Sepeninggalnya Emil dan Haris, ibunda Vio langsung menemui sang putri di kamarnya.
"Vii, Umi mau bicara.." ucapnya seraya mengetuk pintu.
Vio pun langsung membuka pintu kamarnya dan mempersilahkan sang bunda tuk masuk.
"Vi yakin dengan keputusan itu.. ?? Nda merasa iba sedikitpun pada nak Emil ??" Wanita itu duduk di tempat tidur Vio.
"Entahlah Umi.. Vi butuh waktu tuk mempertimbangkannya, karna jujur.. Vi memang nda sanggup.." jawab Vio seakan tak ingin itu semua terjadi, wajahnya pun sudah merah padam menahan tangis.
"Ya sudah jika memang keputusan Vi seperti itu, Umi hanya bertanya. Kalo besok Vi kembali lagi ke pesantren, Umi titip salam saja ya.. pada nak Riha dan keluarga pak Kyai, bahwa Umi dan nak Emil nda bisa datang karena ada keperluan.." Ujar wanita itu seraya berlalu meninggalkan Vio. Airmata gadis itu seketika langsung mengalir di pipinya, ia tak menyangka bahwa sang Bunda akan bersikap seperti itu padanya. Mungkinkah beliau kecewa atau memang marah pada keputusan yang di ambilnya.. ?? Vio hanya bisa menyeka Airmata nya meski harus berkali kali dilakukan, karna airmata itu tak bisa berhenti selalu keluar mengiringi kepedihan hatinya.
Keesokan harinya Vio tetap berangkat ke pesantren, meski tanpa ibunda dan sahabatnya itu. Sebenarnya ia juga kecewa karna orang-orang yang di sayanginya itu seakan menghukum dirinya yang justru sudah terlalu banyak mengeluarkan airmata, Vio sudah cukup mengorbankan perasaannya tuk orang lain namun sekarang haruskah ia korbankan lagi ?? Vio masih berusaha bersikap biasa saja dan tidak begitu memperdulikan permintaan Emil tersebut, ia berharap gadis itu akan bisa melupakan kejadian kemarin seiring berjalannya waktu.
Singkat cerita...
Ketika memasuki bulan ke tiga dari batas waktu 3 bulan yang disebutkan Emil tentang permintaan mertuanya itu tiba-tiba hati Vio kembali kalut, permohonan Emil selalu berkecamuk dalam hatinya, ia teringat akan pesan sang Bunda dulu ketika pertama kali Emil memintanya tuk menjadi seorang madu di keluarganya, yang sepertinya beliau setuju dengan permintaan Emil tersebut. Vio pun kembali menitikkan airmata, Ia lebih tersiksa tatkala terbayang raut wajah Emil yang kala itu sangat memelas bahkan seperti mengemis Namun dengan sangat teganya ia membiarkan gadis itu hingga terjatuh.
"Maafkan Aku Mil... sungguh Aku Nda sanggup, meski sejujurnya aku menyayangimu tapi aku mohon jangan egois.. Aku juga ingin bahagia daripada hanya menjadi seorang madu.. hiks hiks.!!" Gadis itu berusaha menjelaskan pada Emil yang berada disebuah foto, foto dirinya bersama sang sahabat ketika sekolah dulu. Dimana saat-saat bahagia dirinya dan Emil ketika bercerita tentang masa depannya bersama Haris dan Faiz.
Meski sekarang mereka berdua harus sama-sama terluka karena laki-laki itu, Vio yang tidak bisa bersanding dengan Faiz.. sedang Emil tidak bisa hamil.
"Aku sadar Mil, saat ini tidak ada harapan bagiku untuk bisa mencintai Ka Faiz lagi.. namun apakah kamu harus Setega itu mengingatkan Aku tentangnya..?? Ya Allah harus kah Aku menerima penawaran sahabat ku itu..??" Perasaan Vio semakin kalut.
Namun yang paling membuat ia tertekan adalah waktu itu akan segera habis, lalu bagaimana nasib Emil sekarang, baik-baik sajakah ia.. ?? Atau justru lebih parah dari kekacauannya kemarin.. ?? Begitu sangat tersiksanya Vio membayangkan keadaan Emil, sedang bercerita kepada Riha sepertinya tidak mungkin hingga ia pun memutuskan tuk menulis keluh kesahnya itu di sebuah buku catatan.
Setelah hampir selesai menulis, tiba-tiba Riha mengetuk pintu kamar Vio dan langsung membukanya. Saat ini ia memang tengah berada di rumah Riha karna seperti biasa Faiz sedang tidak ada di rumah.
Vio segera menutup buku itu dan berdiri seraya mempersilahkan Riha masuk namun malang buku itu terjatuh. Karna tak ingin Riha curiga, Vio pun langsung mendorong buku itu dengan kakinya hingga masuk kedalam kolong tempat tidurnya.
"Vii.. tadi ada telpon dari Umi, katanya Vi suruh telpon balik. Di tunggu sekarang di rumah pak Kyai ya .. ??" Ujar Akhwat itu tanpa masuk ke kamar Vio, ia hanya berdiri di depan pintu oleh sebab itu ia tidak menyadari jika Vio habis menangis. Vio pun buru-buru keluar menuju rumah pak kyai, pikirannya semakin kacau dan was-was. Ia sudah mulai menebak, jangan-jangan ibundanya itu akan memberitahukan tentang keadaan Emil,
"Ada apa lagi dengan gadis itu..??" Gumamnya, namun setelah ia sampai dan kembali menelpon sang Bunda ia justru semakin sedih karna ternyata ibundanya sedang sakit dan memintanya untuk segera pulang, keesokan harinya Vio pun pulang.
Sesampainya di rumah...
"Umi... umi nda pa-pa ??" Tanya Vio tatkala dirinya masuk ke kamar sang Bunda, Beliau terlihat pucat.
"Nda pa-pa Vii, Umi baik-baik saja.. tapi sakit sahabat Vi itu lebih parah dari Umi.." jawab wanita tersebut. Vio terlihat bingung, namun tiba-tiba sang bunda bangkit dan mengajak Vio tuk berkunjung ke rumah Emil.
"Nanti saja Mi ke rumah Emil nya, Bukankah Umi juga sedang sakit..!!" Vio menolak dengan alasan kesehatan sang Bunda, namun wanita itu terus memaksanya hingga Vio pun menurut.
Sesampainya di rumah Emil, kedua wanita itu langsung mengucapkan salam dan tak lama kemudian Emil membuka pintu seraya menjawab salam tersebut.
"Wa alaikumussalam.. ehh Umi. Vii.. kamu ada di sini ?? Kapan datang ??" Ujarnya sembari memeluk sahabatnya itu dan mencium pipi kanan kirinya bergantian. Vio tercengang, sepintas Emil terlihat baik-baik saja tapi kenapa sang bunda malah memvonisnya sakit.
"Apa Umi berbohong padaku.. ??" Ucapnya dalam hati.
"Ayo masuk.." pinta Emil.
"Ka Haris.. nih ada Umi dan Vi.." ujarnya lagi, Haris pun keluar dengan wajah sayu dan tertekan ia terlihat jengkel. Emil kemudian menjamu mereka, namun tiba-tiba ia berkata:
"Duuhh maaf ya Vii, aku Nda bisa menemani kamu lama-lama.. bayiku suka rewel. Tuh sekarang juga nangis, kamu dengar kan ?? Mungkin mau minta Asi lagi. Bentar ya.. dia emang Nda bisa jauh-jauh dari Umi nya.. hehe !!" Emil pun berlalu dan masuk ke kamarnya. Kali ini Vio terkejut..
"Bayi ??" Serunya. Namun sang Bunda malah memegangi tangannya, sedang Haris tertunduk dan menitikkan airmata.
"Iya nak, sepertinya nak Emil sedang mengalami depresi berat hingga berhalusinasi seperti itu.." ujar sang Bunda, beliau pun terisak.
"Benar Vi... sudah beberapa hari ini Emil bertingkah Aneh..!!" Haris ikut menjelaskan, ia kemudian menceritakan semuanya. Ternyata baru kemarin Emil bersikap seperti itu ketika sebelumnya ia sempat shock karna sang mertua telah menghembuskan nafas terakhirnya sebelum batas waktu yang beliau berikan itu berakhir. Namun seminggu setelah wafatnya beliau Emil masih bersikap baik-baik saja, malah terlihat lebih tabah walau memang sering terlihat melamun. Apalagi jika melihat anak kecil atau ada wanita hamil, ia tak berkedip sedikitpun sedang airmata nya terus berlinang.
"Namun kemarin mungkin ada suatu hal yang ia lihat, hingga depresi nya semakin memuncak dan berakibat fatal seperti ini.. Maaf Vi.. Kak Haris Nda bisa menjaga sahabat mu itu dengan baik..!!" Laki-laki itu terlihat prustasi.
Mendengar penjelasan tersebut, Vio ikut menangis. Ia terharu bahkan turut merasakan apa yang di alami sahabatnya itu. Ia tak pernah menyangka bahwa keadaan Emil akan separah itu. Namun ia masih tetap berharap bahwa Depresi sahabatnya itu masih bisa disembuhkan, ia akan merasa bersalah seumur hidupnya jika sesuatu yang tidak mereka inginkan terjadi pada Emil. Karena bagaimanapun juga Vio turut andil dalam kesakitan Gadis itu, yang mana ia telah menolak harapan Emil yang ingin Vio bisa menyelamatkan kehidupan rumah tangganya.