Chereads / Badboy Vs Jenius Girl / Chapter 28 - Rumah Dinas

Chapter 28 - Rumah Dinas

"Ini rumahnya?" tanya Cintya sambil menunjuk ke rumah dinas ayahnya.

"Iya, Ayo masuk!" Ibu Cintya melambaikan tangan.

Cintya menghela napas. Ia pikir bahwa rumah dinas milik ayahnya sangat bagus. Namun, menurutnya, rumah dinas itu tidak layak untuk ditinggali.

"Kamarnya sekecil ini?" tanya Cintya. Matanya menatap sekeliling.

"Udah Cin. Jangan protes. Sini bantuin Mamah!" pinta sang ibu.

"Cintya sayang, berhubung kamarnya cuman ada dua, bibi sekamar sama Cintya ya." Cintya memajukan bibirnya. Ia mengir jika rumah dinas ayahnya sangat besar.

"Saya bisa kok Buk, tidur di ruang tengah," kata asisten rumah tangga.

"Masa di ruang tengah Bik. Pokoknya bibi satu kamar sama Cintya ya," ujar Ibu Cintya.

Gadis bermata sipit itu mengeluarkan baju dari koper silvernya. Ia tidak menyukai suasana rumah. Selain itu, Cintya juga jadi jauh dengan teman-temannya.

"Jadi gimana? Lu gak bisa balapan lagi dong?" tanya Helen.

"Itu sih gampang. Bisa diatur. Udah ya gue masih harus bantuin nyokap gue dulu." Segera Cintya menutup panggilan telepon dari sahabatnya itu.

Ayarra terus membaca buku di dalam kelas ketika jam istirahat. Cindy, datang menemuinya untuk mengajak ke kantin.

"Ayo!" ujar Ayarra. Mereka pun, berbincang.

"Jadi, cuman kamu sama Rayan aja yang gak kena hukum?" tanya Cindy. Ayarra mengangguk.

"Emangnya Rayan sepinter itu?" tanya Cindy. Ayarra menaikkan bahu.

"Makan, ntar keburu dingin loh!" ucap Ayarra ketika Cindy masih dengan pemikirannya sendiri.

"Cintya, kenapa gak pilih sekolah negeri aja sih? Kan sekolah kamu yang dulu juga sekolah negeri." Ayah Cintya bertanya.

Ibu Cintya menimpali, "Katanya, biar bebas gitu Pah."

"Bebas? Semua sekolah sama aja. Sama-sama punya aturan," kata ayah Cintya.

"Biarin. Cintya mau ngerasain aja sekolah swasta itu kaya gimana rasanya."

"Kalau tau rumah dinas ini jelek, Cintya gak mau pindah ke sini," protes Cintya.

"Gak begitu jelek kok," ucap ayah Cintya.

"Sempit tau. Udah gitu bau lagi, iiiih Cintya gak suka." Cintya bergegas ke dalam kamar. Lalu, menguncinya.

"Dasar!" Ibu Cintya menggeleng melihat kelakuan anaknya.

"Udah aku bilang, harusnya, kamu tetep di Jakarta aja. Cintya gak suka di sini," ucap ayah Cintya. Merasa tidak enak karena melihat sikap anaknya.

"Kamu kan di sini untuk beberapa bulan. Masa aku dan Cintya di Jakarta tanpa kamu?"

Ayarra menerima panggilan dari nomor tidak dikenal. Cindy menyuruh untuk mengangkat panggilan, "Angkat Ay, siapa tau penting."

"Palingan murid aku. Biarin ajalah!"

"Ya kali aja dari gebetan gitu," ledek Cindy sambil tertawa.

"Ih gak punya gebetan. Gak ada waktu buat pacaran. Mendingan belajar," jawab Ayarra.

Dina dan Dinda telah sampai di Jakarta. Sesuai instruksi dari awal, Dina ke rumah sakit, sedangkan Dinda kembali ke rumah.

"Pah, maafin aku ya. Kamu jadi gak kerja deh," ucap Dina kepada Hilmi.

"Iya gak papa. Dinda mana?" tanya Hilmi mencari anaknya.

"Dinda langsung ke rumah Pah. Dinda Mamah suruh buat nyiapin makan Papah," beber Dina.

"Aku pulang dulu kalo gitu ya," ujar Hilmi.

Ani mengirimkan Dina sebuah pesan, "Din, maafin Kakak ya. Hari ini, Kakak gak bisa jaga Ibu. Ada urusan yang mendadak."

"Iya Kak. Gapapa kok. Semoga urusan Kak Ani cepet selesai ya," jawab Dina.

"Shaka, ada apa?" Ani menghampiri seorang pria muda di depan gerbang rumahnya. Orang kepercayaan dari suami Ani melihat kejadian itu. Ketika itu juga, langsung melaporkannya kepada suami Ani.

"Seorang pemuda?" tanya suami Ani.

Fadil—orang kepercayaannya berkata, "Iya Tuan. Ia terlihat sangat muda."

"Perhatikan apa yang mereka lakukan. Cepat!" titah suami Ani.

"Kamu bisa jemput aku kan?" Amel mengirimi Nico pesan.

"Kalau gak bisa jemput, ada yang bisa sih jemput aku." Beberapa menit kemudian, Amel mengirim Nico pesan lagi. Amel yakin, jika Nico pasti akan membalas pesan nya.

Benar saja, Nico yang baru dari kamar mandi, langsung menelepon nomor Amel.

"Sialan! Gak diangkat lagi!" Nico lekas memakai baju. Ia langsung ke tempat kerja Amel.

"Wa, nanti Rayan mau pergi. Tapi, jangan bilang Mamah lagi ya!" ketus Rayan.

Nadia mengejarnya. Nadia berujar, "Rayan, Wa gak manggil Mamah kamu supaya ke sini. Kemarin itu, kebetulan aja Mamah kamu datang ke sini."

"Nyebelin banget," lirih Cindy.

"Tapi kan kamu harus kasih tau mau kemana? Sama siapa? Gitu. Jangan buat orang rumah panik," kata Nadia.

Rayan tidak mendengarkan ucapan tantenya. Ia menaiki tangga menuju ke kamar. Lalu, berganti pakaian dan pergi lagi tanpa pamit.

"Udah Mah, jangan dipikirin. Dasar gak tau diri banget deh!" Cindy sangat kesal dengan tingkah Rayan yang selalu ketus dan tidak pernah sopan kepada yang lebih tua.

"Nanti kalau ada apa-apa gimana coba Cin? Mamah khawatir." Nadia mengatakannya sambil melamun.

"Mah, ayah bilang bentar lagi pulang. Udah di jalan katanya," beber Cindy.

"Oh gitu, Mamah mau masak makanan kesukaan ayah kamu dulu ya," ucap Nadia.

"Pokoknya, Mamah jangan sedih-sedih karena Rayan ya. Aku gak terima pokoknya," ujar Cindy.

"Mamah gak sedih kok," ucap Nadia. Padahal, dalam hati kecilnya, Nadia sedikit sedih dengan perlakuan Rayan terhadapnya. Nadia enggan melaporkannya kepada Dina.

Rayan pergi lagi ke Jakarta untuk melakukan balapan liar. Ia tidak merasa kapok dengan kejadian kemarin. Padahal, polisi sudah pernah mendatangi tempat balapan.

"Gilang, ada temennya tuh!" Ibu Gilang membangunkan anaknya.

"Hah? Siapa?"

"Rayan."

Gilang beranjak dari ranjang. Ia menemui Rayan. Mereka berbincang tentang balapan.

"Ssssst! Jangan ngomong kenceng-kenceng, ada nyokap gue," bisik Gilang.

"Oh iya gue lupa. Tapi, si Maman bakal ke sini kan?" tanya Rayan.

"Mah, kok motor Cintya belum dikirim ke sini juga sih? Lama banget!" kesal Cintya. Ia sudah tidak sabar untuk melakukan balapan lagi.

"Coba Mamah tanyain dulu ya." Ibu Cintya menelepon seseorang yang akan mengantarkan motor milik Cintya.

"Apa? Kecelakaan? Dimana?"

"Hah kok bisa? Terus kondisi motornya gimana Mah? Tanyain," tanya Cintya.

"Baik, kami akan segera ke sana," Cintya beserta keluarganya berangkat ke rumah sakit yang dituju.

"Gue gak bisa ikutan balap dong?" batin Cintya.

"Hallo Vin? Gue kayanya gak bisa ikutan balap deh." Cintya lekas menghubungi temannya.

"Eh, emang kenapa?" tanya Vinny.

"Hah, kok bisa?" tanya Vinny setelah mendengar penuturan dari sahabatnya.

Ayarra pergi ke toko buku. Ada beberapa novel yang ingin dia beli. Ia berebut dengan seorang pemuda.

"Ini udah saya duluan yang ambil," kata pemuda.

"Tapi, saya duluan yang liat." Mereka berdua sama-sama tidak ingin melepaskan buku yang hanya tersisa satu lagi.

"Mas, lepasin Mas. Ntar robek!" Pemuda itu menuruti permintaan dari Ayarra. Ayarra segera berlari.

"Dasar. Gak mungkin robeklah. Kan masih dibungkus plastik." Ayarra sedikit tertawa.

"Aduh, bego!" Pemuda itu menepuk kening.