Ammara berjalan mondar-mandir di ruangan tamu rumahnya. Ia ingin menunggu di depan rumah, tapi ia tidak berani melakukan hal itu. Rasa lelah yang telah menyerangnya tadi seketika saja hilang, tergantikan dengan rasa khawatirnya.
Berbagai pikiran buruk mulai memenuhi pikiran Ammara. Terlebih, saat Devan sama sekali tidak mengangkat telpon darinya. Membuat ia tidak bisa berpikir positif sama sekali saat ini.
Di tengah kekhawatiran Ammara, Devan dan Jeana baru saja menyelesaikan ronde kedua permainan mereka. Setelah melakukannya di dalam mobil. Keduanya melanjutkannya di apartemen Jeana. Wanita itu tidak jadi mengantarkan naskah tulisan milik Ammara karena ia merasa jika ia tidak bisa melewatkan kesempatan emas ini untuk merasakan milik Devan memasuki dirinya lagi dan lagi.
Pada ronde pertama permainan, Devan sempat merasa bersalah karena secara sadar mengkhianati cintanya dengan Ammara. Namun detik selanjutnya, Jeana segera membuat dirinya melupakan perasaan bersalah itu dengan gaya Jeana yang terus saja menggoda imannya. Hingga akhirnya, ia kembali melakukan hal tersebut.
Devan merasa sangat puas. Segala rasa sakit yang ia alami selama satu tahun ini, terobati begitu saja dengan hadirnya Jeana. Ia memang menyesal, tapi ia juga merasa sangat bahagia.
Setelah menyelesaikan beberapa ronde lagi dengan Jeana. Devan melangkah pulang menuju rumahnya. Sepanjang perjalanan, ia berusaha memikirkan banyak hal untuk ia jadikan sebagai alasan agar Ammara tidak mencurigai dirinya.
Ammara yang memang sejak awal merasa sangat lelah karena menangis itu, akhirnya tertidur. Ia berusaha untuk bersikap tenang dan berpikir positif setelah mengingat begitu baiknya Devan dan betapa pria itu sangat mencintainya.
Ia yakin, jika Devan tidak akan pernah mengkhianati cintanya. Sayangnya, kepercayaan Ammara yang terlalu besar, hancur begitu saja di hadapan napsu yang sudah sangat lama menggelora itu. Dan sungguh, itu sudah tidak tertahan lagi. Dan harus segera Devan lepaskan.
Cklek~
Devan membuka pintu rumahnya. Ekor matanya tidak sengaja menangkap tubuh istrinya yang saat ini sudah ketiduran di atas sofa ruang tamu. Ia pun segera mendekati wanita itu dengan perasaan bersalah yang kembali menyeruak.
Pria itu memang merasa sangat bahagia saat bercinta dengan Jeana tadi. Apalagi setelah sekian lama ia tidak merasakan pelepasan. Tapi sungguh, itu hanyalah kebahagiaan yang semu. Perasaan bersalahnya kembali muncul saat tubuhnya telah terpisah dengan tubuh Jeana.
"Sayang ... Maafkan aku ...," lirih Devan, merasa sangat bersalah.
Ia mendekat ke arah wajah istrinya kemudian mengecup keningnya dengan singkat.
Cup!
Merasakan ada yang telah mencium keningnya, Ammara terbangun dari tidurnya. Ia sedikit menggeliat dengan mata yang perlahan terbuka.
"Devan ... Kamu kapan pulang?" tanya Ammara, seraya berusaha bangkit dari duduknya.
"Baru saja," jawab Devan tanpa berani menatap Ammara.
Ammara memerhatikan kondisi suaminya saat ini. Devan terlihat segar dan sama sekali tidak mencurigakan. Tubuhnya juga tidak terdapat wangi wanita ataupun bekas percintaan seperti pikiran Ammara sebelumnya.
Tentu saja demikian, setelah keluar dari kamar Jeana tadi, Devan langsung menuju sebuah toko pakaian yang memang masih buka 24 jam dan mencari setelan pakaian yang cukup mirip dengan pakaiannya yang sudah robek dimana-dimana karena ulah Jeana yang begitu agresif.
"Kamu udah makan?" tanya Ammara, seraya tersenyum. Entah mengapa, ia tiba-tiba merasa canggung dengan Devan saat ini. Ada yang berbeda dari Devan, tapi ia sama sekali tidak mengetahui itu apa.
"Kan tadi di rumah Papa dan Mama sudah, Sayang," sahut Devan, kali ini ia mulai kooperatif. Ia tidak ingin jika Ammara curiga dengan dirinya.
Satu hal yang paling tidak Devan inginkan adalah kehilangan Ammara. Ia mulai merasa takut karena telah mengkhianati cinta dan janjinya pada Ammara saat ia melamar wanita itu.
"Oh iya, ya. Tidur yuk!" tukas Ammara, merasa bingung hendak berbicara apalagi dengan Devan.
"Iya, Sayang ...."
Keduanya pun melanjutkan langkah menuju kamar mereka. Kali ini, Ammara benar-benar merasa ada yang berbeda dengan Devan. Serasa ada sesuatu yang sedang suaminya itu sembunyikan darinya.
Devan memeluk istrinya dengan erat saat mereka mulai naik ke atas ranjang. Perasaan menyesal dan khawatir terus saja menghantui Devan. Hal itulah yang menyebabkan ia mendekap istrinya dengan erat. Berharap perasaan bersalah itu sedikit berkurang kadarnya.
Ammara tidak menanyakan apapun. Ia hanya diam dengan perubahan sikap Devan saat ini. Ia berpikir, mungkin saja Devan sedang mengalami masalah di kantornya. Ammara lupa jika perubahan itu mulai terlihat setelah Devan mengantar Jeana pulang. Lebih tepatnya, saat pria itu bercinta dengan Jeana.
***
Jeana terbangun dari tidurnya. Tubuhnya merasa sedikit lelah. Tapi setelah kembali mengingat betapa perkasanya Devan tadi malam. Membuat rasa sakit itu hilang begitu saja. Bahkan Jeana tidak habis pikir, kenapa Ammara tidak merasakan pelepasan saat bercinta dengan Devan. Padahal, Devan begitu gagah saat di ranjang.
"Sebenarnya, apa yang terjadi pada mereka ya?" tanya Jeana pada dirinya sendiri.
Ia sangat penasaran dengan apa yang sebenarnya telah terjadi pada pasangan itu. Tapi, kondisi demikian patut untuk ia syukuri. Karena setidaknya, sebab kejadian itu Jeana jadi bisa merasakan milik Devan memasuki dirinya.
"Huh! Aku harus bisa mendapatkan pria itu!" ucap Jeana, penuh tekad. Ia tidak mau kehilangan Devan begitu saja. Seperti halnya dengan para pria yang telah bersamanya selama ini.
Bagi Jeana, Devan berbeda dengan pria lainnya yang pernah bercinta dengannya. Ada rasa manis yang berbeda dari Devan. Dan itu membuat Jeana selalu ketagihan dan merasa candu untuk terus merasakan Devan memasuki dirinya.
Jeana bangkit dari ranjangnya dengan tubuh polos yang tidak tertutupi oleh selimut. Ia berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Pagi ini, ia harus segera menemui penerbitnya dan menyerahkan naskah milik Ammara yang tidak sempat ia serahkan semalam.
***
Di sisi lain, Ammara sudah terbangun dari tidurnya. Ia berjalan menuju dapur untuk mempersiapkan makanan buat Devan setelah membersihkan tubuhnya.
Beberapa saat kemudian, Devan ikut turun menuju dapur. Tapi kali ini, ia memakai pakaian casual biasa. Seperti orang yang ingin melakukan cuti.
Devan memeluk Ammara dari belakang dan menguselkan wajahnya ke bahu istrinya.
Merasakan tubuh Devan yang begitu manja itu, membuat Ammara mengalihkan sedikit pandanganya untuk melirik suaminya.
"Kamu enggak berangkat kerja?" tanya Ammara. Biasanya, ia akan melihat suaminya turun dengan menggunakan seragam kantornya. Tapi sekarang ... Devan bahkan belum mandi setelah bangkit dari tidurnya. Hanya membersihkan wajah dan menggosok gigi.
"Enggak Sayang ... Aku mau di rumah aja sama kamu," jawab Devan, manja. Tanganya memeluk erat Ammara dari belakang.
Harus Ammara akui, saat ini sikap Devan sama persis dengan saat pertama kali mereka menikah. Tapi kali ini, ada yang berbeda.
'Sebenarnya apa yang sudah terjadi tadi malam?' batin Ammara, penuh rasa ingin tahu.