Bobi memasuki kediaman Nadia. Sedangkan Rayan, merasa kesal harus membiarkan Bobi memasuki rumah tantenya.
"Rayan, temennya suruh makan atuh!" titah Nadia.
"Iya Tante," jawab Bobi.
"Mah!" panggil Cindy dari dalam kamar. Nadia lekas menghampiri Cindy.
"Itu adik Rayan ya Tante?" tanya Bobi.
"Bukan, ini Cindy. Sepupu Rayan. Satu sekolah juga kok sama Rayan."
Nadia menjelaskan bahwa Cindy dan Rayan adalah sepupu.
"Cindy? Yang temennya Ayarra?" tanya Bobi.
"Iya," jawab Nadia.
"Mah, itu siapa?" Cindy tidak mengerti, mengapa ibunya bisa berbincang dengan teman satu sekolahnya.
"Temennya Rayan," jawab Nadia singkat.
"Mamah mau pengajian dulu. Kamu di sini sama Rayan dan temannya ya," tutur Nadia.
"Bukannya kemarin udah Mah?"
"Ya kan ada jadwalnya. Kemarin sama hari ini teh jadwalnya."
Nadia keluar dari kamar anaknya. Ia bersiap untuk pengajian.
"Oh, jadi kamu teh sama si Cindy sepupuan?" tanya Bobi.
Rayan tidak menjawab. Ia bergegas menuju kamarnya. Bobi membuntuti Rayan.
"Ih, ngapain sih ngikut mulu?" Rayan merasa risih. Sebab, Bobi terus mengikuti langkahnya.
"Mau ganggu," ujar Bobi. Bobi mendahului Rayan memasuki kamar.
"Kalo diperingatin, ntar dia ngancam-ngacam lagi," pikir Rayan.
Awalnya, Rayan akan memberitahukan jika Bobi tidak boleh menyebarkan informasi jika Rayan dan Cindy adalah saudara sepupu. Namun, jika Rayan mengatakannya, Rayan yakin, jika Bobi akan mengancam dirinya lagi.
"Rayaaaaan!" panggil Nadia.
"Iya Wa?" sahut Rayan.
"Ini, uwa mau ke pengajian. Nitip Cindy yah," pinta Nadia.
"Oh, iya Wa," jawab Rayan.
"Aduh, gue kan mau pergi pake motor baru. Ini kenapa malah disuruh jagain Cindy, ini lagi kudanil. Ngikutin mulu dari tadi," batin Rayan.
"Gimana Ray? Lu jadi kan ikut balapan hari ini?" tanya Gilang memastikan.
"Tapi kan, Cindy udah gede. Masa masih harus dijagain?" pikir Rayan.
"Kudanil!" panggil Rayan pada Bobi. Bobi mengedarkan pandang ke sekitar. Ia tidak mengira jika Rayan sedang memanggil dirinya.
"Gue manggil lu bego!" bentak Rayan.
"Apa?" tanya Bobi.
"Lu kan mau jadi temen gue, gue minta tolong nih. Tolong jagain Cindy ya!" tutur Rayan.
"Emang kamu mau kemana? Kayanya, gak bisa deh. Soalnya, aku ada acara."
Bobi langsung melarikan diri setelah Rayan memintanya untuk menjaga Cindy.
"Dasar kudanil sialan!" umpat Rayan.
"Papah gak izinin ya kamu ngontak," ujar Hilmi.
Amel tidak menerima keputusan ayahnya, dan membujuk agar mendapatkan izin "Papah, kenapa gak kasih izin? Boleh ya Pah."
"Kalo kamu tinggal di tempat lain, terus, nanti gimana kalo pacar kamu masuk ke sana?" Hilmi tidak mempercayai Amel sepenuhnya. Bukan karena tidak menyanyangi Amel. Justru, itu semua Hilmi katakan karena demi kebaikan anak sulungnya.
"Papah! Amel bisa jaga diri kok," tutur Amel dengan lemah lembut.
"Mah, Papah gak kasih izin," adu Amel. Amel langsung mengadu kepada ibunya melalui sambungan telepon.Ia menginginkan agar Dina meminta Hilmi untuk mengizinkan Amel tinggal di rumah kos-an.
"Ya, Mamah juga gak bisa kasih izin kalo gitu," Dina tidak bisa memaksa keputusan Hilmi. Dina langsung menutup panggilan dari Amel.
"Tuh, denger kan! Mamah kamu juga gak bisa kasih izin," ungkap Hilmi.
"Ih! Papah gak ngerasain jadi Amel sih. Jarak dari rumah ke tempat kerja itu jauh Pah!" bentak Amel.
"Berani ya kamu bentak-bentak orang tua," sungut Hilmi. Hilmi merasa jika Amel telah melewati batas.
"Duh, gimana nih, Papah sama Kak Amel berantem lagi." Dinda sangat takut. Takut jika pertengkaran itu menjadi sebuah kekerasan.
"Pokoknya, Amel bakalan tetep ngekos!" kekeh Amel.
"Kurang ajar kamu jadi anak! Papah bilang gak boleh ya gak boleh!" Hilmi tersulut amarah. Ia mencengkam lengan Amel. Hilmi menarik Amel ke gudang dan akan menguncinya.
"Papah, lepasin Amel!" teriak Amel. Hilmi tidak mengindahkan teriakan Amel. Dia terus menyeret Amel ke dalam gudang.
"Duh! Gue nyuruh siapa nih, buat jagain si Cindy?" pikir Rayan.
"Ayarra?"
Hanya nama itu yang terbesit di dalam benaknya. Rayan meminta nomor Ayarra kepada Cindy.
"Gue minjem hp lo coba," ucap Rayan kepada Cindy.
"Gak mau, emang buat apa sih?" tanya Cindy.
"Kepo lu! Siniin aja pokoknya, penting!" papar Rayan.
"Penting? Sepenting apa?" tanya Cindy penasaran.
Rayan langsung merampas ponsel Cindy, ketika dia melihatnya. Cindy menjerit, "Aaaaaa jangaaaaan!"
"Udah diem aja. Lagian, gue juga gak bakalan bacain chattingan lu sama pacar lu. Gak penting!" celoteh Rayan.
"Ini kodenya apa?" tanya Rayan.
"Gak bakalan dikasih tau. Lagian kepo banget sih," ucap Cindy ketika Rayan mencoba untuk membuka aplikasi hijau milik Cindy.
"Oh yaudah, gue lempar nih hp." Rayan mengancam Cindy kala Cindy tidak mau memberitahukan kode untuk aplikasi yang akan Rayan gunakan.
"Yaudah siniin." Cindy meminta ponselnya untuk dikembalikan. Dan dia akan membuka polanya untuk Rayan.
"Nih!"
Cindy memberikan gawainya kepada Rayan setelah selesai membuka pola. Rayan mencari nama Ayarra. Namun, tidak ditemukan.
"Temen lu namanya apa sih di sini?" tanya Rayan.
"Siapa sih yang kamu maksud? Temen Cindy kan banyak," ungkap Cindy.
"Gue gak mau tau ya, seberapa banyak temen lu. Itu, yang biasa suka datang ke sini," bentak Rayan.
"Hah? Ayarra maksudnya?" tanya Cindy.
"Iyalah siapa lagi coba," jawab Rayan.
"Oh, kalo Ayarra, Cindy kasih nama besti."
"Emang ada keperluan apa sih sama Ayarra?" lanjut Cindy.
"Udah diem aja," ucap Rayan.
"Papah, lepasin Kak Amel Pah," pinta Dinda. Dinda memberanikan diri untuk keluar dari kamar dan mencegah perlakuan Hilmi kepada Amel.
"Kamu diem aja ya, jangan ikut campur!" pinta Hilmi kepada Dinda.
"Tapi, Pah, kasian Kak Amel," ujar Dinda.
Amel menangis. Ia amat ketakutan jika harus dikurung di dalam ruangan yang gelap. Ditambah lagi, Hilmi telah merenggut ponsel milik Amel.
Dinda tidak berani membantah Hilmi. Dinda juga tidak bisa membantu Amel.
"Kamu jangan ngadu apa-apa ya sama Mamah kamu," ucap Hilmi.
Hilmi mengancam Dinda. Hilmi tidak ingin jika Dina mengetahui perbuatannya. Karena, jika Dina mengetahuinya, pasti mereka akan bertengkar.
"Iya pah," ucap Dinda. Dinda masih memerhatikan pintu gudang.
"Ngapain masih di sini? Sana masuk kamar!" titah Hilmi pada Dinda.
"Papah! Keluarin Amel Pah." Amel memohon untuk dikeluarkan dari gudang. Tidak peduli sekeras apa pun Amel mengetuk pintu, Hilmi tidak merasa kasihan.
"Kak Amel. Gimana nih?"
Di dalam kamar, Amel terus memikirkan kakaknya. Ia takut dengan ancaman Hilmi. Tetapi juga, kasihan dengan Amel.
"Gue gak bias nangis terus kaya gini," batin Amel. Ia mencari benda tajam di dalam gudang. Berharap bisa membobol pintu gudang.
"Aaaaaaaaaa!" jerit Amel. Ia malah menemukan beberapa tikus. Hewan yang sangat Amel benci.