Semenjak peristiwa itu keduanya semakin dekat, Vio sudah menganggap Riha seperti kakak kandungnya sendiri yang mana selama ini ia memang tidak pernah merasakan bagaimana indahnya mempunyai saudara. Maklum Vio adalah anak Tunggal, yang kala itu kehadirannya sangat dinantikan sang bunda karna beliau baru bisa hamil ketika usianya hampir 40 tahun. Hingga sang Ayah memberikan sebuah nama Violet, salah satu warna terindah dari berbagai warna yang membentuk Cassanova dilangit yang hanya akan muncul pada waktu dan tempat tertentu Yang Merupakan fenomena langka, berbeda dengan munculnya pelangi. Begitu juga dengan kehadiran Vio, karna sampai ia remaja ibundanya tak kunjung hamil lagi.
Perasaan yang sama dirasakan pula oleh Riha karna ia seorang yatim piatu, ia sudah menempatkan Vio sebagai bagian dari hidupnya sendiri. Sikap keibuan yang selalu Riha hadirkan membuat Vio benar-benar merasa nyaman, ada saat di mana Riha bisa menjadi sosok sebagai kakak, teman, ibu bahkan Ayah sekalipun. Maklumlah, keadaan masa kecilnya yang menciptakan karakter Riha seperti itu, bahkan kadang ia harus bersikap lebih dewasa dari usianya.
Hari-hari yang terlewati sungguh membuat keduanya tak ingin di pisahkan, apalagi saat itu atas izin pak kyai Vio di diperbolehkan tinggal bersama Riha hingga tak terasa sudah satu tahun Vio belajar di pesantren tersebut.. Dari tahun inilah Vio bisa belajar arti kesabaran karna tuk pertama kalinya ia tak berlebaran dengan keluarganya, karna sang Ayah tak mengizinkannya tuk pulang. Ada perasaan kecewa yang mengusik hatinya, bahkan ia merasa tak terima dengan keputusan tersebut namun Riha lagi-lagi semakin menguatkan hati gadis itu hingga membuat Vio terharu dan meneteskan airmata.
Seperti tahun-tahun sebelumnya setiap hari raya tiba Riha tak pernah absen berkunjung ke makam kedua orang tuanya, namun kali ini ia mengajak Vio tuk ikut serta bersamanya. Gadis itu pun tak menolak ajakan Riha dan keduanya langsung menuju ke pemakaman umum yang lumayan jauh dari pesantren oleh sebab itu mereka berdua harus naik angkutan umum. Sesampainya di makam yang di maksud, Riha langsung duduk mengucap salam tangannya sibuk menaburkan bunga. Makam tersebut sangat bersih dan terawat Sepertinya Riha sangat sering datang ke makam itu. Vio memandangi wajah akhwat tersebut, subhanallah.. begitu tenang dan tegar tak ada sedikitpun airmata yang nampak di pipi mulusnya, sedang Vio semenjak baru datang di makam itu airmata nya sudah mulai berkaca-kaca. Ia tak bisa membayangkan jika suatu saat kedua orang tuanya yang meninggal, bisa juga kah ia seperti Akhwat shaliha itu yang begitu sangat tegar menerima cobaan meski Vio tahu hati Riha menangis dan menjerit namun sungguh kelemahan itu hanya ia luapkan kepada Allah Swt. Ketika Kunjungan itu usai dan keluar dari pemakaman tersebut, Vio pun bertanya:
"Mba... apa mba nda sedih melihat orangtua mba sudah terbaring di sana ??"
Riha menoleh, ia menghentikan langkahnya sejenak seraya menatap wajah Vio yang seakan sedih menahan tangis. Kemudian ia kembali melangkah seraya berucap:
"Kenapa harus bersedih Vi dengan yang sudah di gariskan Allah, mba yakin ini yang terbaik tuk kedua orang tua mba karna Allah sangat menyayanginya. Dan apakah mba harus menangis... ?? Buat apa Vi, karna dengan menangis pun beliau nda akan kembali, lagi pula beliau nda butuh itu tuk bisa tahu bahwa kita menyayanginya. Yang beliau harapkan itu doa kita.. doa yang bisa meringankan bebannya.." ujar Riha dengan sangat tabahnya.
"Apa itu artinya kita nda boleh menangis ketika orang tua kita meninggal mba ??" Tanya Vio lagi. Riha menatap wajah Vio lagi dan berkata:
"Sejatinya sebuah musibah itu memang membuat hati kita mengalami kesedihan, dan kesedihan itu yang mengalirkan airmata. Namun apa salahnya jika kita mampu menahan airmata itu dengan beristighfar kepada Allah.. kalau pun masih tetap mengalir itu hal yang wajar Vi, asal jangan berlebihan." Ungkapnya. Riha memegangi tangan Vio seakan menguatkan gadis tersebut karna Riha memang sangat tahu bahwa Vio hatinya masih sangat lemah hingga mudah meneteskan airmata.
Mereka berdua kemudian menuju panti asuhan, tempat dimana asal Riha tinggal dan tempat biasa ia mengajar selain di pesantren. Riha sering menghabiskan waktu bersama anak-anak panti asuhan itu, apalagi di hari raya seperti sekarang ini yang memang anak-anak itu sangat membutuhkan hiburan untuk mendukung perkembangan mental dan psikologisnya. Di tahun pertama hari raya yang ia lalui di tempat itu Vio banyak belajar arti kehidupan, bermula dari kekagumannya terhadap Riha hingga ketakjubannya pada anak-anak panti itu yang sangat polos, lugu bahkan belum mengerti apa-apa namun sangat ceria dan bergembira. Mereka tidak tahu atau mungkin memang tidak harus tahu bahwa kebanyakan dari mereka justru ditelantarkan oleh orang tuanya masing-masing. Vio melihat Riha begitu sangat menyayangi anak itu ia mengajak mereka bermain dan bercanda ria bersama layaknya pada anak sendiri, bahkan mereka tidak lagi memanggil Riha dengan sebutan Kakak atau mba melainkan Umi. Subhanallah.. lagi-lagi airmata itu mengalir di pipi Vio,
"Mba.. engkaulah jelmaan bidadari syurga bagi mereka..!!" Gumamnya dengan penuh rasa haru yg mendalam. Tiba-tiba Riha menghampiri Vio seraya menggenggam tangannya dengan erat namun tetap memandangi anak-anak itu dan berkata:
"Demi Allah Vi, mba mohon jangan sampai mereka lihat airmata itu karna mba nda akan sanggup menjelaskannya pada mereka." Vio pun buru-buru menyeka Airmata nya.
"Maaf mba.." ujarnya lirih.
Begitu sayangnya Riha pada anak-anak itu hingga ia tak ingin ada satu titik pun airmata yang mengalir di pipi mereka karna sungguh semua itu sangat membuat Riha tersiksa.
Memasuki tahun kedua, Vio sudah mulai terbiasa dengan keadaannya. Ia juga sudah mulai menunjukkan kemampuannya, hingga atas bimbingan Riha Gadis itu mampu menjadi juara di perlombaan MTQ antar pesantren meski hanya di peringkat 2 dengan menyisihkan seratus lebih Rivalnya. Namun dari tahun ke tahun itu Vio justru semakin jarang mendapat kabar dari orang tuanya, yang semula sebulan sekali dengan langsung mendengar suara sang Ayah dan Bunda meski lewat telpon, namun kali ini ia kadang hanya mendengar suara bundanya saja atau hanya Ayahnya saja sendiri.. malah kadang hanya Bi inah atau mang Ujang yang memberitahukan kabar keduanya. Sebenarnya ingin sekali Vio yang lebih dulu menghubungi beliau atau pulang sebentar melepas kangen, memberitahukan Ayahnya bahwa ia juga bisa menjadi seperti yang beliau inginkan. Ingin bercerita banyak tentang keseharian dan pengalamannya kepada sang bunda, ia juga ingin menemui Emil yang saat itu mungkin sudah berikrar bersama Haris, namun Vio tidak ingin mengecewakan Ayahnya yang sudah berpesan bahwa ia tak boleh pulang sebelum ayahnya yang menjemput.
* * *
Sementara itu di tempat Emil..
"Selamat ya mas Haris, semoga menjadi keluarga yang sakinah mawadah warahmah.." Ucap Faiz di sela-sela kesibukannya menjabat tangan Haris dan menepuk bahunya. Disusul kemudian sahabat-sahabatnya yang lain.
"Syukron Iz anta kapan nyusul..??" Goda Haris.
"Belum kepikiran mas.. masih kepingin nyelesain skripsi.." balas Faiz setengah tertawa.
"Oh ya ukhty Ana titip salam ya buat Vio, kenapa sekarang dia Nda hadir ??" lanjutnya lagi.
"Vio sudah dua tahun Nda ada di sini ka, dia dikirim Ayahnya ke pesantren. tapi Emil juga Nda tau Alamatnya dimana, karena ketika Emil main kerumahnya nda pernah ada orang." ucap Emil menjawab pertanyaan Faiz, namun ia tidak menceritakan perihal bagaimana Vio harus di kirim ke pesantren. Ada raut kegelisahan diwajah Faiz, sepertinya ia tengah berpikir sesuatu dengan keras.
Haris Ternyata menepati janji dua tahun yang lalu itu pada orang tua Emil, yakni menikahi putrinya. Meski selang dua hari kemudian sang ibu meninggal, Dan kini resmilah mereka berdua menjadi pasangan suami istri. Namun setahun setelah menikah yang berarti tiga tahun sudah Vio berada di pesantren, pernikahan Emil tersebut harus mengalami guncangan hebat. Berbagai masalah dan penderitaan Emil bermula di tahun ini, hidupnya tak lepas dari linangan air mata. Perihal keturunan dan permintaan sang mertua seakan menambah rentetan kedukaan Emil, belum lagi kelakuan si Ayah tiri yang membuat hati Emil kembali tertekan.