Chapter 20 - KALUT

"Iya prihatin, katanya tidak tega jika suatu saat suami mu malah diam-diam nikah lagi. Ya mbak jawab saja bahwa suamimu itu ga akan setega apa yang suami mbak tuduhkan, eh malah dia bilang gini:

"Inget ma.. dia itu cuma manusia biasa yang ada kalanya akan berada pada titik jenuh, apa iya dia masih tetap bertahan dengan keadaan rumah tangga yang begitu-begitu saja. Dia itu cowo lho ma, bukan cewe"

Begitu katanya, jadi mbak tidak bisa jawab apa-apa. Tapi ada benarnya juga lho mil.. emang kamu ga khawatir ??"

Airmata Emil kembali teriak bahkan nyaris berontak meminta jalan, ia tahan lagi dengan ucapan pasrah penghibur diri. "Pantas saja beliau sering menanyakan ka Haris sudah pulang atau belum ketika ka Haris sering pulang terlambat, ternyata ada kekhawatiran juga di hati mereka", gumam Emil.

"Ya mungkin sudah jalanNya kalo memang Emil harus seperti itu mbak, mau gimana lagi." Jawabnya pasrah.

"Aduhh jangan bodoh deh kamu mil, dalam prakteknya itu ga sesederhana kata yang terucap dari bibirmu. ingat dalam kenyataannya kan keadaan kamu yang bermasalah, Emang kamu mau hanya jadi pembantu dalam rumah tangga suamimu, yang sudah pasti akan mengurus semua keperluan madu mu itu sedang dia bisa santai dengan alasan karna sedang hamil. Belum lagi nafkahmu yang akan di kurangi, di bedakan dengan madumu karna dia mempunyai anak sedang kamu tidak, dianaktirikan dalam segala hal. Atau kamu pikir mudah tidak tinggal satu rumah dengan suami, kamu yakin bisa tidur dengan nyenyak sementara suami sedang berbahagia dengan madumu di rumah sana ?? Yang akhirnya kamu tercampakkan, perlahan lahan suamimu akan jarang pulang ke rumah, lalu membiarkanmu dengan alasan di rumah sana lebih dekat dengan tempat kerja atau di rumah sana lebih banyak tanggung jawab dari hanya sekedar menemuimu.. apa kamu lupa, suamimu yang membutuhkan dia.. bukan madumu, Jadi.. hal apapun bisa terjadi !!?" Ungkapnya tajam.

Airmata kali ini mengalahkannya, keluar menganak sungai dan mengalir dengan begitu derasnya di pipi Emil. Ia langsung berlari pulang ke rumah.

Emil sudah tak kuasa membayangkan jika harus mengalami hal demikian.

* * *

Di balik penjelasan menyakitkan yang di beberkan tetangganya kemarin, semula Emil masih bisa sedikit tersenyum karna ia sudah mengantongi sebuah Alamat dokter spesialis. Dengan Alamat tersebut setidaknya masih ada harapan untuknya berikhtiar namun,

Lagi-lagi Allah menunjukkan kasih sayangnya, DIA tidak ingin Emil lemah dan malas hingga membimbingnya tuk lebih kuat, sabar, tegar dan semangat.. Allah ingin Emil berusaha lebih giat lagi, lebih ikhlas dan ridho dengan semua ketetapanNYA oleh sebab itu Allah belum mengizinkannya tuk bisa bertemu dengan sang dokter. Yah.. Emil yakin saat ini Allah sedang merangkulnya karna dari serangkaian kesedihan, kepedihan dan dilema yang ia lalui.. saat ini pun Emil harus menelannya kembali. Dokter tersebut ternyata sudah pindah tempat dan sayangnya tidak ada yang tahu beliau pindah di mana. Menyakitkan memang, bahkan membuatnya shock.

Dengan berbagai kenyataan yang menghujam relung hatinya, Emil harus kembali mendengarkan permintaan sang mertua yang ingin sekali menimang cucu, bahkan tegasnya penjelasan seorang ustadz yang tak sengaja ia dengar di radio seakan ikut menghakiminya.

"Ketidakbahagiaanmu itu boleh jadi karna pola tingkahmu yang tanpa kamu sadari telah menyakiti orang lain.. hingga kekecewaannya mampu membuat doamu sulit di ijabah. Bisa jadi pada tetanggamu, ibumu, bahkan mertuamu.. dan ingat, kasih sayang ibunda suami itu tidak seperti ibu kandungmu sendiri yang dengan ikhlas akan mampu memaafkan jika kita mengecewakannya, sedang mertua mu belum tentu bisa memaklumi.. jadi lebih baik introspeksi diri".

kontan saja penjelasan tersebut semakin membuatnya serba salah dan tak berdaya, teringat akan keinginan beliau ysng sangat mendambakan seorang cucu.

"Ya robb... Masih pantaskah ku mendampingi ka Haris, sedang pada kenyataannya aku nda bisa membuat keluarga ka Haris bahagia. Aku harus bagaimana..??" Rintihnya.

Akhirnya kelemahan Emil pun mencapai klimaksnya, mungkin karna saking kalutnya hingga ia tak mampu berpikir jernih. Kala itu ia harus menyambut kepulangan sang suami dengan isakan tangis penuh kedukaan sedang tas besar berisi baju-baju sudah standby di sisinya.

"Emil mau kemana..??" Tanyanya bingung dengan mata berkaca kaca, ia nampak terkejut.

"Emil minta izin pamit tuk menenangkan diri dulu ka.." jawabnya tertahan.

"Tapi kenapa..??" Tanyanya lagi, kali ini wajahnya semakin memerah. Emil terdiam dan tak sanggup menatapnya lagi.

"Adakah sikap Kakak yang menyakiti Emil, kalo memang iya Kakak minta maaf. Jangan pergi ya.." bujuk Haris memelas.

Emil semakin tak tega melihat wajah sang suami, namun tekadnya sudah bulat bagaimana pun keadaannya ia tetap harus pergi.

"Maaf ka, kali ini Emil terpaksa membantah perintah Kakak.." isaknya seraya melangkah menjauhi Haris.

"Apa Emil lupa bahwa seorang wanita ketika sudah menikah ia milik suami seutuhnya, jadi Emil wajib menurut perintah Kakak.. !!?" teriaknya, hingga airmata semakin tak kuasa Emil seka. Langkahnya pun terhenti,

"Kakak juga harus ingat.. bahwa seorang laki-laki setelah menikah sehebat apapun dan secantik apapun seorang istri ia tetap milik ibundanya.. jadi ia wajib mengutamakan kebahagiaannya. Apa Kakak lupa... ??!!" Emil ikut teriak. Kali ini Haris terdiam namun kemudian menghampiri sang istri dan memegangi tangannya seraya berkata:

"Apa Emil menyerah.. ?? Bukan kah Emil sudah berjanji Nda akan pernah meninggalkan Kakak, kecuali jika Kakak yang meminta. Tetaplah disini bersama kakak, kakak masih butuh Emil.." Bujuknya.

"Apa itu artinya Kakak yang akan meninggalkan Emil setelah kehadiran Emil sudah Nda di butuhkan lagi.. ??" Jawabnya ketus, jujur pernyataan Haris sangat melukai perasaannya.

"Bukan begitu maksud Kakak mil.." sangkalnya buru-buru.

"Sudahlah ka, mungkin tuk saat ini kita memang harus introspeksi diri masing-masing.. Emil butuh waktu tuk menenangkan diri, mohon maklumi keadaan Emil saat ini ka.. Emil mohon.." pinta Emil memelas. Terlihat Haris menghela nafas panjang, ia ikut tertekan dengan keadaan ini. Ia pun perlahan menjauh dari sang istri dan duduk di sebuah bangku.

"Baiklah jika itu keinginan Emil, mungkin.. memang selama ini Kakak belum bisa membuat Emil merasa nyaman. Kakak hanya takut jika suatu saat kita memang benar-benar harus berpisah, padahal Kakak sudah sangat merasa nyaman hidup bersama Emil meski Allah telah menguji kesabaran kita seperti ini. Dan Kakak merasa, belum tentu bisa mendapatkan wanita seperti Emil lagi dalam hidup Kakak.. sedangkan Emil Kakak yakin di luar sana masih banyak laki-laki yang sangat menginginkan Emil, yang lebih bisa buat Emil nyaman dan bahagia." ungkapnya lirih.

Hati Emil semakin sakit mendengar ucapan Haris, yang sekarang mulai pasrah dan merelakan kepergiannya. Terlalu menyedihkan jika ia harus berpisah dengannya, yang mungkin keadaan Emil akan lebih buruk dari sekarang. Siapa yang akan mau hidup bersama wanita sepertinya, wanita yang tidak mampu menjadi wanita seutuhnya sedang Haris dengan lapang hati mau menerima kekurangannya itu bahkan harus menepikan keinginan kedua orangtuanya. Namun justru itulah yang semakin membuat Emil sedih, Haris terlalu baik tukknya rasanya tak adil jika Haris hanya bisa mendapatkan wanita sepertinya, namun Emil juga belum rela jika suaminya harus hidup dengan wanita lain.

Seketika perasaan Emil berubah, ia ingin Haris tetap menahannya di sini, ia takut kehilangan laki-laki itu Emil tidak siap. Hingga Akhirnya kesedihan itu tak sanggup menahan berat tubuhnya, Emil pun terduduk di lantai dan menangis sekeras-kerasnya. Haris langsung menghampiri sang istri dan kemudian memeluknya.

"Kita lalui ini sama-sama ya sayang, Emil harus kuat. Kakak mohon jangan pergi dari hidup Kakak.. Kakak janji in Sya Allah Nda akan pernah meninggalkan Emil apapun yang terjadi nanti.." ujarnya.

"Janji.. ??" Tanya Emil meyakinkan. Haris melepaskan pelukannya, mengusap airmata Emil dan mengecup keningnya seraya berkata.

"Iya sayang...". Tangis Emil pun kembali pecah.

"Maaf kan Emil ka, Emil hanya merasa sudah Nda sanggup dengan semua kenyataan yang kita hadapi.. Emil takut." Isaknya lirih, Haris kembali memeluk sang istri.

Keduanya hanyut dalam kesedihan yang mendalam, berguguran airmata dan isakan pilu yang mencekam.. menapaki kenyataan yang begitu alot mereka pecahkan, meski Allah sudah mengisyaratkan keduanya tuk tetap kuat.. namun rasa kecewa dan lelah ini begitu berat ia tepiskan. Munafik jika Emil tak mau mengakuinya, ia merasa capek, ia lelah, ia tak kuasa menahan kepedihan itu.. Ia juga marah dengan semua ejekan orang-orang yang menghakiminya, Emil sakit hati dengan perkataan mereka, ia tertekan... sangat tertekan. Hingga wajar jika ia harus sekalut itu, 4 tahun bukanlah waktu yang singkat yang dijalani Emil dengan keadaan seperti ini. Dimana ia harus selalu menjaga hatinya dari berbagai hujatan dan Hinaan orang-orang sekitar.