Fasilitas yang berikan pemilik kos sangat lengkap. Amel dan Nico langsung memasuki kamar.
"Sayang, aku siap-siap kerja ya," ucap Amel.
"Aku anterin ya, nanti pulangnya aku jemput juga," ujar Nico. Amel mengangguk. Kemudian, mencium Nico.
"Amel semakin dewasa ya Pah. Udah berpikir untuk bekerja," ucap Dina.
"Andai kamu tau. Amel sedang mengancamku tadi," batin Hilmi.
Rayan kembali ke sekolah. Ia terpaksa harus mengikuti perjanjian yang diberikan oleh Hilmi. Padahal, Rayan sudah ada niatan untuk melarikan diri dari sekolah barunya.
"Rayan, kamu belum punya jadwal piket kan? Jadwal piketmu hari rabu," imbuh Vina--ketua kelas.
"Kenapa harus sama denganku?" batin Ayarra.
"Hari rabu? Itu kan jadwal piketku juga, ini kaya gambaran rumah tangga aku sama Rayan." Karin mengembangkan senyum.
Ucup menghampiri Karin. Ucup menyapa Karin dengan malu-malu, "Eh Karin. Tumben senyum ke Ucup."
"Ih! Apaan sih." Karin menghindari Ucup.
"Ih, malu-malu," lirih Ucup.
"Ray, nanti malem, lu ikutan balapan lagi kan?" tanya Maman.
"Iyalah," jawab Rayan. Rayan tidak mengenal lelah. Ia akan melakukan balapan liar lagi. Rayan tidak memedulikan jarak yang cukup jauh.
Hilmi berpikir, "Apakah aku jujur saja dengan apa yang terjadi. Kalo Dina tidak tau, Amel akan terus memerasku."
"Tapi, aku juga tidak bisa menghadapi kemarahan Dina nantinya," batin Hilmi.
Dinda meminta izin kepada ibunya untuk masuk ke sebuah kampus mahal, "Mah, Dinda mau kuliah. Tapi, biaya masuknya mahal."
"Berapa pun biayanya, Mamah dan Papah pasti akan mengusahakannya buat Dinda," kata Dina.
Mata Dinda berbinar. Ia berkata, "Yang bener Mah?"
"Benerlah, masa Mamah bohong," ucap Dina.
"Makasih ya, Mah, Dinda sayang Mamah," ucap Dinda sambil memeluk Dina.
Direktur perusahaan tempat Amel bekerja, terlihat sangat menyukai Amel. Meskipun telah memilik anak dan istri, dia berniat untuk mendekati Amel.
"Kamu karyawan baru kan?" sapa direktur.
"Betul Pak," jawab Amel.
"Bisakah kamu membuatkan kopi untuk saya?" tanya Pak direktur.
"Baik, Pak." Amel lekas membuatkan secangkir kopi untuk direktur.
"Lawan lu kali ini susah anjirlah," terang Gilang.
"Emang siapa?" tanya Rayan.
"Dia udah lama gak ikutan balap. Eh, tiba-tiba dia datang sekarang. Kalo saran gue sih, mending lu jangan ikutan dulu," saran Maman.
Rayan mengubah pikirannya. Meskipun begitu, dia tidak membatalkan niatnya untuk pergi ke Jakarta. Rayan ingin melihat kemampuan dari pria yang dianggap lebih hebat darinya.
"Ay, kamu hari sabtu ada les?" tanya Cindy.
"Gak ada. Mamahku bilang, pendidikan lebih penting. Padahal, cuman ekstrakurikuler doang," oceh Ayarra.
"Kangen ngajar ya?" tanya Cindy.
"Banget," Ayarra mengerucutkan bibir.
"Mending kamu ajarin aku," saran Cindy.
"Boleh, yuk, di mana?" tanya Ayarra.
"Di kelas aku aja yuk!" ajak Cindy.
Ayarra mendapatkan pesan dari salah satu muridnya, "Buk Ayarra, hari sabtu besok ngajar gak?"
"Maaf, tidak bisa. Saya sibuk," jawab Ayarra.
"Kalo Buk Ayarra gak ada, aku bolos les." Mendapat pesan yang seperti itu, Ayarra lekas menelepon anak didiknya.
Dinda didampingi Dina pergi ke kampus. Mertua Dina dijaga oleh keluarga suaminya. Pendaftaran pun, telah selesai dilakukan.
"Jangan ngampang menyerah ya! Apa pun yang terjadi, pendidikan itu penting." Dina menceramahi Dinda.
"Iya Mah, Dinda janji."
Rayan pulang ke rumah Nadia hanya untuk mengambil motor. Seperti biasa, tanpa pamit, Rayan pergi.
"Aduh, si Rayan teh. Gak bilang lagi mau pergi kemana," ujar Nadia khawatir.
Rayan melajukan motor dengan cepat. Sudah tidak sabar untuk melihat sosok pria yang Gilang dan Maman ceritakan.
"Kita liat kondisi Rayan yuk di sana!" ajak Dina. Dinda hanya mengangguk.
"Mamah telepon Papah kamu dulu ya," ucap Dina.
"Ya Mah, ada apa?" tanya Hilmi.
"Ini Pah, Mamah sama Dinda mau ke Bandung. Mau liat kondisi Rayan."
"Oh gitu. Maaf ya, Papah gak bisa ikut menyusul," kata Hilmi.
"Ya gak papa kok, kamu sering-sering Pah liat kondisi Ibu," lontar Dina.
"Cindy!" panggil Nadia.
"Apa Mah?" kata Cindy.
Nadia meminta Cindy untuk menghampirinya. Cindy pun menuruti.
"Ada apa sih Mah?"
"Kamu punya nomer si Rayan gak?" tanya Nadia. Cindy menggeleng.
"Aduh, gimana ini?"
"Mah, Rayan pergi lagi? Gak bilang?" tanya Cindy.
Di dalam perjalanan, Rayan dan Dina berpapasan. Namun, mereka tidak menyadari hal itu.
"Dasar Rayan, hobi banget sih bikin orang khawatir," gumam Cindy.
"Belum mulai nih acara?" tanya Rayan.
"Ya belom lah," ujar Maman.
"Gue penasaran sama cowok itu," ucap Rayan sambil mengambil rokok dari sakunya.
"Cowok? Cowok mana?" tanya Gilang.
"Cowok yang lu pada omongin di telepon," tutur Rayan.
"Amel, terima kasih ya," kata Direktur.
"Saya boleh mempunyai nomor kamu?" lontar Direktur sambil menyeruput kopi buatan Amel.
"Aduh, ni Bapak Tua ngapain dah minta nomer gue segala. Tapi, kalo gue gak kasih, gue takut dipecat," pikir Amel.
"Boleh Pak." Mau tak mau, Amel memberikan Direktur nomornya.
"Kopi buatan kamu enak juga," puji Direktur.
"Amel," sapa Rima--teman kantor Amel.
"Eh, iya Kak Rima ada apa?"
"Lu kasihin nomor lu ke Pak Toni ya?" tebak Rima.
"Iya, emang kenapa?" tanya Amel.
"Ya gak papa. Ati-ati aja. Dia genit tau," terang Rima.
"Gue juga sebenernya gak mau sih kasihin nomor gue ke dia. Tapi, gue takut dipecat," tutur Amel.
"Apa dipecat? Gak ada hubungannya Mel. Gue juga pernah nolak waktu dia minta nomer gue. Buktinya gue masih kerja di sini."
"Gue nyesel," jawab Amel dengan raut wajah penyesalan.
"Ih, siapa juga yang bilang dia cowok. Dia itu cewek. Namanya Cintya. Siapa pun yang jadi lawannya bakalan kalah," terang Maman.
"Hah? Cewek?"
"Iya Cewek. Nah, nah, itu dia." Gilang menunjukkan sosok Cintya.
"Udah cakep, jago balapan lagi," puji Maman.
"Sambil nunggu, gimana kalo kita cari makan dulu?" saran Maman. Gilang dan Rayan menyetujui.
"Tapi, gue penasaran sih. Kira-kira, kalo gue sama tuh cewek balapan. Siapa yang menang ya?" ucap Rayan.
Maman tertawa. Maman berkata, "Jangan mikir kalo lo bakalan menang deh. Cintya itu lawan yang susah."
"Ya kan, kita gak tau, kali aja si Rayan yang menang," ucap Gilang.
"Bagi lu Cintya lawan yang susah. Bagi Rayan kan gak tau," celoteh Gilang.
"Mah, Mamah minta aja nomer Rayan ke Tante Dina," usul Cindy.
"Nanti Tante kamu nanyain si Rayan lagi, Mamah harus ngomong apa?"
"Ya jawab jujur aja Mah, bilang kalo Rayan sering pergi tanpa izin," lontar Cindy.
"Aduh, dia ngapain sih liatin gue mulu," batin Amel. Amel merasa tidak nyaman ketika Pak Toni terus memerhatikannya dari kejauhan.
"Amel, semangat ya kerjanya," ucap Pak Tono sambil mengedipkan mata ke arah Amel.