Dina terus berada di depan rumah Nadia. Padahal, satu jam lebih, Hilmi pamit padanya. Nadia yang telah pulang dari pasar, menyadarkan Dina.
"Din, kamu bantuin Kakak ngejait baju yuk! " Nadia menepuk Dina.
"Iya Kak, Dina bantu,"
Amel membawa Nico ke rumah. Ia berpikir bahwa rumahnya sangat kosong. Dan juga, tidak ada yang akan masuk ke rumah mengingat keluarganya sedang ada urusan masing-masing.
"Buatin kopi dong!" pinta Nico.
Awalnya, mereka hanya duduk di ruangan tengah. Namun, lambat laun, Nico menggendong Amel. Amel mengarahkan Nico menuju kamarnya.
"Hahaha."
Suasana romantis pun, terjadi di dalam kamar Amel. Tanpa Amel ketahui, ayahnya, sudah berada di depan pintu.
Tok! Tok! Tok!
"Aduh, siapa sih?" ketus Amel. Ia menyibak tirai. Terlihatlah sosok Hilmi sedang berada di rumah.
"Kamu ngumpet dulu di sana!" titah Amel. Ia menuntun Nico ke dalam kamar mandinya.
"Ada siapa?" tanya Nico.
"Papahku," jawab Amel.
Amel membukakan pintu untuk ayahnya. Hilmi menyuruh Amel membuatkannya kopi.
"Mel, buatin kopi ya buat Papah," titah Hilmi. Amel hanya mengangguk.
"Aduh, kenapa Papah pulang sih? Mamah gak kasih tau lagi, kalo Papah mau pulang," batin Amel.
"Ini Pah."
Amel menyodorkan secangkir kopi pada Hilmi. Hilmi menyeruput kopi. Namun, Amel masih berdiri di depan Hilmi. Hilmi mengerutkan kening. Sangat aneh melihat perilaku Amel.
"Ada apa?" tanya Hilmi.
"Papah gak pergi keluar gitu, hari ini?" tanya Amel.
"Enggak tuh," jawab Hilmi.
"Kamu sini deh, tolong pilihin motor buat adikmu," ujar Hilmi.
Amel sangat ketakutan. Ia takut jika ayahnya akan mengetahui bahwa dia membawa seorang pria ke dalam kamar. Amel pun menjawab, "Yang ini."
"Ini? Apa Rayan bakalan suka?"
"Papah tanya aja sama Rayannya langsung."
Amel gegas memasuki kamarnya. Ia mengunci kamar. Amel membuka kamar mandi. Ia berkata pada Nico, "Papah gak bisa kemana-mana hari ini."
"Terus gimana?" bisik Nico.
Rayan, Gilang dan Maman berkominikasi. Mereka berencana untuk mengunjungi makam Ari.
"Kapan dong bisanya?" tanya Maman pada Rayan.
"Gue juga gak tau, kayanya, hari libur," tutur Rayan.
Amel memikirkan cara agar Hilmi keluar dari rumah. Amel meminta, "Pah, hari ini, bisa gak, Papah aja yang jagain Nenek?"
"Gak bisa Mel, Papah capek seharian ini. Kamu jangan gitu dong sama Nenek sendiri!" ujar Hilmi.
Amel kesal lantaran Hilmi tidak bergerak menuju kamar. Malah sibuk mengganti-ganti saluran televisi.
"Kalo capek, mending Papah istirahat di kamar," saran Amel. Setidaknya, jika Hilmi berada di dalam kamar, Amel bisa mengeluarkan Nico dari kamarnya.
"Belum ngantuk Papah," jawab Hilmi.
"Tumben-tumbenan Papah gak pergi," pikir Amel. Amel yang terbiasa ditinggal oleh Hilmi, merasa aneh dengan sikap ayahnya.
"Pah, mending Papah mandi gih, bau tau," ledek Amel. Hilmi mengendus bajunya.
"Enggak kok, perasaan kamu aja kali," balas Hilmi.
"Kalau kamu ngerasa bau, sana jangan deket-deket! Biasa juga di kamar ngurung diri," oceh Hilmi.
"Mending buat makan aja ah, pasti Nico lagi kelaparan,"
Amel memasak telur ceplok untuk Nico. Setelah telurnya matang, Amel pergi ke toilet yang ada di ruang tengah.
"Yah, telornya mana? Pasti Papah nih," tebak Amel.
Benar saja, Hilmi tengah memakan telor ceplok buatan Amel. Amel berteriak, "Papaaaaah!"
"Apa sih, berisik!" ucap Hilmi sambil terus mengunyah.
"Itu kan telor buat Nico," celetuk Amel.
Hilmi mengerutkan kening. Ia bertanya, "Nico siapa? Kamu bawa temen?"
"Maksud Amel tuh, buat Amel," alibi Amel. Untung, Amel lekas memberikan alasan.
"Apa gue putusin aja ya si Nindi?"
"Kan tinggal masak lagi," ucap Hilmi. Mau tak mau, Amel harus memasak lagi untuk Nico.
"Jangan cemberut gitu dong! Jelek tau," tukas Hilmi.
Farhan memiliki pemikiran yang buruk. Pasalnya, dia ingin menyakiti hati Nindi. Ia merasa sudah cukup untuk membuat Rayan berang.
"Tapi sayang, Nindi belum gue apa-apain," batin Farhan.
Farhan membalas pesan masuk dari Nindia. Farhan juga mengajak Nindi bertemu.
"Akhirnya, Farhan udah gak marah lagi."
Nindia merasa lega setelah Farhan membalas pesan darinya. Nindia mendapatkan saran dari teman-temannya.
"Ngapain sih sama si Farhan, dia kan bukan cowok baik-baik," celetuk Mina--sahabat Nindia.
"Iya Nin, kaya gak ada cowok lain aja."
"Tapi, kan kalian gak tau gimana baiknya Farhan. Dia tulus sama gue."
Nindi amat yakin, jika Farhan sangat tulus mencintainya. Bahkan, Nindia tidak memedulikan perkataan dari teman-temannya yang telah mengatakan betapa berengseknya Farhan.
"Bisa gak sih, kalian itu jangan ngejelek-jelekkin Farhan terus!"
Nindia meminta agar teman-temannya berhenti menjelekkan Farhan.
"Kita tuh peduli sama lo, Nin. Rayan masih okelah, kalo Farhan, dia bukan cowok setia, temen gue tuh korbannya," papar Devita.
Nindia malah pergi meninggalkan sahabat-sahabatnya. Ia terlalu mempercayai ucapan Farhan yang manis di awal.
"Gimana nih, Nindi marah sama kita lagi," ucap Hani.
"Bodo amat! Lagian, batu amat dikasih tau," bentak Devita.
Devita hanya berniat untuk memberikan informasi tentang Farhan kepada Nindia. Agar, Nindia tidak menjadi korban Farhan yang selanjutnya.
"Vit, kalo Nindia ngadu ke Farhan gimana? Nanti Farhan marah sama lo," ucap Mina.
"Si Farhan doang mah, gue gak takut."
Devita benar-benar tidak merasa takut jika Nindia mengadukan apa yang dia katakan kepada Farhan. Karena, menurutnya, apa yang dia katakan sangat benar.
Nindia menepis pikiran buruk tentang Farhan. Dan apa yang teman-temannya paparkan tentang Farhan.
"Tuh kan, Farhan itu gak kaya apa yang mereka bilang. Buktinya, Farhan bales," batin Nindia.
"Jangan nyakitin Nindia!"
Farhan masih terbayang-bayang dengan ucapan dari Rayan.
"Segitu doang marahnya Rayan? Cih! Gak seru," batin Farhan.
Nindia Pamit kepada keluarganya, "Mah, Nindi mau pergi main dulu ya!"
"Malam-malam gini?" tanya ibunda Nindia.
"Bentar doang kok, Mah, paling, cuman dua jam aja," jawab Nindia.
"Sama temen-temen yang lain kan?"
"Iya Mah, sama Hani juga kok,"
"Yaudah hati-hati ya!"
Farhan mengajak Nindia untuk bertemu di depan sebuah hotel.
"Kita mau pergi ke mana hari ini?" tanya Nindia.
Farhan langsung menunjuk ke arah hotel yang membelakangi Nindia.
"Tapi kan, Farhan, itu hotel."
"Emang hotel. Siapa bilang pasar?"
Farhan yang melihat tatapan kecemasan dari Nindi bertanya, "Kenapa? Gak mau?"
"Gak gitu Farhan maksudnya," kata Nindia.
"Hmmm, dia pasti mau, gak mungkin nolak sih," batin Farhan.
Nindia yang begitu lemah dan akan menuruti apa saja keinginan dari Farhan, lekas mengikuti langkah Farhan.
"Mohon maaf, untuk hari ini, penuh," ungkap receptionis hotel.
"Ah sial! Padahal, ini hotel yang paling murah. Duit gue gak ada lagi kalo harus ke hotel lain," batin Farhan.
Akhirnya, kencan mereka malam Itu, berakhir di sebuah caffe. Itu pun, separuh dari tagihan, Nindia yang membayarnya.