"Devan ...," gumam Ammara, seraya segera bangkit dari duduknya dan mendekat pada Devan. Berdiri di samping pria itu.
Ammara merasa sedikit takut, padahal ia dan Arnold tidak melakukan apapun disini. Tapi kenapa rasanya seperti tertangkap basah sedang berselingkuh, ya?
"Arnold juga lagi datang jalan-jalan kesini, Dev. Dan dia lihat aku lagi duduk sendiri. Makanya dia sapa aku," jelas Ammara panjang lebar.
Arnold tersenyum mendengar ucapan Ammara yang terlihat seperti sedang berusaha keras sekali untuk menjelaskan situasi yang terjadi saat ini pada suaminya.
Dalam hati, rasanya Arnold ingin menyanggah semua itu sehingga hubungan Devan dan Ammara berantakan. Tapi sayangnya, Arnold bukan pria se-brengsek itu untuk melakukan hal tersebut. Ia masih memikirkan perasaan Ammara. Dan selamanya akan tetap seperti itu, sampai Ammara sendiri yang mengambil langkah untuk mendekat padanya.
Terdengar helaan napas lega dari mulut Devan. Ia terlalu parno pada kondisi yang ia lihat saat ini. Mungkin terbawa suasana. Devan seakan membandingkan keadaanya yang baru saja selesai pelepasan dengan Jeana pada hubungan Ammara dan Arnold saat ini. Padahal, Ammara bukanlah wanita yang seperti itu.
Devan bisa saja tidak percaya pada Arnold. Karena pria itu adalah seorang pria panggilan. Tapi ia harus percaya pada Ammara. Ia tidak boleh menyamakan Ammara dengan dirinya.
"Darimana aja, Dev?" tanya Arnold, mengalihkan pembicaraan. Tidak ingin terjebak dengan suasana canggung seperti itu. Apalagi Devan adalah sahabatnya.
Salah satu tangan Devan terulur untuk merangkul Ammara sebelum menjawab pertanyaan dari Arnold. Pria itu seakan sedang menunjukkan kepemilikannya.
Sementara Arnold tersenyum simpul melihat sikap Devan yang nampak posesif. Harus Arnold akui, jika Devan adalah salah satu pria beruntung karena berhasil mendapatkan wanita secantik dan sebaik Ammara.
"Dari toilet," jawab Devan singkat. Seraya beralih menatap wajah Ammara sejenak. "Kamu enggak capek, Sayang? Sudah mau pulang?" tanyanya, mesra.
Arnold mengetatkan rahangnya. Jujur saja ia cemburu dengan keadaan ini. Bahkan selama ini, Arnold sudah berusaha sekuat mungkin untuk menepis perasaanya. Hingga memutuskan hubungan apapun dengan Ammara dua tahun terakhir ini. Namun entah sejak kapan, ia kembali menginginkan Ammara. Apa mungkin saat melihat Devan yang sedang frustasi menghadapi kehidupan rumah tangganya dengan Ammara? Atau mungkin saat Ammara mengajaknya untuk bercinta?
Apapun itu, Arnold hanya menginginkan Ammara saat ini.
"Okelah ... Kalau gitu aku pergi dulu. Sampai ketemu lain kali," pamit Arnold, seraya melambaikan tangannya pada Devan dan Ammara. Yang juga di balas lambaian oleh Ammara. Sementara Devan hanya mengangguk pelan.
Devan memperbaiki posisi berdirinya saat ini untuk sempurna menghadap pada Ammara. Dengan tangannya yang memegang kedua bahu wanita itu.
"Kita pulang?" tanya Devan, lembut.
Ammara menganggukkan kepalanya. Perasaanya merasa tidak enak. Sungguh, ia mencium wangi yang aneh dari tubuh suaminya saat ini.
Anggaplah Ammara wanita naif yang berusaha untuk berpikir positif. Salah satunya menganggap jika wangi suaminya saat ini ialah berasal dari wangi sabun di toilet.
Keduanya melangkah pelan menjauh dari taman yang mereka datangi pagi ini. Dari kejauhan, Jeana tersenyum penuh kemenangan. Penampilannya sedikit berantakan karena ulah Devan yang begitu buas menyentuhnya tadi.
"Hufttt ... Maaf ya, Ammara. Awalnya aku tidak berniat untuk berbuat seperti itu dengan suamimu. Tapi salah satu kesempatan membuatku bertemu dengannya hingga akhirnya membuatku langsung jatuh hati. Jadi ini bukan salahku. Jika ingin menyalahkan, maka salahkanlah takdir yang mempertemukan kamu," gumam Jeana, mencari pembenaran atas perbuatannya dengan Devan akhir-akhir ini. Seraya tersenyum miring. Ia tidak memiliki alasan untuk menghentikkan aksinya saat ini. Melainkan, semakin bersemangat untuk terus menggoda Devan.
***
"Aku mandi dulu, ya," ujar Devan, setelah keduanya telah sampai di rumah mereka.
Ammara mengerutkan keningnya namun akhirnya mengangguk mengiyakan. Satu lagi perubahan dari Devan yang temui sekarang. Pria itu tidak mengajaknya mandi bersama. Padahal biasanya, Devan akan mengajaknya dengan senyuman nakal hingga berakhir pada kegiatan mandi plus-plus.
"Ah, sadar Ra!! Jangan berpikiran negatif. Mungkin Devan memang sedang ingin mandi sendiri aja," gumam Ammara, menepuk keningnya untuk menyadarkan dirinya dari berbagai macam pikiran buruk yang mulai menganggunya.
Sementara di dalam kamar mandi. Devan mulai merutuki sikapnya. Menyalahkan dirinya karena kembali terjebak bersama Jeana di toilet tadi. Devan serasa seperti menjadi pria munafik. Di hadapan Jeana ia begitu buas hingga melupakan Ammara sebagai istrinya. Namun di depan Ammara, ia bagai kucing yang penuh dosa.
Devan menghembuskan napasnya kasar dengan air shower yang masih terus membasahi tubuh kekarnya. Tatapan matanya kosong dengan pikiran yang terus berlarian kemana-mana. Ia ingin keluar dari sesaknya jebakan ini. Namun ia masih ingin menikmatinya. Karena sungguh, hanya dengan Jeana sajalah, Devan merasakan kebebasan saat bercinta. Hal yang telah hilang dua tahun terakhirnya sejak bersama Ammara.
Hampir satu jam berlalu, ritual mandi Devan akhirnya berakhir. Ia keluar dalam keadaan hanya menggunakan handuk yang melilit di pinggangnya. Bersamaan dengan masuknya Ammara yang juga baru saja menyelesaikan ritual mandinya di bathroom yang berbeda.
"Dev, aku udah masak. Setelah berpakaian, kamu bisa langsung turun makan ya," pinta Ammara sembari berjalan menuju walk in closet untuk mencari pakaian yang akan ia gunakan.
Sebelum mandi, Ammara memang telah menyelesaikan kegiatan memasaknya. Karena Devan yang ia rasa akan lebih lambat keluar dari kamar mandi, ia akhirnya berinisiatif untuk mandi di kamar mandi yang lain.
Devan tidak menjawab. Bahkan tidak mengangguk sama sekali. Langkah lebarnya malah terbawa menuju Ammara. Kemudian tanpa suara memeluk istrinya itu dari belakang. Membuat Ammara berjengit kaget karena aksi tiba-tiba dari Devan.
"Kenapa?" tanya Ammara, lembut. Seraya mengulurkan tangannya untuk mengusap lembut rahang suaminya.
Devan menggelengkan kepalanya. Pelukannya semakin erat mendekap Ammara. "Tolong biarkan aku seperti ini sebentar saja," lirihnya, terdengar memohon.
Mendengar suara lirih Devan yang terdengar merasa bersalah itu. Membuat Ammara tidak memberikan protes apapun. Ia membiarkan Devan memeluknya sampai pria itu benar-benar merasa baik-baik saja.
"Ra ...," panggil Devan setelah beberapa saat tubuhnya masih menempel dengan Ammara.
"Hmm?" gumam Ammara, seraya menggerakkan tanganya untuk mencari pakaiannya tanpa kesusahan sedikitpun meski saat ini Devan sedang menempelinya seperti bayi.
"Aku mau bertanya. Boleh enggak?"
"Tanya aja. Kenapa harus izin segala sih," keluh Ammara yang merasa tidak nyaman dengan sikap Devan yang berbeda dari biasanya ini. Sangat aneh baginya.
Sesaat kemudian Ammara menunggu, tapi tidak pertanyaan yang keluar dari lisan Devan. Membuat Ammara menghentikkan kegiatanya meraih pakaian yang akan ia pakai. Lalu beralih membalikkan tubuhnya demi menghadap pada Devan untuk melihat ekspresi pria itu.
"Kamu mau tanya apa, Dev? Kenapa tiba-tiba bersikap aneh gini? Aku merinding tahu sama sikap kamu sekarang," aku Ammara, jujur. Tangannya terulur mengusap rahang pria itu dengan lembut.
Devan menatap lekat netra Ammara. Mencari kejujuran wanita yang sangat ia cintai itu.
"Ra ... Apa benar ... Kamu tidak pernah lagi merasakan pelepasan dan klimaks saat bercinta denganku dua tahun terakhir ini?"