Ammara berbalik ke belakang dan mendapati ada Devan yang sedang berdiri tepat di belakangnya. Ia menatap Devan yang melihatnya dengan tatapan lega. Tanpa ada perasaan terkejut sama sekali. Padahal, bukankah ia sedang tertangkap basah tengah bersama Arnold?
"Kenapa kamu duduk sendiri disini, Sayang?" tanya Devan lagi, membuat Ammara mengernyitkan keningnya bingung.
Sendiri? Bukankah ia sedang bersama Arnold sekarang? Ammara melirik ke arah tempat duduk di sampingnya. Dan ia tidak mendapati Arnold berada disana.
'Kemana perginya pria itu?' batin Ammara, seraya melihat ke sekeliling taman yang cukup temaram itu.
Devan bingung melihat tingkah istrinya yang seperti orang yang sedang kebingungan itu. Ia pun mendekat ke arah Ammara dan duduk di samping istrinya.
"Kamu cari siapa, Sayang?" tanya Devan lagi, ia memang pria paling penyabar yang pernah Ammara temui. Tapi sayangnya, ia tidak cukup perkasa untuk membuat Ammara klimaks.
Ammara menggelengkan kepalanya cepat. Ia berusaha menghilangkan pikirannya tentang kemana perginya Arnold saat ini. Yang penting, ia tidak ketahuan sedang duduk bersama dengan sahabat dekat dari suaminya. Ia tahu jika Devan adalah pria yang pencemburu. Dan Ammara tidak ingin hubungannya dengan Devan tambah rusak hanya karena Arnold.
"Aku enggak cari siapa-siapa kok, Sayang. Aku hanya ingin sendiri. Soalnya, udaranya cukup sejuk," jawab Ammara, asal. Kemudian ia menyandarkan kepalanya di bahu Devan.
Perasan bersalahnya menguat karena ia sempat membandingkan Devan dengan Arnold. Membayangkan jika saja Arnold memasuki dirinya. Padahal, hanya Devan yang berhak atasnya.
"Maafkan aku ...," lirih Ammara.
Devan mengernyitkan dahinya bingung. Untuk apa Ammara meminta maaf padanya? Padahal, harusnya Devan yang meminta maaf karena telah berani bermain belakang dengan Jeana. Bahkan sebelum datang menemui Ammara disini. Jeana sempat kembali mengecup bibirnya dan ia menikmati semua itu.
"Minta maaf kenapa, Sayang? Kamu enggak salah apa-apa kok. Aku yang salah karena membiarkan kamu sendiri disini," ucap Devan, lalu mendekap istrinya erat.
Lama keduanya saling berpelukan. Sehangat apapun pelukan Arnold tadi, semua itu tidak akan pernah bisa menggantikan hangatnya pelukan Devan.
Pelukan Devan membuat Ammara merasa tenang dan nyaman. Sementara pelukan Arnold, membangkitkan gairahnya. Dua hal berbeda yang ia rasakan dalam waktu yang bersamaan.
"Oh iya, aku lupa!" cicit Devan. Seraya melepaskan pelukannya dengan Ammara.
"Lupa apa, Sayang?" tanya Ammara, sebab kini suaminya sedang menatapnya intens dan memegang kedua bahunya.
"Ada editor kamu datang kesini tadi. Kamu yang mengundangnya datang?" tanya Devan, serius.
Ammara tersenyum kikuk. Ia tahu jika Devan pasti akan sangat marah jika ia membawa urusan pekerjaan ketika sedang menghadiri acara keluarga seperti ini. Tapi ia tidak bisa menolak Jeana untuk datang. Sebab ia juga harus segera menyerahkan naskah cerita yang sudah ia revisi itu pada Jeana malam ini juga. Itu adalah permintaan perusahaan penerbit yang akan menerbitkan bukunya di bulan ini juga.
"Maafin aku, Sayang ... Aku terpaksa melakukan hal itu. Aku ...," tutur Ammara, merasa bersalah. Dengan air mata yang mulai menetes. Takut jika Devan akan marah padanya.
Bukannya marah, Devan malah tersenyum. "Aku ngerti, Sayang. Enggak apa-apa kok," ucapnya, lembut. Kemudian kembali membawa Ammara dalam pelukannya.
Ammara sedikit tersentak dengan sikap Devan yang tidak biasanya. Kali ini, ia menjadi sosok yang lebih mementingkan dirinya dari apapun. Bahkan Devan tidak menyalahkan dirinya sebab kedatangan Jeana. Padahal tanpa Ammara tahu, jika Devan tentu saja tidak akan marah karena ia sudah mendapat asupan ciuman panas dari Jeana tadi.
Penyesalan sekaligus perasaan mendamba, kini menyelimuti diri Devan.
***
"Kalau begitu kami pulang dulu, Pah, Mah, semuanya," pamit Devan, dengan tangan yang terus saja merangkul pinggang Ammara sejak tadi. Sedang Jeana hanya bisa menatap tingkah Devan dengan senyuman liciknya.
"Iya, Sayang. Kalian pulangnya hati-hati ya, jaga diri kalian baik-baik. Lain kali datang kesini lagi," ucap Kartika dengan lembut.
"Baik Mah. Kami pergi dulu, bye semuanya."
"Bye."
Semua keluarga besar Devan melepas kepergian Devan dan Ammara secara serempak. Mereka memang memiliki kebiasaan yang bagus seperti itu.
"Kamu datang bersama siapa tadi, Jean?" tanya Ammara pada Jeana yang kini sedang berjalan di sampingnya. Dengan tangan yang memegang naskah milik Ammara yang akan ia serahkan pada penerbit.
"Aku datang dengan taksi. Jadi aku juga akan pulang dengan itu. Lagipula, aku juga harus kembali ke perusahaan untuk menyerahkan naskah milik kamu ke mereka," jawab Jeana.
Ammara menghentikan langkahnya yang kemudian membuat Devan juga ikut berhenti.
"Kenapa Sayang?" tanya Devan.
Ammara tidak menjawab pertanyaan Devan. Ia malah menatapi Jeana hingga membuat wanita itu ikut menghentikan langkahnya.
"Kamu pulang sama kami aja. Biar Devan yang mengantarkan kamu ke perusahaan kemudian ke apartemenmu," ucap Ammara, santai. Tanpa memiliki pikiran buruk sedikit pun. Ia hanyalah satu dari beberapa wanita polos yang ada di New York saat ini.
Ammara tidak pernah berpikir jika seorang wanita dan pria bersama maka akan terjadi hal-hal yang tidak seharusnya terjadi. Ia lupa, jika Jeana adalah seorang pemburu mangsa yang sangat licik dan pandai menggoda.
Sementara Devan diam sejenak tapi berusaha menggelengkan kepalanya. Ia tidak mau mengantar Jeana ke perusahaan ataupun ke apartemen wanita itu. Ia takut akan terjebak dalam permainan ini. Hingga ia akan kesulitan ke luar dari sana nantinya.
"Tapi Sayang, Nona Jeana bisa pulang sendiri," ucap Devan, berusaha menolak permintaan Ammara dengan lembut tanpa menyakiti wanitanya itu atau membuatnya curiga.
Ammara menggeleng mantap. "Tidak Sayang. Aku tidak bisa membiarkan Jeana pulang sendiri. Apalagi ini sudah malam. Ini akan sangat berbahaya baginya yang adalah seorang wanita," jelas Ammara. Dan Jeana hanya tersenyum sejak tadi. Tidak menanggapi apapun. Biarkan Ammara dalam kebodohannya.
Devan berdecak dalam hati. Ucapan Ammara semakin membuat Devan menjadi khawatir.
'Justru dia wanita makanya dia berbahaya, Sayang,' batin Devan, kesal.
"Lagipula dia editor aku, Sayang. Aku yang meminta dia untuk datang kesini. Jadi aku harus bertanggung jawab untuk memastikan kalau dia aman," tambah Ammara lagi.
'Rumah tangga kita yang tidak aman jika aku mengantarnya pulang, Sayang.' Ingin sekali Devan berkata seperti itu. Tapi ia hanya bisa mengatakan hal tersebut di dalam hatinya. Ia tidak ingin membuat Ammara curiga jika ia dan Jeana pernah ada skandal sebelumnya.
"Jadi kamu mau ya, Sayang. Antarin editor aku," pinta Ammara, membuat Devan tidak bisa menolaknya lagi.
Sementara Jeana tersenyum penuh kemenangan saat Devan tidak membantah apapun lagi dan menganggukan kepalanya.
"Ayo Jeana. Ikut dengan kami," ajak Ammara penuh semangat.
Ammara tidak menyadari jika ada musang berbulu domba yang sedang mengintai rumah tangganya. Ia terlalu polos hingga tidak menyadari jika itu adalah awal mula runtuhnya rumah tangga mereka.