Tiga Tahun berlalu dari peliknya permasalahan yang Emil hadapi bersama Haris tahun-tahun kemarin yang berarti usia pernikahannya sudah mencapai 4 tahun, perlahan namun pasti ia sudah mulai menata hati tuk tidak terlalu larut dalam keadaan demikian. sedikit demi sedikit perasaan dilema yang ia alami mulai memudar, Emil sudah tidak merasa terbebani dengan permintaan kedua orangtua suaminya karna Selama ini Haris selalu bisa menenangkan hati Emil dan sang mertua sudah lama tidak membahas masalah itu lagi.
Sore kemarin ketika Haris belum pulang, seorang wanita bertandang ke rumah Emil. Ia adalah tetangga dekatnya yang cukup akrab dengan Emil dan Haris, begitupun dengan kedua anak beliau. bahkan Emil sudah menganggap anaknya itu seperti anaknya sendiri..
"Mil... seperti biasa ya kaya kemarin lagi, dampingi si sulung tour.. kebetulan saat ini mba lagi repot ngurus si kecil.."
"NgGiihh mba.. kapan ??"
"Besok.. kamu izin aja dulu sama Haris takutnya ga dibolehin.. soalnya kalo yang sekarang jauh mil, karna lombanya tingkat kabupaten kemungkinan bakal pulang sore."
"NgGiihh mba Nda papa, ka Haris pasti mengerti.. lagi pula Emil juga bete sendirian dirumah." Emil berusaha meyakinkan wanita itu.
"Kamu yakin ga akan kecewa lagi kaya taun kemaren.. ??" Wanita tersebut malah membuat Hati Emil berflash back.
Iya... Tahun kemarin Memang sedikit membuat hatinya terguncang karna saat itu ia harus bertemu dengan teman-teman sekolah SD nya dulu yang sudah mempunyai jagoan atau peri kecil yang kebetulan mereka juga bersekolah di tempat yang sama. Maklum di wilayah tempat tinggal Emil masih banyak yang melakukan pernikahan usia muda sekitar 18-19 tahunan termasuk dirinya, hingga sudah bisa di pastikan jika bisa langsung hamil 5 tahun setelah menikah pasti sudah punya anak balita.
Hal demikian Sudah pasti bisa di bayangkan betapa tertekannya Emil di kala itu ketika menghadapi berbagai macam 'guyonan' mereka. Bahkan jauh sebelum mereka bertemu, seorang nenek menghampiri Emil tatkala ia baru berjalan beberapa meter dari rumahnya untuk menuju tempat berkumpulnya Anak-anak.
"kamu itu kapan toh ndu punya anaknya, nda iri karo konco-konco mu yang baru bulan-bulan kemarin nikah tapi cepet hamilnya. inget toh ndu, koncomu iku nda bakal nanya mobil kamu berapa sekalipun kamu iku sugih, yang mereka tanyakan itu pasti "wes duwe anak piro ??.. kamu mau jawab opo toh ??" tegas sang nenek meyakinkan Emil dengan logat khas jawa campurannya, beliau seakan menganggap bahwa hanya Emillah yang mengalami keadaan seperti ini. Beliau tidak menyadari, bahwa Emil pun tak berdaya menghadapi kenyataan yang sekarang ia jalani, mungkin menurut si nenek baginya mendapatkan momongan itu sangat mudah bisa di otak atik sendiri seperti membuat boneka hingga ia lupa bahwa mungkin di luar sana masih banyak juga pasangan yang bernasib sama seperti Emil karna Allah lah yang mengatur segalanya.
"NgGiihh nek, mudahan Emil juga cepat menyusul. Aamiin.. minta doanya saja." Jawab nya seraya berlalu.
Dan tahun ini.. tidak menutup kemungkinan juga jika ia harus mengalami hal serupa atau mungkin lebih menyakitkan dari kemarin.
"In syaa Allah Nda mba.. Emil udah biasa." Ucapnya meyakinkan.
Namun keesokan harinya..
Di tengah perjalanan menuju sekolah, tanpa di sengaja ia bertemu dengan teman lamanya yang kala itu sedang mengadakan tasyakuran tujuh bulanan yang kebetulan rumahnya dekat dengan jalan raya. Namun sebelumnya, ia juga bertemu dengan beberapa ibu muda (org tua murid) yang ikut dalam acara tour tersebut dan ternyata ikut mampir juga di acara tasyakuran temannya itu setelah sebelumnya mereka berkata pada Emil:
"Wah.. ikut lagi ya, kapan bisa bawa anak sendiri.. ?? Ko dari tahun kemarin anak tetangga terus yang di bawa.. hehe !!?" Guyonnya sinis, Emil hanya tersenyum getir. Semula ia menolak, ketika temannya itu menyuruhnya masuk.. namun temannya yang lain yang sudah berada di halaman rumah tersebut menariknya seraya berbisik.. "biar cepet nyusul mil !!" bujuknya, Emil pun menurut. Namun sambutan orang tua temannya Emil itu lagi-lagi membuat hatinya terhenyak.
"Woalah.. ada nak Emil toh, jadi tamu terus.. kapan jadi tuan rumahnya, ibu juga kepingin loh makan rujaknya nak Emil.. kapan nih.. ??" Celoteh sang ibu yang kemudian disambut gelak tawa teman-teman yang lain. Emil tahu beliau hanya bercanda, tapi jujur.. Ada perasaan menyesal ia masuk dalam rumah tersebut yang ternyata hanya menjadi bahan guyonan bagi mereka, "kuatkan aku ya Robb.. aku tidak ingin serapuh ini.." jeritnya membatin.
"Emil belum ngisi bu, kita doakan saja semoga bisa dalam waktu dekat ini. Aamiin.." sela yang punya hajat, ia seperti tahu apa yang saat ini Emil rasakan. Ia merasa sedikit lega karna setidaknya dari banyaknya mereka masih ada satu orang yang mau memotivasinya.
"Ya mbo di periksa toh ndu.. jangan diam saja, jangan sayang sama duit kalo mau bahagiain suami. Toh kamu belum punya tanggungan apa-apa, duitmu pasti utuh. apa nda khawatir kalo nanti suamimu diam-diam menikah lagi dengan wanita yang lebih produktif.. ibu ikut sauran lho kalo nak Emil bisa hamil.." ujarnya lagi.
"Astaghfirullah, ini saran ataukah ejekan ya Allah.. ??" jerit batin Emil bergemuruh. Ia merasakan dadanya terasa semakin sesak.. kenapa ibu itu malah memvonisnya bahwa seakan akan selama ini Emil diam saja, haruskah ia siarkan kepada mereka tentang apa yang sudah ia lakukan selama ini, haruskah ia juga beberkan padanya sudah berapa banyak uang yang Emil keluarkan tuk mewujudkan semua itu.. ??
"Ya Allah... bagiku cukup.. cukup hanya Allah lah yang tahu dengan semua perjuangan dan doa-doaku, Allah lah yang akan membalas semua usahaku. Aku percaya saat ini Allah sedang menguji kesabaran ku, aku yakin airmata kesedihan hari ini akan menjadi airmata kebahagiaanaku di kemudian hari, aku sakit Ya Allah.." Rintihnya masih membatin.
Emil merasa perkataan sang ibu kali ini sangat membuatnya merasa sudah tidak sanggup lagi berada di antara mereka, tubuhnya terasa lunglai padahal saat itu ia harus kuat dan bersemangat tuk bisa mendampingi si kecil dalam acara tour yang setengah jam lagi angkutannya akan segera tiba. Akhirnya ia tutup "Guyonan" mereka itu dengan kata singkat penuh kedukaan..
"Permisi.. aku pamit duluan", ujarnya seraya bergegas dari rumah tersebut.
"Semoga kelak anak-anak dan cucu-cucu mereka Nda akan pernah mengalami nasib yang sama seperti ku Ya Allah, karna ini sangat memalukan.. sangat-sangat menyakitkan.." Gerutunya dalam hati.
Didalam bus Emil duduk bersebelahan dengan Kakak kelasnya dulu di sekolah, ia sudah memiliki buah hati karna memang usia pernikahannya yang cukup terpaut jauh. Sama halnya seperti Emil, wanita itu pun harus berjuang dulu sebelum akhirnya Allah mempercayakan ia tuk bisa hamil hingga buah hatinya sudah tumbuh besar seperti sekarang.. Alhamdulillah di antara terkoyaknya hati Emil ini ia masih mampu melihat hikmah yang Allah isyaratkan padanya, banyak tips dan saran yang ia paparkan. Ia tak segan berbagi pengalaman bahkan turut merasakan apa yang saat ini Emil rasakan karna dulu ia pernah mengalaminya, bagi Emil motivasi perjuangannya mampu memompa semangatnya untuk tidak jenuh dan tetap berikhtiar di jalanNYA, dengan tetap berdoa dan bertawakal kepada Allah. Ia pun memberitahukan sebuah Alamat rumah praktek dokter spesialis, tempatnya dulu berobat. Alhamdulillah... Emil memang belum mendapatkan apa yang ia inginkan tapi Allah selalu memberikan apa yang Emil butuhkan,
"Melalui keterangan temanku ini semoga Allah mempermudah jalanku tuk menempuhnya. Aamiin.." Doanya dalam hati.
Singkat cerita setelah kegiatan itu usai dan Emil sudah kembali ke sekolah, ia pun langsung pulang dan menghantar si kecil hingga sampai rumahnya.
"Gimana teman-temanmu tahun ini mil.. Masih sama seperti tahun kemarin ??" Tanya mbak itu ketika ia baru saja duduk di sofa nya. Emil terdiam, tak berani berkata karna rasa kesal pada teman-teman nya itu masih membekas di dadanya. Mungkin bagi mereka biasa saja, tapi menurut Emil itu sangat menyakitkan atau mungkin memang hatinya saja yang terlalu sensitif hingga menganggap semuanya keterlaluan.
"Yang sabar ya mil.. memang berat menjalani kenyataan seperti ini !!" Ujarnya lagi seakan menyadari betapa tertekannya Emil saat itu.
"Mbak juga sering ikut mikirin, gimana tertekan nya jika mbak jadi kamu. Bahkan ayahnya anak-anak pernah bilang ikut prihatin juga dengan keadaan rumah tangga mu itu." Imbuhnya lagi, sempat shock juga ketika Emil mendengar suami beliau ikut prihatin. Airmatanya hendak keluar, namun ia tahan dengan sebuah senyuman hambar.