Dina menghubungi kembali ke nomor Amel. Namun, tidak ada jawaban apa pun. Dina lekas menghubungi anak keduanya.
"Hallo Mah?" jawab Dinda.
"Dinda, Kak Amel ada di rumah gak?" tanya Dina.
"A-ada kok, Mah," gugup Dinda.
"Coba kasihin hpnya ke Kak Amel. Mamah mau ngomong," pinta Dina.
"Dinda cari dulu ya Kak Amelnya," kata Dinda.
"Katanya Kak Amelnya ada. Mana?" tanya Dina.
Dinda langsung menemui Hilmi. Dinda memberitahukan Hilmi jika Dina mencari Amel.
"Pah, Mamah cariin Kak Amel nih," ungkap Dina.
"Sini, biar Papah aja yang ngomong!" kata Hilmi. Dinda memberikan ayahnya ponsel.
"Mah, cari Amel?" tanya Hilmi.
"Iya, Amel mana Pah? Mamah mau ngomong." Dina merasa aneh. Padahal dirinya ingin bercengkerama dengan Amel. Namun, malah Hilmi yang mengajaknya berbincang.
"Amel tadi pergi Mah. Gak tau kemana tuh anak," ujar Hilmi. Hilmi memilih untuk membohongi Dina. Hilmi berpikir jika berbohong adalah yang terbaik untuk saat ini.
"Tapi, kata Dinda, Amel ada kok katanya," balas Dina.
"Wajar dong Dinda bilang kaya gitu. Kan Dinda dari tadi diam di kamar terus. Mana tau dia kakaknya pergi," kilah Hilmi.
"Aduh, itu anak kemana ya. Mamah khawatir jadinya. Mana Amel gak izin dulu," oceh Dina. Dina sangat mengkhawatirkan Amel. Apalagi, Amel adalah anak perempuan.
"Gak usah terlalu khawatir. Nanti juga pulang dia," kata Hilmi.
"Yaudah. Nanti kalo Amel udah pulang kasih tau Mamah ya Pah," pinta Dina.
"Pasti," jawab Hilmi sambil tersenyum lebar. Mereka mengakhiri percakapan.
"Gak biasanya deh, Amel gak izin dulu," pikir Dina.
"Kamu cuman bilang gitu doang kan sama Mamah?" selidik Hilmi.
"Iya Pah, cuman itu doang kok." Dinda membalikkan tubuh setelah selesai berbicara dengan Hilmi. Setelahnya, mengunci pintu kamar.
"Sayangku kamu lagi apa?" tanya Nico yang sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Amel.
Pemberitahuan dari aplikasi hijau yang sangat banyak, membuat Hilmi pusing. Ia pun, mematikan ponsel milik Amel.
"Kok tumben Amel gak balas chat gue? Biasanya, selalu dia duluan yang chatting," batin Nico.
"Gimana ya caranya, supaya Dinda bisa nolongin Kak Amel?" pikir Dinda.
Dina ingin kembali ke rumah. Ia merasa lelah dan ingin bergantian menjaga mertuanya dengan Dinda.
"Din, kamu pulang aja, biar Kak Ani yang jaga ibu," tutur Ani yang datang dengan suaminya.
"Kak Ani, Kak Anjar," sapa Dina.
"Baru aja, Dina mau telepon Dinda. Buat gantian jaga. Eh, Kak Ani sama Kak Anjar datang. Kebetulan banget," celoteh Dina.
"Dina pulang dulu ya Kak." Dina berpamitan dengan kakak iparnya.
"Hati-hati Din," ujar Ani.
Dengan kendaraan umum Dina bergegas menuju kediamannya. Dina tidak sempat mengabari Hilmi tentang kedatangannya ke rumah.
"Nomor yang Anda hubungi tidak dapat menerima panggilan." itu adalah jawaban ketika Nico mencoba menghubungi Amel.
"Nanti juga Amel pasti chatting gue," pikir Nico.
Ayarra menjembara untuk mengambil gawainya yang sedari tadi berdering.
"Hallo Cin?" Ayarra berbicara dengan lemah lembut.
"Heh! Lu temennya Cindy kan?" sungut Rayan.
"Ini siapa? Maling ya?" Ayarra sedikit terkejut dengan bentakan dari Rayan. Biasanya, tidak ada hal yang mengejutkannya ketika menerima panggilan dari Cindy.
"Enak aja lu manggil-manggil gue maling. Ini gue Rayan," jawab Rayan.
"Ada apa?" sinis Ayarra.
"Kalo lu emang sahabatnya Cindy, sekarang juga, lu harus ke sini," kata Rayan.
"Emang Cindy kenapa?" tanya Ayarra.
"Penasaran kan? Udah, pokoknya ke sini aja!" Rayan lekas mematikan panggilan.
"Cindy kenapa ya?" Ayarra sangat penasaran dan juga khawatir. Ayarra pamit kepada Ibunya.
"Buk, Ayarra ke rumah Cindy dulu ya penting,"
Ayarra tergesa untuk pergi mengunjungi sahabatnya itu.
"Mau dianter gak?" tanya Rico.
Ayarra mengangguk. Ia yakin jika diantar menggunakan motor, akan lebih cepat untuknya sampai ke rumah Cindy.
"Duh, lama amat si Ayarra. Keburu telat nih sampe ke Jakarta," pikir Rayan.
"Assalamualaikum." Dina mengucapkan salam ketika sampai di rumahnya.
"Tadi, ngomong apa sih sama Ayarra?" tanya Cindy.
"Bukan apa-apa," jawab Rayan.
Cindy tidak mendengarkan perbincangan antara Ayarra dan Rayan. Sebab, Rayan menelepon Ayarra di depan rumah tetangga.
"Mah, kok kamu pulang gak bilang-bilang?" tegur Hilmi ketika melihat istrinya telah sampai di rumah.
"Oh, tadi ada Kak Ani sama suaminya. Ia nyuruh aku pulang kalau capek." tutur Dina.
Di dalam gudang, Amel hanya bisa menangis. Ia hanya bisa pasrah untuk sekarang.
"Jadi, ada Kak Ani?" tanya Hilmi.
"Iya, Kak Ani juga bawain banyak makanan buat Ibu."
"Aduh, gawat nih, kenapa Dina harus pulang sekarang sih? Waktunya gak tepat lagi." batin Hilmi. Ia khawatir jika Dina mengetahui bahwa dia mengurung Amel di sebuah gudang.
"Pah, Mamah khawatir deh. Amel bener gak bilang mau kemana? Gak izin buat kerja gitu?" tanya Dina.
"Ya, mungkin Amel kerja tapi lupa buat bilang gitu," ujar Hilmi mencoba untuk menenangkan hati Dina.
"Tapi gak mungkin juga sih kalo kerja. Amel kan sebelumnya lagi ngobrol sama kamu, Amel juga cerita kalo dia kerja malam hari ini," kata Dina.
"Mamah, kok pulang? Nenek sama siapa?" tanya Dinda sembari salim.
"Oh, tadi ada Tante kamu. Tante Ani sama suaminya datang," jelas Dina.
"Oh gitu, Dinda ke kamar lagi ya," ujar Dinda.
"Iya sayang," jawab Dina.
"Ada Mamah, aduh, kalo nanti ketauan gimana nih?" Dinda tidak ingin jika Dina mengetahui perbuatan Hilmi. Namun, Dinda juga ingin mengeluarkan kakaknya dari dalam gudang.
"Ray? Lu udah berangkat belum?" tanya Maman melalui aplikasi hijau.
"Belum nih, tapi gue pasti ke sana kok," balas Rayan.
"Pah, kok Mamah denger ada yang nangis ya," kata Dina.
"Aku gak denger apa-apa tuh. Mungkin, itu karena kamu kecapean." Hilmi menuntun Dina.
"Kamu mau ajak aku kemana sih?" tanya Dina.
"Aku mau pijitin kamu di kamar. Kamu pasti kecapean kan?"
"Tumben. Ada maunya ya?" tebak Dina.
"Kamu kok tau?" jawab Hilmi dengan tatapan nakal.
"Gimana pijitan aku? Enak kan?" tanya Hilmi.
"Aduh, enak banget Pah, udah lama juga, Mamah gak dipijit sama Papah," terang Dina.
"Papah sama Mamah gak ada. Kayanya, Dinda bisa nih keluarin Kak Amel," pikir Dinda.
Dinda bergegas menuju gudang. Ia memanggil nama kakaknya.
"Kak Amel?"
"Dinda, tolongin gue cepetan!" ucap Amel. Amel sangat ingin keluar dari gudang yang tak terawat itu.
"Tapi Dinda gak tau Papah nyimpen kunci gudangnya dimana." Dinda menangis.
"Tuh, Pah, Mamah denger suara cewek lagi nangis, masa Papah gak denger sih?"
"Enggak tuh. Ini tuh efek dari rasa capek yang kamu rasain. Jadi bawaannya halu," tutur Hilmi.
"Iya mungkin ya," pikir Dina.
"Maaf ya, gara-gara Ibu, kamu jadi kecapekan gini," ucap Hilmi.
"Ibu kamu kan ibu aku juga Pah, jangan ngomong gitu ah," jawab Dina.