3 tahun wafatnya sang Ayah berarti 6 tahun sudah Vio belajar di pesantren, 22 tahun usianya dan 4 tahun pula usia pernikahan Emil yang ternyata masih belum mendapatkan momongan. Namun di akhir tahun itu pula banyak hal yang terjadi, bahkan hingga memasuki tahun ke 7. Salah satunya masalah perjodohan Riha yang pernikahannya akan dilaksanakan pada tahun ini entah dengan putra pak Kyai atau pemilik panti yang artinya Vio akan segera angkat kaki dari rumah akhwat itu dan kembali menempati kamarnya yang semula bersama Riris dan Ayu. Ada perasaan bahagia mendengar Riha akan segera menikah di usianya yang hampir memasuki 24 tahun, namun ia juga sedih karna akan ada jarak antara dirinya dan Riha yang memang tidak akan bisa selalu bersama seperti dulu lagi atau mungkin malah tidak akan bertemu sama sekali karna beliau harus ikut sang suami seperti putri pak Kyai dulu.
Meski acara tersebut masih lama namun sungguh kegelisahan itu sangat menghantui pikirannya. Dan memang terbukti, karna ada sebuah keadaan yang tak terduga yang justru semakin membawanya dekat pada hal yang sangat ia khawatirkan tersebut.
Siang itu setibanya Vio di pesantren setelah pulang menjenguk keadaan sang Bunda, ia melihat 3 mobil pribadi berjejer di halaman rumah pak Kyai. Sepertinya beliau sedang kedatangan tamu penting oleh sebab itu Vio ragu tuk menemui pak kyai dan lebih memilih langsung menuju rumah Riha (rumah yang ia tinggali juga) namun ia tak melihat akhwat itu di sana, Vio pun kembali keluar dan menuju Ruang kelas. Di tengah jalan Vio berpapasan dengan Riris dan Ayu...
"Assalamualaikum Ukhty.." ucap Riris dan Ayu serentak.
"Wa alaikum salam wr wb.." jawab Vio.
"Ukhty baru nyampe, hendak kemana..??" Tanya Riris.
"Hendak ke Ustadzah, beliau ada di kelas mana ya ??" Jawab Vio malah balik bertanya.
"Loh.. emang Ukhty nda tau. Beliau kan sekarang sedang di rumah pak Kyai, membahas tentang perjodohannya. Kebetulan keluarga besar pihak laki-laki sedang berkunjung ke sini, ternyata keluarga beliau berasal dari berbagai daerah." Jawab Ayu seakan takjub.
"Masya Allah.. ana nda tau. Berarti Ustadzah nda jadi di jodohkan dengan putranya pak Kyai ya ??" Tanya Vio lagi, ia sangat terkejut karna ternyata perjodohan itu lebih cepat dari yang semula ia kira yang ia pikir akan berlangsung beberapa bulan lagi.
"NgGiihh Ukhty, Ustadzah di jodohkan dengan putranya pemilik panti. Beliau meminta pak kyai tuk menjadi pihak mempelai wanita sekaligus wali hakimnya ustadzah, ustadzah kan nda punya keluarga selain pak kyai dan pemilik panti itu", Ungkap Riris.
Deg.. perasaan Vio mulai gelisah, pikirannya tak menentu ia sudah mulai merasakan detik demi detik perpisahan itu meski sejujurnya ia sangat bahagia.
"Tenang saja ukhty,, kamar kami selalu terbuka ko tuk Ukhty. Kapan saja Ukhty mau pindah, kami siap membantu." Ujar Riris dengan sangat polosnya, ia tak menyadari bahwa perkataannya itu justru seakan lebih mengusik kekhawatiran Vio. Gadis itu pun terdiam, sedang Ayu memandangi wajah Riris seperti mengisyaratkan sesuatu. Seperti suatu teguran karna sudah berkata seperti itu pada Vio, Ayu pun menggenggam tangan Riris dan kemudian pamit.
"Assalamualaikum ukhty kami permisi dulu."
"Yaah Wa Alaikumussalam... " jawab Vio. Sepeninggalnya mereka Vio langsung berbalik arah menuju rumah pak Kyai, ia ingin memastikannya sendiri sekaligus memberitahukan beliau bahwa ia sudah kembali. Namun setibanya di rumah tersebut Vio sudah tidak melihat siapa-siapa lagi, mobil yang berjejer itu pun sudah tak ada lagi di tempatnya. Mungkin semua tamu itu sudah pulang, termasuk Riha. Setelah menemui pak Kyai, Vio pun pamit dan menuju rumah Riha. Dan benar saja akhwat itu sudah ada di rumahnya, setelah cukup berbasa basi Vio pun langsung bertanya perihal perjodohan tersebut.
"O iya mba, tadi Vi dengar katanya pemilik panti ke sini bareng keluarganya. Sudah finish kah rencana perjodohannya mba ??" Tanyanya dengan penuh kegelisahan.
"Alhamdulillah Vi lancar saja,, " jawab Riha pendek.
"Mba menerimanya..??" Tanya Vio lagi, ia terlihat lebih was was..
"In Syaa Allah" ucapnya singkat. Gadis itu terdiam, perasaannya sudah semakin tak karuan namun ia tetap berusaha tegar di hadapan akhwat tersebut.
"Pasti dia ganteng dan shalih.. makanya mba terima, iya kan mba..?? Siapa namanya.. dan berapa usianya mba ??" Tanyanya lagi. Mendengar pertanyaan Vio seperti itu, Riha hanya tersenyum ia seakan mengerti dengan kekhawatiran yang tengah di alami gadis itu.
"Kenapa mba malah tersenyum, nda jawab pertanyaan Vi.." ujarnya bingung. Akhwat itu pun menghampiri Vio dan memegangi tangannya,
"Viii... mba tau ko kalo Vi sekarang sedang gelisah. Vi khawatir kan jika nanti mba menikah kebersamaan kita malah jadi renggang..?? Nda akan ko Vi, in sya Allah kebersamaan kita akan baik-baik saja. Jadi Vi nda usah khawatir ya ?? Lagi pula waktunya kan masih lama, 3 bulan lagi dan mba juga belum tau wajahnya seperti apa, kepribadiannya seperti apa karna kita memang belum saling bertemu. Yang mba tau Ikhwan itu bernama ILHAM usianya sudah 27 tahun, ia kuliah sambil mesantren tapi cuti kuliahnya saat ini lebih awal dari prediksi keluarga, oleh sebab itu pernikahannya di percepat Sebelum ia kembali lagi tuk menyelesaikan studinya yang hanya tinggal satu semester. Hanya itu yang mba tau, itu pun baru tadi orang tuanya memberitahukan." Ujar Riha dengan sangat berhati hati. Ia tak ingin perasaan Vio malah semakin tak karuan.
"Jadi tadi dia nda ikut ke sini.. ?? Ko mba bisa menerima pinangan laki-laki yang belum mba kenal bahkan nda pernah mba liat sama sekali. Bagaimana kalo dia cacat atau berwajah buruk atau mungkin dia sudah punya calon sendiri. Apa mba nda takut kecewa..??" Ujar Vio mencoba mematahkan pendapat Riha tentang perasaannya, yang sekarang ia justru lebih mengkhawatirkan calon imam Riha.
"Kecewa.. ?? Kenapa harus kecewa Vi, dia juga sama kan ciptaan Allah. Kalo memang jodoh mba harus seperti itu ya mba harus terima, tujuan mba menikah kan karna tuk niat ibadah jadi apapun yang Allah kasih mba harus ikhlas. Dan misalkan ia sudah punya calon mahram sendiri lalu ingin menikahinya, in Sya Allah mba juga ikhlas. jodoh itu rahasia Allah Vi.. nda bisa di tebak. Jika Allah sudah menghendaki, DIA akan memberikan jalan yang mungkin nda pernah terpikirkan oleh kita sekalipun. Lagi pula mba percaya bahwa pilihan pak Kyai dan pemilik panti itu adalah yang terbaik tuk mba." Ungkap Riha membungkam kekhawatiran gadis itu.
"Subhanallah .. mulia sekali hati mba, sungguh dia sangat beruntung mendapatkan istri seperti mba.." ujar Vio terharu, matanya pun langsung berkaca-kaca. Terharu atau memang sedih karna perpisahan itu memang sangat dekat meski masih 5 bulan lagi, namun Vio justru semakin merasa sesak tatkala ia harus kembali teringat pada sosok Faiz, ungkapan Riha seakan semakin menguatkan hatinya tuk selalu berdoa agar bisa berjodoh dengan ikhwan itu.
"Vii.. Kenapa.. ?? Ada yang salah dengan ucapan mba, maaf ya" tanya Riha tatkala melihat Vio bersedih Ia paling sensitif jika melihat seseorang mengeluarkan airmata, apalagi orang terdekatnya. Sedang Gadis itu hanya menggelengkan kepala, sejujurnya ia tak ingin bercerita tentang Faiz pada Riha namun akhwat itu selalu mendesaknya hingga Vio pun berterus terang dengan apa yang selama ini ia pendam. Di mulai dari ketidaksengajaannya bertemu Faiz, lalu mengajarnya ikhwan itu di sekolahnya sampai berpisahnya mereka yang kemudian saling bertukar benda sebagai cinderamata. Riha terharu mendengar cerita Vio, ia begitu serius memperhatikannya sambil sesekali menyeka Airmata gadis itu ketika Vio sampai di bagian: keluarnya ia dari sekolah, kemarahan sang Ayah yang terakhir kalinya ia lihat dan harus melihat kembali namun di saat keadaan beliau sudah tak bernyawa. Di sela-sela cerita itu Riha selalu menyelipkan kata-kata bijaknya, memotivasi dan mensupport Vio layaknya pada adik kandung sendiri bahkan ia seakan lebih memanjakan gadis itu.
Vio memberitahukan benda yang ia kasihkan kepada Faiz yakni berupa alat pembatas buku yang berukir kaligrafi dan berukir nama singkat dirinya (VioLet), kemudian ia mengambil sesuatu dari dalam tasnya.. sebuah hijab. Hijab warna violet pemberian Faiz, ia ingin menunjukkan benda itu kepada Riha.