Amel membuka matanya. Ia sempat tidak percaya dengan email yang masuk padanya. Mendapatkan jadwal untuk interview, membuatnya bahagia.
"Din, gue besok gak bisa jagain Nenek. Soalnya mau ada interview," tutur Amel melalui sambungan telepon.
"Wah, selamat ya Kak, gapapa, biar Nenek Dinda yang jaga," jawab Dinda.
"Mah, jalan yuk!" ajak Hilmi kepada Dina.
"Jalan kemana?" tanya Dina.
"Pilih motor buat Rayan. Rayan kan mau motor baru."
Dina dan Hilmi pun, bergegas menuju dealer motor. Dina menjatuhkan pilihan dengan motor yang Rayan punya dulu.
"Yakin yang ini?" tanya Hilmi.
Dina hanya mengangguk. Mereka pun, pulang dengan sebuah motor. Dina mendapatkan kabar dari Amel jika anak sulungnya itu ingin bekerja.
"Kamu kerja karena pengen atau karena gak mau jagain Nenek?" tanya Dina.
"Ih Mamah, jangan mikir kaya gitu! Amel serius tau," ungkap Amel.
"Kamu kapan mau pulang Mah?" tanya Hilmi.
"Ibu bilang, dia kangen sama kamu," lanjut Hilmi.
"Ibumu yang kangen atau kamu Hil?" timpal Nadia.
Hilmi terkekeh. Ia menjawab, "Ya, aku juga kangenlah."
"Maaf Pah, aku belum tau soal itu. Aku masih khawatir soal Rayan," jawab Dina.
"Khawatir apa? Rayan kan udah gede. Udah bisa urus diri sendiri." Hilmi mengelus lengan Dina.
"Kalo ada apa-apa gimana?"
Nadia membuat adiknya mempercayainya dengan berkata bahwa dia bisa menjaga Rayan.
"Jangan khawatir tentang Rayan Rayan biar Kakak urus. Suamimu, dia lebih membutuhkanmu."
"Biar Dina pikirin dulu ya Kak, Pah," pinta Dina.
"Yes, hari ini, hari terakhir gue jagain Nenek," ucap Amel sembari menatap cermin. Ia bersiap untuk ke rumah sakit.
"Dina bakalan pulang hari ini Kak, tapi, nungguin Rayan pulang sekolah dulu."
Dina berpikir jika suami dan mertuanya membutuhkan dirinya. Ditambah, Amel akan ada interview. Hal itu, pasti akan membuat Dinda kelelahan.
"Kamu siap-siap aja ya dari sekarang," titah Hilmi kepada istrinya. Dina pun, bersiap untuk kembali ke Jakarta.
"Anak-anak, hari ini, kita ada ulangan," ungkap guru matematika.
"No!" protes para murid. Dikarenakan, mereka diberitahu secara mendadak.
"Udah, udah jangan banyak protes!" Pak Alan membagikan kertas yang berisi soal-soal.
"Gak boleh nyontek ya."
Ayarra yang pintar itu, tidak membutuhkan waktu lama untuk mengisi lembar-lembar soal. Sedangkan, murid lain sangat kesulitan mengerjakan soal ujian yang mendadak.
"Nenek, makan dulu ya." Dinda begitu telaten mengurus Neneknya.
Rayan menyusul Ayarra. Ia juga mengumpulkan soal ujian. Pak Alan memanggil Rayan. Pak Alan memarahi Rayan karena mengumpulkan lembar soal yang kosong tanpa jawaban.
"Rayan, sini kamu!" titah Pak Alan.
"Ada apa Pak?" tanya Rayan dengan santai.
"Kamu kok gak diisi?"
"Ya, saya gak tau jawabannya Pak," ujar Rayan.
Pak Alan mengelus dada. Ia tetap menyuruh Rayan mengisinya.
"Isi! Jangan terlalu kosong!"
Rayan mengambil kembali lembar soal ujian. Ia mengisi semua pertanyaan dengan jawaban yang sama. Yaitu, "Gak tau jawabannya."
Rayan tidak memedulikan berapa nilai dari hasil ujiannya. Ia merasa nilai tidak begitu penting. Semua murid telah mengumpulkan soal.
"Eh Rayan, rumah lu di mana? Pulang bareng yuk!" ajak Andri.
Seperti biasa, Rayan selalu bersikap ketus kepada orang-orang di sekitarnya. Rayan lekas menghindari Andri.
"Ih ngapain sih lu ngikutin gue?" tanya Rayan ketika melihat Ayarra tepat di belakangnya.
"Pd banget sih. Siapa juga yang ngikutin." Ayarra tidak bermaksud untuk mengikuti Rayan. Ayarra hanya ingin menjenguk Cindy.
"Hah? Mereka pacaran? Kok pulang bareng? Pake acara ngobrol lagi?"
Bobi memotret Ayarra dan Rayan. Ia berniat untuk mencetak dan memajangkannya di mading sekolah.
"Wah, kayanya, ini motor baru buat gue deh," batin Rayan sambil tersenyum.
"Dih, kamu kenapa senyum-senyum sendiri? Mau aneh-aneh ya," tanya Ayarra.
"Iya, gue mau aneh-aneh, emang kenapa?"
"Ih!" Ayarra mempercepat langkahnya.
"Assalamualaikum," ucap Rayan dan Ayarra berbarengan.
"Eh, ada Ayarra, mau jenguk Cindy ya, sini masuk!" titah Nadia.
"Ayarra emang mau jenguk Cindy kok, Tante, bukan mau ngikutin orang yang gak di kenal."
Ayarra sengaja berbicara dengan keras. Supaya, Rayan bisa mendengarnya. Rayan hanya bisa memutar bola mata.
"Rayan, Mamah mau pulang ke Jakarta. Kamu jangan nakal ya selama di sini." Dina menasihati Rayan sebelum dirinya kembali ke Jakarta.
"Kalau nakal, itu motor Papah sita ya!" ucap Hilmi.
"Iya Mah, Pah," kata Rayan.
Hilmi memberikan kunci motor kepada Rayan. Rayan amat bahagia bisa mendapatkan motor.
"Kak, Dina pergi ya!" Dina izin pamit kepada kakaknya.
"Titip Rayan ya Kak," lanjut Dina.
"Pasti Kakak jagain Din. Tenang aja. Kalian hati-hati ya."
Sebelum Dina berangkat lagi ke Jakarta, dia memasuki kamar Cindy. Dina memberikan Cindy uang.
"Cepet sembuh ya, Cindy,"
"Iya, Makasih Tante," jawab Cindy.
"Rayan, uang jajan kamu, Mamah titipin ya di Uwa Nadia."
"Kalo Rayan gak sekolah, jangan kasih dia duit Kak!" ucap Hilmi.
Nadia menjawab, "Rayan mah atuh pasti rajin sekolahnya."
Rayan dan Nadia mengantarkan Hilmi dan Dina sampai ke ambang pintu. Setelah kepergian kedua orang tua Rayan ke Jakarta, Nadia bertanya apakah Rayan memberitahu absensi jika Cindy sakit.
"Rayan, tadi bilang sama absensi kan kalau Cindy sakit?"
Rayan menggaruk kepala. Ia menjawab dengan ragu, "Iya, kok, tadi udah bilang."
Dari dalam kamar Cindy, Ayarra menimpali, "Udah bilang Tante. Tapi, yang bilang Ayarra. Rayan mah gak mau ngomong sama absensi."
"Berisik lu!" sungut Rayan.
"Ih emang bener," gerutu Ayarra.
"Udah, udah, jangan berantem. Yang penting kan udah dibilangin. Mau Ayarra atau Rayan yang bilang, gak papa kok." Nadia berusaha untuk melerai berdebatan Rayan dan Ayarra.
"Mamah, Dinda kangen tau!" Dinda memeluk Dina.
"Iya, Mamah juga kangen kok,"
"Dinda pasti capek ya udah ngurusin Nenek. Makasih ya sayang. Sekarang, Dinda pulang aja ya. Biar Mamah yang jagain Nenek," ujar Dina.
"Mamah juga kan pasti capek abis perjalanan jauh," cakap Dinda.
Dinda amat perhatian kepada ibunya. Dinda juga tidak banyak mengeluh ketika mengurus neneknya.
"Mamah gak capek kok, Dinda pulang aja ya."
"Kamu mending ganti baju dulu Din. Mandi, atau makan dulu," timpal Hilmi.
"Yaudah deh."
Hilmi mengantar Dinda untuk pulang ke rumah. Amel yang telah mengetahui jika ibunya ada di Jakarta, lekas mendatangi rumah sakit di mana neneknya dirawat.
"Mah?" panggil Amel. Amel membangunkan Dina yang tertidur.
"Ada apa Mel?" tanya Dina.
Amel mengulurkan tangan. Ia meminta uang kepada Dina.
"Uang buat apa?" tanya Dina.
"Mamah masa lupa, Amel kan mau ada interview besok. Buat ongkos besok," ujar Amel.
"Nih," Dina memberikan Amel uang.
"Rayan, Ayarra, sini makan dulu!" Nadia memanggil Rayan dan Ayarra untuk makan.