Chapter 31 - PAMIT

Setelah seminggu merawat sang Bunda dan sesekali mengunjungi Emil, Vio kembali ke pesantren tuk pamit sekaligus mengambil barang-barangnya. Ia sudah bertekad tuk memenuhi permintaan sahabatnya itu, meski dengan penuh keterpaksaan.

"Vii... pikirkan sekali lagi, apa Vi benar-benar yakin dengan keputusan itu.. ?? Jika memang Vi merasa terpaksa atau malah tertekan, lebih baik jangan di teruskan. Mba nda mau melihat Vi tersakiti hanya karna ingin membahagiakan orang lain.." ujar Riha di sela-sela kesibukan Vio membereskan barang-barangnya di kamar Rumah Akhwat tersebut setelah sebelumnya ia membereskan barang-barang miliknya di kamar Ayu dan Riris. Maklumlah semenjak Riha menikah Vio sering bolak-balik antara dua tempat itu hingga barang-barangnya pun ada di dua tempat tersebut.

Vio mematung sejenak, ia merasa terharu dengan ucapan Riha. Selama ini tak ada yang peduli dengan perasaannya, toh Emil, sang Bunda dan Faiz pun nyatanya tetap egois meski mereka tahu bahwa ia sangat tersakiti. Namun mana mungkin Vio harus berkata jujur pada Riha tentang itu semua, ia pun hanya bisa menahan kepedihan tersebut.

"Mba.. in sya allah Vi akan baik-baik saja, mba nda usah khawatir ya.. lagipula Vi kan masih bisa main ke sini kalau kangen sama mba.." ujar Vio seraya melanjutkan pekerjaannya lagi.

"Iya Vii Aamiin. Tapi... kenapa dulu Vi nda mau menikah dengan mas Ilham ketika mba memintanya, sekarang sama Emil.. Vi malah bersedia. Apa Vi takut jika mba nda bisa membuat Vi nyaman di antara kita.. hingga Vi lebih memilih akhwat itu ??" Celoteh Riha yang kali ini membuat Vio kembali menghentikan pekerjaannya. Deg.. seketika hatinya kembali berkecamuk.

"Ya Allah.. kenapa mba Riha malah membuat hamba semakin tertekan dan serba salah seperti ini, kenapa beliau harus mengungkit masalah itu lagi. Hamba sudah berusaha ikhlas ya robb.. meski belum sepenuhnya mampu. Namun hamba mohon, jangan tumbuhkan rasa cinta hamba lagi pada ka Faiz. Hamba tidak ingin merusak kebahagiaan mereka.." gerutunya membatin, ia pun memegangi kedua tangan Riha sedang Airmata nya sudah mulai membasahi pipi dan kemudian berkata:

"Mba... sesungguhnya mba nda butuh madu tuk memaniskan rumah tangga mba yang sudah cukup sempurna. Ibarat penerangan Vi hanya sebuah lilin.. jadi nda kan berguna di rumah mba yang sudah bersinar terang." Ujar Vio dengan penuh perumpamaan, ia tak ingin menjelaskan lebih detail lagi karna Vio yakin Riha akan mengerti dengan maksud kata-kata tersebut.

"Tapi Vii.. tinggallah dulu tuk satu bulan ini, hitung-hitung nunggu mas Ilham pulang.. kebetulan beliau sedang menyelesaikan skripsi nya, jadi kemungkinan bulan depan sudah Nda bolak balik lagi ke sana. lagi pula kandungan mba kan sudah memasuki bulan ke tujuh Vi.. kalau Vi pulang sekarang nanti mba sama siapa ??" Ujarnya memelas, Riha terlihat sedih. Vio semakin terisak, ia langsung memeluk akhwat tersebut.

"Maaf mba, Vi benar-benar nda bisa.. Umi juga di sana butuh Vi. Beliau masih sakit mba.. hiks hiks". Isaknya pilu, sedang Riha langsung mengelus kepala gadis itu dalam dekapannya.

"Ya sudah kalau begitu, nanti mba suruh Ayu sama Riris saja biar bisa temani mba.." ujar Riha dengan sangat tegar. Sesungguhnya ia juga sedih, namun karna tak ingin melihat Vio lebih kalut Riha pun hanya bisa berkata seperti itu. sementara Vio masih terisak, ia tetap memeluk tubuh Riha.

"Vii.. apa Vi nda kasian sama dede bayi mba, sepertinya dia berontak karna nda bisa nafas.." canda Riha. Vio pun buru-buru melepas pelukannya seraya tersenyum dan menyeka Airmata nya.

"Maaf mba.." ujar Vio, "dede bayi nda apa-apa kan.. maafin kak Vi ya.. !!" Ujarnya lagi sembari mengelus perut Riha, Akhwat itu pun ikut tersenyum namun ia juga menitikkan airmata. Vio kemudian melanjutkan pekerjaannya, setelah selesai ia pun menuju rumah pak Kyai tuk pamit dengan tetap didampingi Riha.

"Nak... apa nak Vi yakin ingin melakukan itu ?? Padahal kalau nak Vi bersedia, Abi berniat ingin menjodohkan nak Vi dengan putra Abi yang kebetulan satu bulan lagi Wisuda. Namanya Iman, ia satu pesantren namun beda jurusan dengan nak Ilham. Sekarang dia sudah mendapatkan gelar Dokter spesialis saraf, Memang ia jarang pulang. Sekali pulang datangnya malam, itu juga subuhnya balik lagi. Bahkan ketika nak Riha nikahan juga dia Nda bisa datang karna sedang diluar negri, Jadi memang jarang ada yang tau, mungkin termasuk nak Vi juga..

Abi nda mau mengalah lagi dengan Ayah nak Ilham yang kemarin bilang bahwa putranya yang bernama I'am ingin ta'arufan juga dengan nak Vi. Tapi ternyata Abi masih kalah cepat dengan ibundanya Vi.. yang sudah menerima lamaran istrinya nak Haris", ujar pak Kyai yang memang sudah di beritahu terlebih dahulu oleh sang Bunda. Vio lumayan terkejut dengan penjelasan pak kyai mengenai Iman, ternyata ia putranya pak Kyai. Ikhwan yang dulu pernah mengajar pesantren kilat di sekolahnya bersama Faiz, Haris dan Raffa. Namun Vio juga kaget dengan niat I'am yang berkesan konyol padahal saat itu Ikhwan tersebut hanya satu kali menyapanya, meski memang sebelum pernikahan Riha ia sering bolak-balik ke pesantren.

"NgGiihh Abi, maaf.. Vi nda bisa. keputusan Vi sudah bulat.. Tapi Vi sangat berharap Abi dan keluarga bisa datang di acara tersebut.." Tolak Vio dengan sangat lembut, ia tidak ingin ada yang merasa tersakiti dengan keputusannya itu.

"In Sya Allah nak.. Abi dan Umi akan usahakan untuk datang, meski sejujurnya Abi berharap nak Vi bisa berubah pikiran sebelum hari Ha itu terjadi.." Pak kyai mengusap kepala Vio. Sebenarnya sebagai orang tua pengganti Ayah gadis itu, Pak kyai merasa kasihan dan tak tega dengan keputusan itu karena beliau yakin Almarhum juga pasti tidak akan semudah itu menerimanya.

Namun jika melihat dari sisi sang Bunda, sepertinya wanita itu baik-baik saja. Mungkin karena sesama wanita, hingga ia turut merasakan penderitaan Emil karena kebanyakan wanita itu memang rela disakiti demi membahagiakan orang yang disayanginya.

Vio hanya mengangguk, ia pun buru-buru pamit dan keluar menghampiri mang Ujang yang sudah cukup lama menunggunya. Riha kembali memeluk Vio, ia terlihat tak rela melihat gadis itu pergi Namun dengan sangat berat hati ia melepas pelukan Akhwat tersebut.

"Maaf ya mba jika selama Vi tinggal di sini Vi banyak salah, Vi minta ikhlas dan Ridhonya". Ia hendak masuk kedalam mobil, Namun tiba-tiba teringat sesuatu gadis itu langsung berbalik badan seraya berkata;

"Oh iya satu lagi, Vi titip benda pemberian ka Faiz ya mba. Vi tinggalin di kamarnya Ayu dan Riris, Vi sudah nda bisa menyimpan benda itu lagi. Biarkan saja ia jadi penghuni pesantren ini", ucapnya lagi dan kemudian masuk kedalam mobil, Riha pun hanya bisa mengangguk seraya melambaikan tangan tanpa curiga sedikitpun.

Setelah mobil Vio berlalu Riha kembali ke rumahnya, ia kemudian menyuruh Riris dan Ayu tuk menemaninya. Keduanya kemudian membereskan kamar yang sebelumnya di tempati Vio, Namun tanpa di sengaja Riris menemukan sebuah buku di bawah tempat tidur tersebut, sebuah buku catatan milik Vio yang kemarin terjatuh saat ia sembunyikan dari Riha. Mungkin karna buru-buru Vio jadi lupa mengambil bukunya, Riris pun langsung memberikan buku itu pada Riha tanpa ia buka sama sekali.

"Ustadzah.. ini Ana menemukan sebuah buku catatan di bawah tempat tidur, sepertinya itu milik Vi". Ujarnya hati-hati.