Brukkk!
Arnold menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Ia langsung pulang setelah berhasil bersembunyi dan menyelinap pergi dari rumah keluarga Devan tadi.
Saat Ammara sedang asyik menutup mata karena takut dengan suara langkah kaki yang mendekat ke arah mereka. Arnold bergegas pergi sebelum Devan sempat melihatnya. Dan ia memilih pergi saat melihat Ammara bersandar di bahu Devan dengan begitu manja. Ia tidak ingin menyaksikan kemesraan mereka terlalu lama.
Padahal sebelumnya, Arnold sudah melambung tinggi karena ajakan Ammara yang ingin bercinta dengannya. Oleh sebab itu jualah yang membuat Arnold berani mengambil job dari Stella untuk memuaskan wanita itu di dalam rumah keluarga Devan. Sebab ia berharap, setelah ia menyelesaikannya dengan Stella, ia akan lanjut memuaskan Ammara. Dan kebetulan, Ammara datang ke taman belakang rumah tersebut dan melihat apa yang seharusnya ia lihat.
Saat melihat kedatangan Ammara. Arnold semakin mempercepat tempo bercintanya dengan Stella dan segera menyelesaikannya dan segera mendekap tubuh Ammara. Tapi sayangnya, harapan Arnold pupus karena Ammara menangis.
Dalam keadaan yang seperti itu, Arnold tidak bisa berbuat apapun. Ia hanya bisa menjadi pendengar setia bagi Ammara dan teman yang selalu ada di saat wanita itu sedang membutuhkan dirinya.
Haaahhhh!!!
Arnold menghembuskan napasnya kasar. Ia malas bergerak kemanapun sekarang. Ia hanya ingin mengambil cuti untuk tidak mengambil job untuk melayani para wanita itu beberapa hari ke depannya. Melihat air mata Ammara membuat Arnold tidak lagi bergairah untuk bercinta dengan siapapun.
***
"Hati-hati ya Sayang. Tolong antarkan Jeana pulang dengan selamat," ucap Ammara penuh harap, sebelum turun dari mobil suaminya.
Ammara meminta agar Devan terlebih dahulu mengantarkannya pulang. Sebab ia sudah sangat lelah dan waktunya juga sudah cukup larut untuk ia terus berada di luar. Hingga ia memutuskan untuk membiarkan Devan mengantar Jeana seorang diri.
"Sayang, kamu beneran enggak mau temanin aku antarin editor kamu?" tanya Devan. Ia masih berusaha untuk bernegosiasi. Tentunya dengan cara yang lembut.
Ammara menggeleng sekilas kemudian mengecup pipi suaminya. "Enggak Sayang, kamu aja ya. Aku udah capek banget," keluh Ammara dengan manja.
Jeana yang duduk di kabin belakang hanya bisa tersenyum penuh makna dengan sikap Devan yang berusaha secara halus menolak untuk mengantar dirinya. Namun juga tidak berani untuk mengatakannya dengan jelas.
"Maaf ya, Jean. Aku tidak bisa ikut mengantarmu. Aku sudah sangat lelah sekali," tukas Ammara, penuh penyesalan.
Jeana membalas permintaan maaf Ammara dengan senyuman manis dan penuh pengertiannya.
"Tidak apa-apa, Ammara. Aku mengerti kok jika kamu memang sudah sangat lelah," balas Jeana, lembut.
Ammara tersenyum sekilas pada Jeana. Kemudian kembali mengecup pipi Devan sebelum akhirnya ia turun dari mobil suaminya itu.
Cup!
"Bye, Sayang. Setelah dari sana pulang cepat ya, aku takut kalau terlalu lama sendiri," ucap Ammara, sembari mengingatkan pada Devan jika ia takut sendirian.
Devan mengangguk dengan berat. "Iya, Sayang. Aku akan pulang dengan cepat."
Ammara melambaikan tangannya pada suaminya dan juga Jeana. Mengiringi kepergian kedua orang itu.
***
"Aku pindah di depan ya," ucap Jeana, sensual dan menggoda.
Devan tidak menggubris. Ia sedang berusaha sekuat mungkin untuk menahan hasratnya. Ia tahu jika Jeana pasti tidak akan membiarkanya menganggur begitu saja.
"Terserah!" jawab Devan, ketus. Ia ingin agar Jeana menyerah untuk menggoda dirinya jika ia bersikap ketus pada wanita itu. Namun bukannya menyerah, Jeana malah tersenyum smirk dan semakin berani untuk duduk di depan.
Jeana duduk di depan bersama dengan Devan yang sibuk menyetir. Sebelumnya, Ammara sudah menyampaikan dimana letak perusahaan dan rumah Jeana. Jadi ia tidak perlu susah-susah untuk bertanya lagi.
"Bagaimana pernikahan kalian?" tanya Jeana, basa-basi. Ia ingin menguji, sejauh mana Devan bertahan dan menghindar dari godaannya.
"Pernikahan kami baik-baik saja," jawab Devan berusaha bersikap santai. Sembari fokus menatap lurus ke arah jalanan.
"Hubungan ranjang kalian?" Jeana bertanya lagi. Kali ini mengarah ke hal yang lebih intim.
Untuk sesaat, Devan menyesal karena telah menjawab pertanyaan pertama dari Jeana. Ia tidak menyangka jika wanita itu akan bertanya lebih lanjut bahkan pada bagian paling privasi.
"Bukan urusan anda!" jawab Devan, ketus. Ia kesal karena Jeana terlalu ingin ikut campur dalam hal rumah tangganya.
Jeana tersenyum, ia yakin jika Devan sudah mulai tersulut.
"Mungkinkah karena kamu dan Ammara tidak lagi bisa merasakan klimaks?!" tebak Jeana, langsung tanpa malu.
Ckitttttt!!!!
Devan seketika menghentikan laju mobilnya. Membuat kepala Jeana hampir saja membentur dashboard mobil Devan. Jika saja ia tidak segera menyangga tubuhnya dengan tangannya.
"Apa yang kamu lak~" Jeana ingin mempertanyakan alasan Devan melakukan hal tersebut. Namun tatapan tajam dari Devan membuatnya seketika mengatupkan bibirnya.
Jeana akhirnya terdiam seribu bahasa karena Devan yang diam saja tanpa mengatakan apapun. Namun juga tidak melanjutkan laju mobilnya.
"Apa Ammara mengatakan kepada anda jika dia tidak pernah puas selama ini?" tanya Devan, lirih. Melirik penuh harap pada Jeana agar apa yang wanita itu katakan hanyalah untuk mencari tahu tentang hubungan ia dengan istrinya.
Jeana tercekat. Ia tidak tahu harus mengatakan apa. Ammara memang tidak pernah mengatakan hal itu secara langsung. Namun Ammara sudah dua kali mempertanyakan hal yang sama padanya. Dan Jeana menyimpulkan jika itu sama saja dengan Ammara secara langsung mengungkapkan jika ia tidak pernah merasakan klimaks dengan Devan.
"Benar!" jawab Jeana, berdusta. Baginya, ini kesempatan untuk memiliki Devan. Dan ia tidak akan pernah membuang kesempatan emas ini. Lagipula, secara tidak langsung ia memberikan solusi bagi kedua pasangan itu. Untuk saling jujur bahwa sebenarnya hubungan mereka tidaklah sehat untuk terus di pertahankan.
Devan luruh. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi mobilnya. Selama ini, ia tidak pernah mengetahui jika Ammara juga merasakan kecewa sama seperti dirinya.
Melihat Devan pasrah seperti itu. Membuat Jeana tidak kehilangan akal. Ia merasa ini adalah kesempatan yang bagus untuk mendekati Devan. Wanita itu langsung menunduk tepat di bagian bawah tubuh Devan.
Devan yang masih linglung setelah mengetahui kenyataan tentang hal tersebut. Tidak dapat mencegah Jeana berbuat sesuka hatinya. Ia bahkan mengerang nikmat saat Jeana dengan lincah bermain di bawah sana.
Sementara di sisi lain, Ammara sama sekali tidak bisa tidur. Ia bolak-balik menuju ranjang dan jendela untuk memastikan jika Devan sudah pulang. Tapi hingga selarut ini, suaminya itu belum kunjung menampakkan batang hidungnya. Membuat Ammara khawatir jika telah terjadi sesuatu pada Devan.
Ammara tidak tahu saja jika saat ini Devan sudah melewati batasnya. Ia terlalu kecewa pada dirinya yang bahkan tidak mengetahui apa yang istrinya rasakan selama ini.
Devan juga tidak menyangka jika Ammara telah bertahan selama ini tanpa mengatakan apapun padanya. Mereka berdua sudah seperti orang bodoh yang selalu menganggap bahwa semuanya akan baik-baik saja hanya dengan cinta.
Dan ternyata, cinta tidaklah cukup bagi mereka.
"Maafkan aku, Ra ...."
"Kamu dimana, Devan? Cepatlah pulang ...."