Di sisi lain...
Berbanding terbalik dengan kehidupan yang dijalani Riha dan Faiz, Emil justru tengah mengalami keterpurukan yang mendalam. Ia harus kembali mengalami guncangan batin yang disebabkan karena belum bisanya ia mendapatkan keturunan.
Siang itu disebuah rumah kerabat Haris...
Sejujurnya Emil bukan tipe orang yang suka berpergian, entah ketika ada keperluan atau hanya sekedar 'hang out'. Dia lebih suka berdiam diri di rumah, larut dengan kesibukannya sehari hari atau mengunjungi Bundanya Vio yang sudah ia anggap seperti orang tuanya sendiri. Alasannya simple, ia tak sanggup menghadapi berbagai komentar orang lain tentang hidupnya.. terlebih lagi tentang apa yang sudah terjadi selama ini. Egois memang, namun... entahlah, mungkin tuk saat ini hanya itu yang bisa ia lakukan.
Seiring berjalannya waktu, mau tidak mau akhirnya Emil harus mengikis keegoisannya.. memufuk kembali motivasi yang sekuat tenaga ia kumpulkan, hingga ia mampu berdiri meski dengan tertatih tatih.. yah... dengan sangaat hati-hati Emil mulai bersosialisasi dengan orang lain.
Saat ini... Emil dan suami beserta sang adik ipar dan suaminya tengah menjenguk kerabat dari pihak ibu yang telah melahirkan. Suasana bahagia, haru dan perasaan iri terbias di wajah mereka. Maklumlah mereka berempat memang sangat mendambakan itu, karna adik Haris juga ternyata masih belum bisa hamil hingga perasaan tersebut terpancar jelas di wajah Emil dan sang ipar. Terutama Emil yang nampak begitu menggebu dalam hatinya. Selang sekitar dua menit, ternyata saudara sepupu ipar yang lain datang juga di rumah itu.. membuat suasana semakin cerah dan ceria, namun sayangnya semua itu tak bertahan lama karna mereka berempat harus mengalami hal yang sangat menyakitkan.
"Kalian sudah ngisih.. ??" Tanya sang tuan rumah pada Emil dan iparnya, belum sempat mereka menjawab tiba-tiba tamu yang lain nyeletuk,
"Jangan tanya sama mereka berdua udah ngisih atau belum, mereka berdua itu kan mandul.. iya ga bakalan bisa hamil lah, akur tuh ipar sama Kakak.."
Bak tertampar wajah pucat Emil dan iparnya mendengar ucapan sang tamu, terlebih lagi iparnya yang mungkin baru kali ini dipermalukan di depan banyak orang.
"Jangan sembarangan ngmong kaya gitu, ga inget apa dulu anaknya juga sama.. udah berapa tahun tuh baru bisa hamil." Spontan ipar Emil menjawab, ternyata dia lebih tegar dari sang kakak karna memang sebenarnya tujuan penghinaan beliau hanya tertumpu pada Emil. Sepertinya banyak kata yang ipar Emil lontarkan pada tamu itu, namun ia sudah terlalu sulit mencernanya karna sang tamu selalu menyudutkan Emil bahkan suami ipar Emil pun ikut angkat bicara membela Emil dan sang istri. Mereka bertiga seakan berdebat, saling menyerang dan menyindir.. sedang yang lain justru tertawa terbahak bahak. tak ubahnya seperti menonton adegan debat kandidat di sirkus..
Emil yang terluka hanya bisa menunduk menahan malu, sedang Haris sang suami sama sekali tak ikut bicara. Emil melirik ke arahnya, namun dia justru hanya ikut tertunduk melihat istrinya di permalukan.
"Ya Allah, aku hanya bisa berdoa.. jangan tampakkan airmata ini dihadapan mereka, aku tak sanggup lagi mendengarnya." Emil membatin.
Tiba-tiba awan mendung menggantikan Airmatanya.. menitik lembut di wajah Emil ketika Haris mengajaknya pulang. Mungkin langit pun tau betapa terlukanya ia menghadapi ini semua.
Hingga di tengah perjalanan menuju mobil.. Emil luapkan airmata itu bersama butiran gerimis yang membantu.
"Aku sakit ya Allah..!!" Bisiknya.
Nyaris sama sakitnya di bulan-bulan kemarin ketika ia berkunjung ke rumah neneknya di desa yakni orang tua Ayah kandungnya yang kala itu baru saja meninggal.
Tepat di hari meninggalnya beliau, Emil datang lebih awal karna ada banyak hal yang harus ia persiapkan karna sang bunda sudah meninggal.. dan Haris tak bisa menemaninya karna harus mengajar.
Sepulang dari pemakaman, Emil kembali ke rumah sang nenek namun di tengah jalan setapak menuju rumah almarhum ia melihat beberapa ibu yang sedang berkerumun mengelilingi tukang kain. Emil hanya tersenyum kepada mereka sebagai tanda sapaannya karna jarak mereka masih lumayan jauh namun Tiba-tiba salah satu ibu itu langsung memanggilnya..
"Mil sini... !! Ada daster bagus nih, kayaknya cocok kalo kamu yang make" teriaknya.
Emil pun mempercepat langkahnya, ingin cepat-cepat melihat daster tersebut.
"Nyaman lagi nih, karna bisa tuk menyusui juga !!" Imbuhnya lagi, Emil jadi semakin penasaran dan berharap daster itu memang cocok tuknya. Namun setelah jarak Emil sudah semakin dekat sang ibu itu malah berkata:
"Oh iya aku lupa, kamu kan ga bisa hamil jadi buat apa beli daster kaya gini.. percuma mil, ga kepake kan.. ??!!" Tandasnya tanpa memperdulikan keadaan sekitar, bahkan tuk menghargai perasaan Emil saja beliau tak bisa.
Dwaarrrr... dada Emil seperti meletup letup dengan keras seakan jantung ingin terlepas karna terpompa terlalu cepat, raut wajah pun memerah menahan tangis karna malu. Dengan sangat gontai ia lanjutkan langkah itu menuju rumah Almarhum sang nenek, sedang airmata terus mengalir seperti tak bisa berhenti.
Untuk saat ini Kejadian seperti itu memang bukan tuk kali pertama dalam hidupnya setelah menikah, bahkan jauh sebelum peristiwa tersebut pun ia sering mengalaminya. Bahkan yang bulan kemarin pun masih sangat hangat dalam ingatannya.
Kala itu di pagi yang cerah, seperti biasa setelah mencuci Emil menjemur pakaian di depan rumah dan seperti biasa juga seorang ibu setiap pagi lewat di depannya karna rumah Emil memang dekat dengan jalan tuk orang berlalu lalang. Dan hampir setiap pagi juga jika dia berpapasan langsung dengan Emil pasti selalu mengeluarkan kata-kata yang tidak mengenakan "inilah... itulah.. ketinggalan lah, mandullah.. apa saja keluar dari mulutnya. Sekali dua kali, alhamdulillah Emil masih bisa tersenyum dan untuk tidak memperkeruh keadaan ia sering menghindar darinya.
Namun tuk kesekian kalinya, sungguh ibu itu sangat menjengkelkan di pagi yang masih sejuk.. Emil harus mendengar ocehan sang ibu yang membuat telinga nya panas seperti terbakar.
"Haduuuuhhhh... di sini cuma si Emil doang ya yang ga hamil-hamil.. kalah tuh sama adik-adik angkatannya yang baru bulan kemaren nikah tapi sudah pada hamil, emang mandul kali tuh kamu, makanya ga hamil-hamil.."
Tangan Emil sudah mulai gemetar, hatinya dag dig dug tak karuan.. apalagi mata.. "ya Allah pedih sekali mata ini.." Batinnya.
"Jangan ngmong gitu sih bu, sapa tau besok atau besoknya Emil bisa hamil, jangan salah-salah berharap. Allah itu maha kuasa.." Bentaknya tegas, yang mungkin kali ini sudah hilang rasa hormatnya pada ibu itu.
"Lahhhhh engga gimananya... wong emang kenyataannya kamu ga bisa hamil, ampe sekarang juga kamu masih belum hamil kan.. ??!!" Celoteh nya lagi seraya berlalu meninggalkan Emil. Sebuah pernyataan yang semakin membuatnya terpuruk, padahal ia berharap beliau bisa berkata lebih bijak dengan mengamini pernyataannya tersebut.. bukankah setiap ucapan itu doa ?? Kenapa tidak berkata yang baik-baik saja. KENYATAANNYA.. yahhh.. saat ini kenyataannya memang Emil seperti itu tapi besok tidak akan ada yang bisa menebak.
Emil tahu seharusnya itu semua sudah biasa baginya, dan seharusnya juga itu bisa menjadi cambuk spiritnya, namun.. haruskah ia selalu tertekan seperti ini..?? Apakah Harus dengan perkataan seperti itu ?? Karna Bila teringat.. yang Emil rasa hanya rasa sakit dalam dadanya, rasa tidak di hargai sebagai wanita.
"Sejujurnya Aku sadar akan segala kekurangan dan keterbatasanku ini yang mungkin hanya menjadi aib bagi suami dan keluargaku. Tapi... apakah wanita seperti Aku memang hanya pantas dihina, di cemoohkan dan di gunjingkan ?? tidak layak hadir diantara mereka, tidak pantas berada di tengah-tengah masyarakat lainnya ?? Aku juga manusia.. tolong.. jangan perlakukan aku seperti hewan yang tidak punya perasaan.. Aku mohon, hargai aku seperti mereka... meski aku belum bisa menjadi seorang ibu.." Emil terisak meratapi nasibnya yang begitu menyakitkan.
NB: Ingatlah.. lain kepala lain pula pemikirannya, kata-kata yang kadang mereka anggap itu sebuah lelucon atau fakta justru menjadi sebuah pemicu terjadinya DEPRESI yang mungkin akan memperburuk psikologis, keutuhan rumah tangga bahkan gangguan jiwa.