dengannya. Wajah pria itu benar-benar bisa cepat berubah menjadi ramah ketika seseorang menyapa atau mahasiswi baru menanyakan sesuatu padanya. Jujur saja, Casey baru pertama kali melihat perubahan sikap tuan mudanya itu. Walaupun begitu, Eric tetap bersikap biasa saja saat di mansion, pria itu benar-benar bisa mengikuti apa yang dikatakan Casey. Sedangkan saat di luar, hubungan mereka layaknya orang asing sampai hari terakhir pengenalan kampus.

"Eric, ah, dia memalingkan wajahnya lagi."

--

Casey ingin menekan tombol lift, tapi sesosok pria mendahului dan masuk ke dalam. Casey hanya bisa melongo saat mengetahui siapa orangnya. Itu Eric. Pria itu menatapnya datar.

"Ingin masuk atau tidak?" Nada bicaranya pun datar. Casey mengigit bibirnya, netranya memandang takut beberapa orang yang kini berada di dalam lift juga menatapnya dengan penuh tanda tanya.

Casey menggeleng pelan membiarkan pintu lift menutup. Gadis itu hanya menghela napasnya berat.

Ini terjadi karena dia mencoba untuk mengubah alur cerita.

Nasib baiknya adalah, orang yang seharusnya dipertemukan dengan Casey sampai saat ini belum terjadi. Bahkan Casey berusaha untuk menjaga jarak jangan sampai berpapasan apalagi berhubungan dengan orang tersebut. Walaupun hidupnya kini tidak tenang karena perasaan yang selalu was was. Ia juga tidak boleh lengah, karena sang pencipta game ini atau siapa pun yang mengatur alurnya pasti akan berusaha untuk mempertemukan mereka.

Hari terakhir acara adalah pesta penyambutan. Semua orang bersenang-senang karena akhirnya berada di penghujung akhir acara. Mahasiswa baru yang semakin akrab dengan senior, memperbanyak teman atau pun ajang mencari jodoh di tempat baru. Acara berlangsung begitu meriah, dengan makanan dan minuman lezat yang tersedia dengan gratis. Sedangkan Casey hanya menjadi penikmat dari jauh, ia lebih sibuk mencoba segala jenis makanan dari ujung stand sampai ke ujung lainnya. Perutnya sama sekali belum ada tanda-tanda akan kenyang.

Kini Casey duduk di sebuah kursi panjang sedikit memojok dengan cahaya remang-remang seraya melahap hotdog dan minuman boba yang baru saja ia ambil. Memandang banyak orang yang sedang bahagia terlihat jelas dari wajah mereka. Casey lebih senang menjadi pengamat, karena mungkin hari ini menjadi hari terakhirnya juga ia dapat bersantai-santai. Besok ia mulai belajar layaknya mahasiswa menuntut ilmu, lalu dilanjutkan bekerja di mansion.

Kegiatannya akan semakin padat. Tapi tidak apa-apa, setidaknya ia bisa bersama keempat tuan muda tampannya itu. Hidup Casey menjadi tidak sesuram itu.

"Apa kau sudah puas dengan hubungan kita yang sekarang?"

Tanpa ragu, Casey langsung menoleh ke belakang, mencari tahu siapa sosok dari pemilik suara tadi walaupun ia sudah lumayan yakin orangnya.

Itu Eric.

Pria bersurai coklat itu kini menatapnya dengan tatapan datar. Ada rasa bersalah dalam benak Casey, sedikit tak nyaman pun ia rasakan. Casey tahu, sikap Eric saat di mansion pun hanya sebuah paksaan agar kedua kakak dan adiknya tidak curiga dengan apa yang terjadi dengan hubungan mereka. Eric masih kesal padanya, Casey tahu pasti.

Casey tersenyum getir, memalingkan wajahnya ke arah semula. "Maaf, karena saya, Tuan melakukan hal yang menurut Tuan tidak nyaman." Casey bisa merasakan embusan napas berat dari leher belakangnya. Kursi panjang itu kini terasa lebih berat karena Eric memutuskan duduk di sisi ujung lainnya.

"Aku boleh duduk di sini, kan?" tanya Eric sedikit menyindir. Casey menatap sekitar, ia pikir sedikit aman karena tempat ini sedikit gelap dan orang-orang tidak akan fokus terhadap mereka.

"Tidak apa-apa, Tuan."

Mereka duduk dengan diam, tidak ada yang mengutarakan kata demi kata lagi. Casey hanya menghabiskan hotdognya, minumannya tak sempat ia habiskan karena sudah tak ada rasa manis lagi di sana. Sudah tercampur dengan es batu yang mencair.

"Tuan." panggil Casey memberanikan diri untuk memecah keheningan.

"Sudah kubilang panggil Eric saja."

"Aku minta maaf."

"Untuk?"

Casey menundukkan wajah, memainkan jari-jari lentiknya. "Aku tahu, aku membuatmu kesal."

"Bukankah ini yang kau inginkan? Aku sudah mengikuti apa maumu." Eric masih memandang lurus ke depan dengan tatapan datar.

"Aku hanya menghindari apa yang orang-orang katakan nanti, Eric."

"Ya, aku paham. Karena itu kita menjadi asing saat di kampus, kan?"

"Tapi sepertinya aku salah. Aku seharusnya tidak peduli apa yang orang-orang pikirkan. Bahkan hal tersebut belum terbukti, aku terlalu berlebihan sampai membuatmu kecewa." Casey menoleh ke arah Eric. Memandang lurus pria di sampingnya itu. Eric terperangah, tatapan mereka bertautan. Ada rasa senang di dalam hati pria itu. Sudah seminggu ia tak melihat kilauan mata dari gadis bersurai hitam indah yang ada di depannya saat ini.

Sudut bibirnya kian terangkat, tak sanggup menahan rasa bahagianya. "Jadi kita bisa bersikap biasa saja?"

Casey mengangguk seraya tersenyum tipis. "Kalau itu yang membuatmu nyaman, ayo kita lakukan."

"Tenang saja, aku benar-benar akan menjaga sikapku hingga orang-orang tidak akan berpikir yang tidak-tidak terhadapmu!" Eric mengepalkan tangannya berusaha meyakini Casey. Gadis itu hanya tertawa kecil menanggapinya.

"Terima kasih, Eric."

Eric menyenderkan tubuhnya ke kursi, menghela napasnya lega seakan beban masalah yang ia hadapi akhir-akhir ini kini sudah terbang menjauh. "Syukurlah, kau tahu ini berat untukku. Aku sudah merasa dekat denganmu, bahkan sebelum itu aku sudah membayangkan hari-hariku di kampus akan terasa menyenangkan karena ada dirimu."

Mendengar hal itu secara langsung membuat kedua pipi mulus Casey merona. Ia tak sanggup untuk menatap tuan mudanya tersebut karena malu.

Jantungnya semakin berdebar kencang tatkala lengan Eric terulur membelai surai Casey dengan lembut. "Aku juga sudah lama tak mengusap rambutmu, haha!"

"Apa pria ini tidak sadar dengan perbuatannya?! Jantungku ingin meledak tahu!" batin Casey.

Tangan itu terhenti seketika karena ponsel Eric berdering. Eric mengangkat panggilan tersebut, berbicara sebentar lalu kembali menutupnya.

"Aku harus pergi. Divisi acara membutuhkanku. Kau tetap akan di sini?" tanya Eric yang dibalas anggukan Casey.

"Sungguh? Acara sebentar lagi selesai, kau pulang denganku, ya? Sudah larut malam juga."

"E—eh! Tidak perlu! Masih ada jadwal bus yang bisa aku naiki, kok," tolak Casey berharap Eric tidak marah. Namun nihil, pria itu memajukan bibirnya, merengut kesal.

"Baru saja kita bicarakan untuk tak menjadi asing. Kau sudah mulai lagi."

"Bukan begitu ... ini terlalu tiba-tiba ...."

Eric tertawa renyah. "Aku bercanda! Ya sudah, kabari aku nanti," ujarnya seraya meninggalkan Casey kembali seorang diri.

Casey melambaikan tangannya memandang punggung lebar itu yang kian menjauh. Ia bangkit dari duduknya, membuang sampah makanan ke tempat sampah. Masih lumayan ramai, gadis itu berjalan lagi ke stand minuman untuk menikmati minuman gratis yang terakhir.

Setelah mendapat secangkir coklat panas, ia kembali melanjutkan perjalanannya menuju auditorium. Karena terlalu fokus menikmati minuman tersebut, ia tak sadar seorang pria dari arah berlawanan sedang berlari hingga tak sengaja menabraknya. Casey sama sekali tak bisa menghindar, bahkan sampai tersungkur ke belakang. Alhasil coklat panas tersebut tumpah ke kemeja putih yang ia kenakan saat ini.

"Arghh!!" pekik Casey kepanasan. Ia mengibas-ngibaskan kemejanya. Jika ini bukan di luar mungkin saja ia sudah membuka kemejanya saat itu juga. Umpatan-umpatan sudah ia racaukan walaupun hanya dalam hati. Karena pelaku yang menabrak sama sekali tak meminta maaf, bahkan untuk menoleh saja tidak. Casey juga kesal orang-orang hanya melihatnya dengan tatapan kasihan tanpa membantu sedikit pun.

"Hei, apa dia tidak apa-apa?"

"Kasihan sekali, apalagi bajunya berwarna putih."

"Bantu dia sana!"

"Ugh ... sepertinya dia bisa mengatasinya sendiri. Lagipula hanya terkena tumpahan minuman yang ia bawa sendiri, kan?"

"Brengsek, otak pintar tak membuat orang memiliki kepribadian baik juga ternyata," pikir Casey. Masih menundukkan kepala, semakin mengeratkan kemeja bajunya yang terkena noda coklat.

"Kau tidak apa-apa?"

Sebuah tangan terulur ke hadapan Casey. Casey mendongak melihat siapa orang itu. Ia baru saja ingin berubah pikiran bahwa masih ada orang baik di dunia ini. Namun pikiran itu buyar seketika, saat Casey tahu siapa pemilik tangan tersebut.

Lebih baik tidak ada yang menolongnya sama sekali daripada orang ini yang harus berada di depannya.

Usaha yang ia lakukan untuk menghindar, ternyata alur tersebut tetap terjadi.