Eric menatap Casey dalam, seperti menerawang ke dalam diri gadis itu lalu mengulas senyum tipis. "Apa kau pintar menghitung?"
"Ah, ternyata ini yang ingin ia tanyakan," pikir Casey merasa kecewa dan malu dengan pikiran-pikiran liar yang ia bayangkan tadi.
"Masuk ke dalam arsitektur tidak hanya tentang seni, tetapi ilmu hitung sudah pasti ada di sana. Kau juga harus kreatif dan bisa memecahkan berbagai macam masalah. Jadi, aku ingin tahu kelemahanmu apa dan nanti bisa kita pelajari apa yang kurang tersebut," lanjut Eric yang tak bisa diam dengan memutar-mutar dirinya yang duduk di kursi belajar.
"Um ... saya tidak tahu, Tuan. Apa kekurangan dan kelebihan saya dalam hal akademik," jawab Casey sedikit takut.
Eric menautkan alisnya heran. "Sungguh?"
"Saya bisa sedikit menggambar bangunan, tapi hanya sederhana,"
"Oh, tidak apa-apa. Tidak perlu sampai memiliki bakat dewa untuk masuk jurusan arsitektur."
"Untuk menghitung, um ... mungkin saya bisa, tapi tidak terlalu mahir." Casey menggigit bibir bawahnya.
Eric memajukan wajahnya sampai hanya beberapa centi saja berjarak dengan wajah Casey. Membuat netra gadis itu membulat karena terkejut. Pria itu terkekeh pelan.
"Itu sudah lebih dari cukup. Yang penting kau paham dasarnya, Gwen."
Jantung Casey berdegup dengan kencang. Ia bahkan menahan napas karena saking gugupnya. Aroma tubuh Eric dengan jarak sedekat ini benar-benar memenuhi penciuman Casey. Gadis itu bisa dibuat mabuk karena pria itu. Pipi bulatnya kian merona tatkala Eric tersenyum manis padanya.
Eric menjauhkan wajahnya kembali ke posisi semula. Akhirnya Casey bisa bernapas dengan normal. Ia juga menepuk pipinya agar rona merah itu menghilang.
"Kau tak apa-apa?" tanya Eric khawatir karena melihat tingkah Casey.
"T—tidak apa-apa, Tuan!"
"Ah, baiklah."
Eric kemudian menyalakan laptop abunya dengan merk buah nanas lalu menyodorkan sebuah sketchbook dan pensil mekanik kepada Casey.
"Buatlah sebuah bangunan sesuai dengan pikiranmu."
"Sekarang?"
Eric terkekeh pelan mendengar pertanyaan Casey. "Minggu depan, Gwen."
"O—oke, baiklah."
"Eh? Tentu saja sekarang!"
"I—iya, ini saya kerjakan sekarang, Tuan!" balas Casey seraya mengambil pensil mekanik.
Casey menatap kertas kosong yang ada di depannya. Mencoba berpikir bangunan apa yang akan ia gambar di sana. Lima menit ia habiskan untuk berpikir kemudian jarinya mulai bergerak menggambar sebuah rumah sederhana dengan halaman yang begitu banyak tanaman asri di sekelilingnya. Menambah kesan sejuk dan nyaman siapa pun yang tinggal di sana.
Dua puluh menit Casey sibuk dengan aktivitas menggambarnya. Tanpa sadar bahwa sedari tadi Eric terus memandanginya bahkan sesekali tersenyum.
Coretan terakhir telah selesai. Casey tersenyum lega melihat hasil karya yang baru saja ia buat. Gadis itu langsung saja menyodorkan karyanya kepada tuan sekaligus guru privatenya.
"Ini, Tuan. Maaf menunggu lama." Casey menyodorkan sketchbooknya kepada Eric.
"Tidak, kok." Eric langsung melihat dengan fokus gambar yang dibuat Casey. Gadis itu kini sedang gugup menunggu respon Eric setelahnya. Sesekali mencuri pandang.
Eric mengangguk-anggukan kepalanya. "Bagus, Kau berbakat, Gwen. Aku kagum padamu. Hanya dalam waktu dua puluh menit kau bisa menggambar sebuah rumah dengan sedetail ini," puji Eric seraya mengacungkan ibu jarinya.
Casey tersenyum sampai menampilkan deretan gigi rapinya saking senangnya. Bahkan kakinya tak bisa diam, khas seorang Casey jika sedang mode kegirangan.
"Hei, hei, jangan senang dulu. Perjuanganmu masih jauh." Eric mengingatkan seraya memegang puncak kepala Casey agar berhenti bergoyang. Tentu saja perlakuan Eric langsung membuat Casey menjadi batu. Kini berganti jantungnya yang bergoyang.
Eric memperlihatkan sebuah jadwal di layar laptopnya. Jadwal itu akan menjadi rencana kegiatan yang harus Casey ikuti jika ingin berhasil masuk ke jurusan arsitektur. Casey masih mencoba memahami apa yang dibuat oleh tuan mudanya ini. Di sana tertulis bahwa selama dua bulan kegiatannya dari pagi sampai malam tidak akan pernah habis. Casey menganga melihatnya tanpa sedikitpun matanya berkedip.
"Kau hanya punya waktu 2 bulan saja untuk mempersiapkan semuanya. Dari tes matematika, menggambar, belajar software CAD, dan menyiapkan portofolio. Kau juga harus membaca buku-buku ini." Eric menepuk buku-buku yang ia bawa sebelumnya. "Apa kau sudah merencanakan akan memilih kampus apa?"
Casey menggeleng. Ia sebenarnya ingin satu kampus bersama Eric. Namun, melihat kepadatan pembelajarannya disandingkan dengan otak seorang Casey yang akan menampung sepertinya akan berat sebelah.
"Kalau begitu kita putuskan untuk memilih kampus yang sama denganku, bagaimana?" usul Eric yang malah membuat Casey menangis dalam hati.
"T—tapi, Tuan, saya jadi ragu apa bisa masuk ke kampus terbaik seperti—"
"Kau harus percaya diri! potong Eric. "Karena aku yang akan mengajarimu. Begini-begini aku mahasiswa terbaik di kampus, loh," ujar Eric dengan bangga.
Casey mengangguk seraya tersenyum kikuk. "Terima kasih banyak, Tuan."
Eric terkekeh pelan. "Terlalu awal untuk berterima kasih. Aku juga akan belajar sama sepertimu, untuk mempersiapkan semester selanjutnya. Jadi mungkin aku tidak akan selalu berada di sampingmu, tapi jika ada yang tidak kau mengerti jangan sungkan untuk bertanya padaku."
"Itu sudah lebih dari cukup, Tuan. Anda sudah banyak membantu. Saya bahkan tidak tahu harus membalasnya seperti apa," ujar Casey dengan senyuman tipis.
"Tidak usah dipikirkan hal itu, Gwen. Ah, ngomong-ngomong, bisakah jika hanya ada kita berdua kau bicara non formal saja padaku?"
"E—eh, tapi itu terlalu tidak sopan, Tuan!"
"Tidak masalah! Lagipula umur kita tak terlalu jauh. Berapa umurmu?" tanya Eric.
"19 tahun, Tuan."
"Nah, panggil aku Eric saja."
" ... Eric?"
"Ya! Seperti itu!" seru Eric kegirangan. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan saking senangnya. "Ah, maaf. Aku terlalu senang. Rasanya seperti memiliki teman seumuran di dalam rumah. Kita hanya beda setahun, itu sama sekali tak terasa."
Casey tertawa pelan. "Baiklah, aku akan memanggilmu Eric. Tapi sungguh tidak apa-apa?"
"Ey, santai saja. Lagipula jika Noel atau Luke tahu pun tak apa. Selama yang bersangkutan tak masalah. Tak usah terlalu dipikirkan, okay?"
"Baiklah."
"Oh, dan juga untuk masalah tadi pagi ... aku minta maaf, Gwen. Aku tau itu pasti aku yang menariknya," aku Eric. Semburat merah tipis muncul di kedua pipinya. "Sudah lama aku tidak mengigau, terakhir kali aku menarik Mrs. Belinda dan beberapa pelayan juga ada di sana. Aku benar-benar malu."
Casey melipat kedua bibirnya ke dalam, menahan tawa. Tuan muda satu ini memang selalu ada saja tingkah lucunya.
"Ah, kenapa aku malah curhat, ya? Pokoknya untuk hari ini cukup sampai di sini saja," putus Eric seraya melihat jam dinding di pojok ruangan. "Sudah jam sepuluh malam juga. Kau harus beristirahat."
"Baik, Tuan. Terima kasih untuk malam ini." Casey bangkit dari duduknya.
"Eric saja," koreksi Eric.
"Oh, benar. Eric. Untuk kedepannya mohon bantuannya." Casey membungkukkan badannya.
Eric tersenyum lebar menampakkan gigi putihnya yang berderet rapi. "Serahkan padaku!"