"Sayang, hari ini kita jalan-jalan keluar yuk!" ajak Devan sembari menikmati makanan yang telah disajikan istrinya itu.
Sejenak Ammara menghentikkan suapan ke mulutnya. Matanya menatap intens ke arah Devan.
"Kemana?" tanya Ammara, singkat.
"Kemana aja. Yang penting hari ini aku mau menghabiskan waktu aku berdua sama kamu," ucap Devan. Lalu kembali menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.
Ammara mengangkat bahunya pasrah. "Aku terserah kamu aja," sahutnya.
Beberapa saat kemudian, Ammara dan Devan telah berada di Central Park. Keduanya duduk berangkulan sambil melihat pemandangan taman yang terlihat begitu indah.
Mereka berdua sudah seperti pengantin yang baru saja merasakan nikmatnya kebersamaan setelah lama berpisah. Setidaknya, itu yang Devan rasakan. Ia merasa bebas dan tidak frustasi lagi setelah melakukan pelepasan semalam meski tidak dengan istrinya.
"Sayang ... Kamu ada sesuatu enggak yang ingin di katakan pada aku?" tanya Devan. Ia sebenarnya ingin menguji kejujuran Ammara. Apa benar, yang Jeana katakan semalam padanya tentang Ammara yang tidak merasakan klimaks saat bercinta dengannya hingga membuat ia melakukan ONS dengan Jeana?
Ammara melirik ke arah wajah tampan suaminya. Ia mengerutkan keningnya, bingung. "Bilang apa?" tanyanya balik.
Devan terdiam, ia tidak tahu harus mengatakan apa. Sejujurnya, ia merasa takut jika apa yang Jeana katakan semalam adalah kenyataan. Bagaimana Devan akan menghadapi Ammara jika hal itu memang benar adanya? Sementara Devan sama sekali tidak ingin kehilangan istrinya. Ia begitu mencintai Ammara hingga tidak ingin menyakiti hati wanita itu. Meski secara tidak sadar, ia telah menyakiti istrinya dengan bercinta dengan wanita lain.
"Apa saja. Mungkin tentang ... Rumah tangga kita selama ini?" sahut Devan, mencoba membuka kesempatan agar Ammara mengatakan yang sejujurnya.
Deg!
Hati Ammara berdebar tidak karuan. Ia bahkan tidak berani untuk menatap ke arah netra suaminya lagi. Ia begitu gugup saat Devan berkata demikian. Ia khawatir jika Devan telah mengetahui kondisinya yang tidak pernah merasakan klimaks saat bersama Devan.
Atau mungkin juga, Arnold telah mengatakan sesuatu pada Devan hingga suaminya ini bertanya demikian?
"A-aku ... Aku enggak ingin berkomentar apapun. Aku bahagia dengan kamu tanpa keluhan," jawab Ammara, gugup.
Senyum manis terbit di wajah tampan Devan. Tapi seketika menghilang saat melihat Jeana kini berdiri di hadapan mereka.
"Jean, kok kamu ada disini?" tanya Ammara, ingin tahu.
Jeana tersenyum, "Aku sedang jalan-jalan pagi disini, dan aku enggak sengaja melihat kalian berdua disini," jawabnya, berdusta.
Padahal kenyatannya, Jeana memang sengaja mengikuti Devan. Ia memasang GPS di ponsel Devan saat pria itu masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Hal itu Jeana lakukan agar ia bisa mengetahui kemanapun Devan pergi. Hingga akhirnya Devan akan mengira jika ia dan Jeana memang berjodoh.
"Ohhhhh. Kamu dengan siapa?" tanya Ammara lagi, kepalanya bergerak keliling untuk mencari siapa pria yang sedang datang bersama Jeana. Sementara Devan masih diam mengatupkan bibirnya tanpa ingin mengatakan apapun.
"Aku sama pasangan ONS aku, cuma dia sekarang lagi sama istrinya," sahut Jeana tanpa merasa malu dan bersalah sedikitpun. Sedang Devan seketika membeku. Ia takut jika Ammara mencurigai dirinya.
"Oh gitu." Ammara menganggukan kepalanya. Ia tidak ingin memberikan komentar apapun. Terlebih, itu adalah urusan pribadi Jeana. Dan ia tidak patut untuk ikut campur.
Jeana memasang senyum nakal dan mengedipkan matanya pada Devan saat Ammara tidak sedang melihat ke arah dirinya. Tubuh Devan yang sebelumnya baik-baik saja, serasa menegang karena sikap Jeana saat ini mengingatkan ia pada malam panas mereka semalam.
"Sayang, aku ke toilet dulu ya," izin Devan, ia tidak sanggup menahan lebih lama lagi. Ia ingin segera melepaskannya.
"Ah iya, aku tunggu disini," balas Ammara, merasa biasa saja dan tidak merasakan keanehan pada suaminya.
Jeana menyeringai saat Devan pergi begitu saja. Ia melihat dengan jelas jika tubuh bagian bawah Devan tadi bereaksi padanya. Dan ia yakin jika saat ini Devan pasti sedang ingin menuntaskannya seorang diri.
Dan sebagai wanita yang pengertian, Jeana harus menolong Devan.
"Ra, kalau gitu aku pamit dulu ya," ucap Jeana, santai.
"Ah iya. Jangan lupa cek kembali naskah aku ke penerbit," pesan Ammara yang mendapatkan anggukan dari wanita itu.
Dengan langkah sensual dan menggoda. Jeana mengikuti arah perginya Devan tadi. Ia yakin jika Devan pasti berada di salah satu toilet yang ada di sekitar sini. Tanpa tahu malu, Jeana masuk ke toilet pria demi mengikuti Devan.
Jeana tersenyum puas saat melihat tidak ada orang disana. Hanya suara erangan seorang pria yang sedang menuntaskan hasratnya yang terdengar di telinga Jeana. Dan ia sangat yakin jika itu pasti Devan.
Tanpa aba-aba, Jeana membuka salah satu pintu toilet yang ia yakini ada Devan di dalamnya. Dan benar saja, ia melihat Devan sedang berdiri di hadapannya dengan tubuh bagian bawahnya yang menantang.
Devan terkejut melihat kedatangan Jeana. Tapi ia tidak sempat untuk menutupi bagian bawahnya dari pandangan Jeana. Karena seketika wanita itu mendekat dan melahap milik Devan dengan rakus.
Sementara di sisi lain, Ammara masih setia menunggu Devan di tempatnya. Ia melihat ke sekeliling tempat. Ada begitu banyak orang yang sedang menghabiskan waktunya di tempat ini.
Harus Ammara akui, tempat ini begitu asri dengan pemandangannya yang sejuk dan nyaman. Tanpa sengaja, ekor matanya menangkap kehadiran Arnold yang saat ini tengah berjalan mendekat ke arahnya.
"Ra ...," panggil Arnold saat telah berada tepat di hadapan wanita cantik itu.
"Arnold! Ka-kamu ngapain kesini?" tanya Ammara, khawatir. Entah kenapa ia merasa takut saat melihat Arnold sekarang. Lebih tepatnya, ia khawatir jika Devan sampai tahu kalau ia pernah mengajak Arnold untuk bercinta karena terlalu frustasi pada Devan yang tidak bisa memuaskan dirinya.
"Aku sedang jalan-jalan kesini," jawab Arnold, santai. "Kamu sendiri ngapain disini?" tanyanya seraya melihat ke sekeliling. Dan saat melihat tidak ada Devan, ia pun duduk di samping Ammara.
"Eh!!" Ammara sedikit terkejut. Matanya memindai sekeliling. Khawatir jika Devan tiba-tiba saja datang dan menangkap basah dirinya sedang duduk bersama Arnold.
Tapi apa yang ia takutkan? Ia dan Arnold kan hanya duduk bersama sebagai teman dan tidak melakukan apapun? Pikir Ammara. Ia pun berusaha untuk tetap bersikap tenang.
"Aku di ajakin Devan kesini untuk jalan-jalan," sahut Ammara, tanpa berani melirik ke arah Arnold yang saat ini tengah menatapnya intens.
"Oh, lalu Devannya mana?" tanya Arnold, sekali lagi ia melihat sekeliling tapi tidak melihat Devan dimanapun.
"Sedang ke toilet," jawab Ammara, singkat. Ia sedikit canggung jika harus memperpanjang perbincangan dengan Arnold.
Arnold mengangguk dan matanya kembali menatap netra Ammara dengan intens.
"Ra ... Apa ajakan kamu kemarin, tidak jadi?" tanya Arnold, dengan mata yang terlihat penuh harap.
Ammara melirik ke arah Arnold. Dan tanpa sengaja matanya bersitatap dengan mata bening Arnold. Sesaat keduanya terlena dengan tatapan masing-masing. Hingga akhirnya suara Devan mengintrupsinya.
"Arnold! Kenapa kamu bisa disini?" tanya Devan dengan nada kesal.