Chapter 14 - BERKABUNG

"... Ris.. kami pamit dulu ya.. maaf nda bisa menginap, kami mewakili seluruh santri di pesantren mengucapkan turut berbelasungkawa atas kepulangan Abi. Semoga amal ibadah beliau di terima disisi Allah Swt, dan untuk nak Vi dan anty Ris semoga selalu tabah dan di lapangkan dada untuk senantiasa bersabar.." ujar pak kyai kepada Vio dan ibundanya setibanya di rumah, beliau ikut memimpin proses pemakaman itu. Kedua wanita itu hanya mengangguk, istri pak Kyai langsung memeluk ibunda Vio. Sedang Pak kyai melanjutkan perkataannya kembali.

"Nak Vii... nda usah sedih ya, anggap saja pak kyai ini Abi Vi sendiri dan panggil saja dengan sebutan Abi Nda usah sungkan,,

Untuk saat ini Vi temani Umi dulu di sini nanti kalau suasananya sudah nda berkabung Vi harus kembali lagi ke sana ya nak.. Karna Almarhum berpesan pada pak kyai tuk menjaga dan merawat Vi, supaya Vi tetap melanjutkan belajarnya apapun yang terjadi dengan beliau, sebenarnya dua hari sebelum meninggal hampir setiap waktu Almarhum juga menanyakan keadaan Vi melalui telpon tapi beliau meminta pak kyai tuk nda memberitahukannya pada Vi, karna beliau nda ingin kosentrasi belajar Vi jadi terganggu dengan keadaannya seperti itu. Sekarang beliau sudah tenang di alam sana, tinggal kita yang masih bernafas ini yang mendoakan Almarhum.. harus banyak kirim Fatihah ya nak.." ucap pak kyai itu lagi seraya mengusap kepala Vio.

"NgGiihh Abi..." ujar Vio berusaha memenuhi pesan Almarhum Ayahnya. Pak kyai dan istrinya itu pun pamit dan pergi meninggalkan rumah Vio. Ketika Vio hendak menghantarkan bundanya ke kamar tiba-tiba terdengar suara Emil dari belakang.

"Vii... aku juga pamit ya.. !!" Ucapnya, Vio pun menoleh. Namun ia sedikit terkejut karna ternyata Emil datang ke rumahnya itu tidak sendiri,

"Ka Haris.. ??" Ucap Vio kaget. Ibunda Vio kemudian pamit, ia hendak beristirahat dan meminta Vio tuk menemani kedua sahabatnya itu.

"Maaf ka.. sedari pagi Vi nda tau kalo ternyata ada ka Haris." Laki-laki hanya mengangguk.

"Emiill.. kenapa nda bilang, kasihan kan ka Haris di tinggal-tingal terus.." ujarnya lagi merasa tak enak.

"Nda papa ko Vi.. Kakak mengerti. Oh iya, Kakak dan Emil turut berduka cita ya.. moga Vi sabar.." jawab Haris memaklumi keadaan Vio.

"NgGiihh ka.. terimakasih.." balasnya.

"Viii... yang tabah ya sayaangg !!" Isak Emil seraya memeluk Vio, gadis itu memang sangat mudah menitikkan airmata. Vio ikut hanyut dalam pelukan itu, airmata nya pun ikut mengalir.

"Maaf ya Vii.. aku nda bisa menemani kamu lama-lama, karna statusku sekarang sudah menjadi istrinya ka Haris. jadi nda bisa seperti dulu lagi, nda papa ya Vii.. sekali lagi maaf ??" Isak Emil lagi, ia melepas pelukannya.

"NgGiihh Mil, nda papa ko.." jawab Vio, ia berusaha tegar meski sejujurnya ia masih butuh gadis itu.

"Baarakallahu lakuma wabaaraka alaikuma wajama'a bainakuma fii khoir. Semoga Allah memberkahi kalian berdua, memberkahi kalian dan mengumpulkannya dalam kebaikan. Serta menjadikan kalian keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah, Aamiin.." ucapnya lagi.

"Makasiih Vii.. hiks hiks.. !!" Ujar Emil lagi seraya memeluk Vio kembali. Sepertinya ia masih belum rela meninggalkan Vio, sedang gadis itu hanya terdiam. Ingin sekali Vio mencegah kepergiannya, namun sanggupkah ia melukai hati Haris yang saat ini sudah menjadi imam gadis itu.. ?? Atau Vio memang harus melenyapkan keegoisannya untuk meminjam bahu Emil lagi. Namun tiba-tiba Haris merangkul tubuh Emil dengan sebelah tangannya saat gadis itu melepas pelukannya pada Vio dan berkata:

"Ssstt.. Udah ya sayaaang, kan masih ada besok. Kebetulan besok Kakak ada keperluan di pesantren, nanti sebelum berangkat Kakak antar Emil ke sini ya.. pulangnya Kakak jemput lagi..sekarang kakak buru-buru harus ketemu dengan pengurus pesantren.." ia pun mengecup kening istrinya tersebut. Dan Emil langsung menenggelamkan wajahnya dalam pelukan laki-laki yang sangat dicintainya itu.

Airmata Vio kembali mengalir, ia terharu melihat kebijaksanaan Haris yang cukup menjanjikan untuk kebahagiaan sahabatnya itu, ia pun yakin bahwa Emil takkan mengalami hal yang serupa dengan ibundanya yang mengalami penderitaan yang luar biasa atas sikap suaminya. Karna Vio percaya bahwa Haris adalah Ikhwan yang shalih. Apalagi sikap kebapaan yang selalu Haris tunjukkan yang memang usianya 4 tahun di atas Emil, sedang gadis itu baru berusia 20 tahun. Tiba-tiba Vio teringat akan sosok Faiz, rasa rindunya mulai menyeruak, detak jantungnya pun seakan tak beraturan. Bagaimana kabar ikhwan nan rupawan itu... masih ingatkah ia dengan Vio atau mungkin sudah menikah seperti Haris ??

"Vii... aku permisi ya, besok ke sini lagi.." ucap Emil membuyarkan khayalan Vio, gadis itu hanya mengangguk. Emil kembali memeluk Vio, pelukan untuk yang kesekian kalinya selama mereka berdiri di tempat itu hingga akhirnya kedua pasangan tersebut berlalu dari hadapannya.

Vio kemudian menemui ibundanya di kamar, ternyata beliau sudah terlelap dalam mimpinya karna mungkin dari semalam beliau belum tidur sama sekali. Ia menyelimuti tubuh rapuh itu, mengecup pipi dan keningnya. Airmata Vio kembali mengalir, entah sudah berapa banyak airmata yang keluar dari mata sembabnya di hari itu apalagi sang Bunda yang selalu menemani hari-hari kritis ayahnya hingga ajal menjemput beliau. Vio memandangi wajah rentah itu, wajah yang diselimuti kedukaan, teduh dengan usahanya tuk bisa tegar. Vio memegangi tangannya dan menciumnya dengan perasaan yang sangat memilukan, kemudian perlahan lahan melepasnya. Vio bangkit dari posisinya, ia hendak keluar namun tiba-tiba bundanya terbangun.

"Viii..." panggilnya pelan.

"NgGiihh Umi.." balas Vio.

"Vi mau berangkat sekarang ke pesantrennya.. ??" Tanya wanita itu lagi dengan wajah yang berseri seri. Vio terkejut namun ia berusaha tenang, mungkin kekhawatiran sang Bunda sudah mulai terasa tentang amanat pak kyai itu.

"Nda sekarang Umi.. kita kan masih banyak tamu.." ucap Vio berhati hati, ia tak ingin melukai perasaan wanita itu. Namun ibundanya Vio justru memegangi tangan gadis itu dan berucap:

"Nak... nda papa ko kalo mau berangkat sekarang, Umi ikhlas apalagi tadi Abi ke sini. Beliau berpesan agar Vi tetap melanjutkan pendidikannya di pesantren itu.." Vio semakin khawatir, ia cemas dengan keadaan sang Bunda, apa beliau sudah mulai berhalusinasi ??

"Vii... Umi baik-baik saja dan masih waras, Vi nda usah khawatir ya.. sebelum wafat Abi sempat koma beberapa bulan nak, Umi sudah sangat cemas sedang ketika baru di bawa ke rumah sakit itu beliau selalu berpesan tuk nda memberitahukannya pada Vi. Sepeninggal Vi tiga tahun lalu itu sungguh membuat kesehatan beliau semakin menurun, dan selalu bolak balik ke rumah sakit. Di lebaran tahun pertama tanpa Vi itu sebenarnya Abi sudah bersiap menjemput Vi, namun tiba-tiba beliau tumbang dan akhirnya harus di opname lagi. Beliau terlalu memaksakan kehendak tuk bisa bertemu dengan Vi hingga tak memperdulikan kesehatannya, namun di satu tahun terakhir ini keadaan beliau justru semakin parah. Oleh sebab itu kami jarang memberi kabar pada Vi, bahkan Umi nda sanggup menahan kepedihan itu, Umi nda sanggup berbicara dengan Vi dan akhirnya Umi meminta bi inah atau mang Ujang tuk selalu memberi kabar pada Vi. Di sadarnya beliau ketika koma dan sampai akhirnya wafat tahukah Vi apa yang Abi ceritakan pada Umi ??"

Vio menggelengkan kepalanya, namun airmata gadis itu sudah membasahi pipinya.

"Ketika sadar beliau berkata pada Umi: "Mi.. Vi belum pulang kan ?? Subhanallah, tadi Abi sedang duduk di sebuah tempat yang sangat gelap gulita, yang membuat nafas Abi sesak dan nda bisa bernafas. Namun tiba-tiba Vi datang membawa sebuah lentera hingga menerangi tempat itu, ia mencium pipi Abi dan berkata "selamat tinggal Abi, selama nafas ini masih berhembus in sya allah doa Vi nda kan terputus tuk Abi." Vi kemudian pergi meninggalkan Abi, ia nda menjawab ketika Abi memanggilnya hingga sadarlah Abi dari koma ini.." hiks hiks.." ungkap wanita itu hingga tak kuasa menahan tangis, begitu juga dengan Vio ia teringat akan mimpinya dulu yang mungkin kala itu sang Ayah sedang koma. Ia sangat terharu mendengar cerita sang Bunda, apalagi ucapan Ayahnya setelah sadar dari koma ternyata hampir sama dengan ucapannya pada sang Ayah ketika Almarhum akan di sholati.

"Setelah sadar dari koma beliau selalu menelpon pak Kyai tuk menanyakan kabar Vi, namun Abi meminta pak Kyai tuk menyembunyikan keadaan Abi. Hingga dua hari berturut turut, mungkin sebelumnya Abi belum ikhlas meninggalkan Vi, namun peristiwa koma yang beliau alami itu ternyata mampu mengikhlaskan hatinya karna beliau yakin akan keputusannya itu yang meminta Vi tuk mesantren dan akhirnya memang itu terbukti. Bahkan Umi tadi bermimpi beliau berpesan bahwa Umi harus ikhlaskan Vi tuk berjuang di jalan Allah.." ungkapnya lagi. Subhanallah.. Vio semakin terharu, ia langsung memeluk wanita itu