Chereads / Badboy Vs Jenius Girl / Chapter 15 - Keberuntungan Amel

Chapter 15 - Keberuntungan Amel

Hilmi mendengar benturan keras dari dalam kamar Amel. Amel lekas menghadang ayahnya agar tidak memasuki kamar.

"Dad, ini kan kamar Amel. Privacy tau!"

"Iya tau kok! i cek. Kali aja ada orang lain yang mau ngapa-ngapain kamu,"

"Orang lain? Ngaco deh, mana ada,"

"Duh, lagi ngapain sih Nico? Dad jadi curiga kan," batin Amel.

Nico terbangun dari jatuhnya. Ia meraba seluruh tubuh yang meninggalkan rasa sakit.

"Nanti, telor kamu gosong lagi, angkat dulu sana!" titah Hilmi.

"Anjing, sakit banget lagi," lirih Nico. Nico yang semula berada di ranjang, pindah ke kamar mandi.

Amel berlari untuk mematikan kompor. Benar saja, telur yang dia masak gosong. Ia berlari lagi menuju kamarnya. Amel panik ketika melihat Hilmi telah memasuki kamarnya.

Meooooow

Seekor kucing terlihat sedang duduk di ranjang kamar Amel. Amel mengelus dada.

"Untung aja, Nico gercep banget," ujar Amel.

"Tuh kan gosong telornya," tutur Hilmi.

"Papah sih! Udah ah, Amel bere. Mau istirahat."

Amel menutup dan mengunci pintu kamarnya.

"Aku pulangnya kapan?" tanya Nico.

"Nunggu Papah tidur ya," ujar Amel.

"Lama dong? Aku ada urusan bentar lagi," jawab Nico.

"Ya mau gimana? Papah dari tadi gak masuk kamar." Amel menaikkan bahu.

Sebuah ide muncul di kepala Amel, "Kamu loncat aja deh. Bisa pasti."

Nico melihat ke arah bawah. Cukup jauh jarak antara lantai atas kamar Amel jika Nico harus meloncat ke bawah. Namun, Nico tidak memiliki pilihan lain untuk keluar dari kamar Amel selain melompat.

"Yaudah deh. Kamu arahin perhatian Papah kamu ya," pinta Nico.

"Siap beres," bisik Amel.

Amel keluar lagi dari kamar. Ia mencari ayahnya. Indera pendengarannya menangkap suara air yang mengalir. Amel menyakini jika Hilmi sedang mandi.

"Kayanya, Papah lagi mandi deh. Pasti Nico aman buat keluar," pikir Amel.

"Gak usah loncat! Lewat depan aja," Amel mengandeng lengan Nico.

"Hah? Emang gak papa?" tanya Nico. Ia takut jika Hilmi akan memukulinya jika mengetahui bahwa dirinya berada di dalam kamar Amel.

"Udah, kamu nurut aja sama aku," ucap Amel.

Nico mengendap-ngendap keluar dari kediaman keluarga Amel. Kemudian, Amel mengajak Nico untuk berlari.

"Hey! Pelan-pelan," bisik Nico.

Di depan rumah, mereka bertemu dengan pria yang memakai helm hitam. Nico berdegub kencang.

"Paket!" kata pria itu. Sembari menunjukkan giginya.

"Huh!" Nico menghela napas.

"Iya, makasih!"

Amel mengambil paket. Dia keluar dari rumah untuk mengantar Nico.

"Nanti kita ketemu lagi ya," pinta Amel.

Setelah Nico berhasil keluar dari rumah Amel, Amel bersiap untuk pergi ke rumah sakit. Amel dan Dinda bergantian menjaga neneknya.

"Kak, jangan main pergi gitu aja. Kalo gak bisa jaga Nenek, bilang aja sama Dinda," kata Dinda.

"Duh, iya, bawel deh, sana pulang!" titah Amel kepada Dinda.

"Kalo aja, gue kerja, gak mesti nih, jagain Nenek," batin Amel.

Dina menghubungi Amel untuk mengetahui kondisi dari ibu mertuanya.

"Mamah, bisa pulang aja gak sih? Amel capek tau harus jagain Nenek terus," keluh Amel.

"Kamu tuh ya, jangan ngomong kaya gitu! Kan gantian sama Dinda," ucap Dina.

"Yaudah maaf." Amel lekas mematikan panggilan video itu.

Dina hanya bisa menggeleng. Ia juga sebenarnya sangat ingin menjaga ibu mertuanya sendirian. Namun, Dina merasa jika Rayan, masih memerlukan dirinya.

"Gimana Din, kondisi mertua kamu?" tanya Nadia.

"Baik-baik aja Kak. Kan ada Amel yang jagain."

"Apa aku tinggalin Rayan aja ya di sini?" pikir Dina.

Dina belum memiliki keberanian untuk meninggalkan Rayan di rumah kakaknya. Terlihat dari sikap Rayan yang ketus, membuat Dina khawatir. Namun, dia juga memiliki dua anak perempuan di Jakarta.

"Mendingan gue bikin CV. Kali aja kuterima. Jadi ada alesan deh buat gak jagain Nenek."

Amel membuat lamaran pekerjaan secara online. Ia mengirimkan beberapa lamaran ke perusahaan-perusahaan besar.

"Hallo?" jawab Dina ketika Hilmi meneleponnya.

"Kamu udah makan?" tanya Hilmi penuh perhatian.

"Udah kok."

"Lagi apa?" tanya Hilmi. Dina lekas mematikan panggilan dari suaminya.

"Iya sayang, pasti."

Berbeda dengan Dina, Amel begitu bahagia mendapat telepon dari Nico. Meskipun, mereka telah bertemu selama beberapa jam, Amel tidak bosan untuk mendengar suara dari kekasihnya.

"Kenapa lagi dimatiin?" Hilmi mencoba menelepon lagi Dina. Namun, tidak Dina hanya membiarkan ponselnya bergetar tanpa suara.

"Mah, ini soal motor Rayan loh!" ujar Hilmi. Sambil mengirimi beberapa gambar motor.

"Iya, nanti Mamah tanya sama Rayan dia mau pake motor yang mana," jawab Dina.

"Rayan, bangun! Sekolah!" Dina membangunkan Rayan.

"Bisa besok aja gak sekolahnya?" tanya Rayan sembari menarik lagi selimut.

"Mau motor baru gak?" rayu Dina.

Rayan yang masih dalam keadaan mengantuk, mengambil handuk dan lekas memasuki kamar mandi.

"Giliran tentang motor aja langsung gerak cepat," lirih Dina.

"Mah, berangkat," Rayan mencium tangan Dina. Namun, Nadia memanggil Rayan terlebih dahulu.

"Ada apa Wa?" tanya Rayan.

"Tolong bilangin sama absensi, Cindy gak bisa masuk karena sakit," pinta Nadia kepada Rayan.

"Absensi? Tapi, kita gak sekelas Wa," beber Rayan.

"Iya, Wa tau, tapi kan Rayan tau di mana kelasnya Cindy. Tolong ya."

Rayan hanya mengangguk. Di sepanjang perjalanan, Rayan berpikir, "Pasti, Cindy udah bilang sama Ayarra. Kayanya, gue gak perlu lagi deh ngomong sama absensi di kelasnya Cindy."

Dina bertanya kepada kakaknya, "Cindy sakit? Sakit apa?"

"Meriang katanya sih," jawab Nadia.

"Kok bisa? Udah minum obat?" tanya Dina sambil memasuki kamar keponakannya.

Rayan berniat untuk menanyakan sesuatu kepada Ayarra. Namun, dia sangat gengsi. Rayan hanya bisa melihat Ayarra.

"Apa sih liat-liat?" tanya Ayarra.

"Ih pd banget!" sungut Rayan. Ayarra melanjutkan untuk membaca buku.

"Eh, gue mau tanya," ujar Rayan setelah beberapa detik mereka berdebat.

"Tanya apa?" jawab Ayarra.

"Si Cindy udah bilang belum kalo dia sakit?"

"Sakit? Enggak tuh belum. Emangnya Cindy sakit apa?" tanya Ayarra. Biasanya, setiap Cindy sakit, pasti Ayarra mengetahuinya.

"Ya mana gue tau." Rayan menaikkan bahu.

"Kamu kan tinggal serumah sama dia, kok bisa gak tau sih?" Ayarra tak habis pikir, Rayan yang tinggal satu atap dengan Cindy, tidak mengetahui penyakit yang Cindy sedang alami.

"Eh, tunggu bentar ngapa," ucap Rayan ketika melihat Ayarra yang akan pergi.

"Apa lagi sih?"

"Tolong bilangin sama absensi yang ada di kelas si Cindy, kalo si Cindy sakit."

Rayan meminta bantuan Ayarra agar pesan dari tantenya, bisa tersampaikan ke absensi di kelas Cindy.

"Kirain teh apa, ini aku juga mau ke sana buat nyampein itu ke absensi."

Ayarra menuju kelas Cindy untuk menyampaikan pada absensi jika Cindy sedang sakit.

"Tumben si Rayan teh mau ngobrol sama orang," pikir Boby.