"Istighfar Mil... kamu harus ikhlas, semuanya sudah kehendak Allah." Ujar Vio berusaha membuat Emil tenang.
"Nda Vi.. ini bukan tentang ibuku, jika tuk itu in sya allah aku ikhlas. tapi.. ini tentang pernikahan ku..??", ujarnya seraya berlinang air mata.
"Apa maksud mu Mil.. bukankah semuanya terlihat baik-baik aja, bahkan sepertinya ka Haris sangat menyayangi mu ??" Tanya Vio terkejut.
Emil menyeka Airmata nya dan memegangi tangan Vio:
"Viii... apakah aku berdosa di usia pernikahan ku yang baru satu tahun ini Nda bisa tumbuhkan janin di rahim ku, bukankah itu kehendak Allah ?? Tapi Kenapa kebanyakan dari mereka justru sudah memvonisku mandul Vi, termasuk ibunda ka Haris sendiri. Salahkah dengan keadaanku yang sekarang, dan apakah benar aku memang Nda pantas tuk ka Haris..??" Keluh Emil berusaha menahan tangis.
"Nda ada yang salah Mil, bukannya 'Nda bisa' tapi 'belum'.. bersabarlah. Allah pasti sudah merencanakan yang terindah tukmu.." ujar Vio,
"Aku sudah berusaha Vi, meski ku Nda setegar siti Sarah namun ku tetap mencoba tuk bersabar. Sungguh aku tertekan, bahkan ejekan mereka seakan ikut membenarkan betapa sepinya rumahku tanpa tangisan seorang bayi. Aku kesepian Vi, di saat aku di rumah seorang diri hanya lembaran-lembaran kedukaan yang harus aku rasakan. Aku punya siapa lagi selain ka Haris, sedang ia Nda setiap waktu ada bersamaku.." Suara Emil tertahan sejenak, ia berusaha mengatur nafas.
"Semula aku Nda terlalu mengkhawatirkan dengan kondisi pernikahan ku seperti ini, karna niat kami hanya tuk beribadah lillahi ta'ala Bahkan ka Haris pun Nda menuntut ku tuk bisa sesempurna itu. Namun aku Nda menyangka jika konflik itu justru bermula dari ketidaksuburan ku memberikan momongan. Aku sayang pada Ka Haris Vi, terlebih lagi pada kepada kedua orangtuanya meski perkataan beliau sangat menyanyat hatiku", imbuhnya lagi, Tangis Emil kembali pecah. Ia menangis dalam pelukan Vio, sepertinya ia sudah tak sanggup berkata lagi.
Vio hanya bisa menepuk bahu gadis itu, ketika ia ingin Angkat bicara Emil malah melepas pelukannya dan kembali berkata:
"Orang tua ka Haris Vi... orang tua Ka Haris, beliau membujuk Ka Haris untuk berta'addud karna beliau percaya bahwa jika dengan wanita lain Ka Haris pasti bisa punya anak.." Vio sontak terkejut, ia tak menyangka jika masalahnya harus serumit itu. Mata Vio ikut berkaca-kaca, ia tak bisa membayangkan bagaimana hancurnya perasaan Emil jika semua itu harus terjadi.
"Lantas bagaimana sikap Ka Haris tentang permintaan itu... ??" Tanya Vio menyembunyikan kekhawatirannya.
"Ka Haris menolak, ia bilang Nda ingin menyakitiku Vi.. Sungguh sebuah pernyataan yang semakin membuat aku merasa bersalah. Aku semakin menyadari bahwa ia memang terlalu baik tukku. Bahkan wajar jika ibundanya menganggap ku Nda pantas tuk putranya, tapi aku menyayanginya Vi.. aku mencintainya. Aku takut Nda bisa memberikannya keturunan, tapi aku juga Nda ingin di tinggalkan. Aku harus bagaimana Vi.. katakan aku harus bagaimana ?? Hiks hiks.." keluh Emil lagi, gadis itu terlihat sangat terpukul.
Vio menitikkan air matanya lagi, ia turut merasakan betapa tersiksanya Emil menghadapi itu semua seorang diri. Sedang Vio yakin bahwa Emil tidak akan pernah mengungkapkan kesedihannya tersebut pada sang suami, Vio kembali menyeka Airmata Emil dan memegangi kedua tangannya seraya berkata:
"Mil... yang sabar ya, pasrahkan semuanya pada Allah, karna aku yakin rencanaNYA yang terindah. Lagi pula pernikahan mu kan baru setahun, masih banyak harapan asal kamu terus berikhtiar, berdoa dan bertawakal In Sya Allah akan indah pada waktuNYA.."
"Jika selama *waktu* itu aku masih belum bisa.. apa kamu mau jadi maduku Vi.. ?? Karna ku yakin atas permintaan ku ka Haris pasti mau menikahimu." Tanya Emil tiba-tiba, ia seperti melihat mata air ditengah Gurun yang tandus dan gersang. Vio terkejut, ia buru-buru melepaskan tangan Emil dan berpaling darinya.
"Kenapa Vi... Bukankah dulu kamu pernah berkata begitu.. 'bersama ku kamu rela berbagi suami'.. apa sekarang kata-kata itu sudah Nda berarti lagi ??" Tanya Emil seakan lebih egois. Vio masih terdiam, ia tak sanggup menatap wajah sahabatnya itu. Wajah sayu yang penuh ketertekanan yang berharap besar pada kesediaannya untuk menjadi madu. Madu yang bisa menyelamatkan pernikahan sahabatnya itu dengan sang suami.
Emil melirik jam dinding, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 12:30 yang berarti sebentar lagi Haris akan datang menjemputnya.
"Nda apa Vi, aku cukup mengerti bahkan aku sadar akan permintaan ku yang mungkin sangat mengusik kenyamanan mu.. maaf aku sudah lancang, aku lupa jika ternyata kamu pun punya impian bersama ka Faiz. Aku hanya sahabat mu yang Nda berhak menentukan jodoh tuk mu, aku juga hanya seorang istri yang mungkin jika suamiku sudah jenuh dengan takdir ku aku harus siap pergi dari hidupnya.." ujar Emil seraya bangkit dari posisinya dengan airmata yang kembali berderai.
"Bukan begitu maksudku Mil... aku hanya.."
"Sudahlah Vi, Nda perlu menjelaskan apa-apa. Aku pamit.. Assalamualaikum !!" Ucap Emil menyela perkataan Vio, ia buru-buru pergi meninggalkan gadis itu tanpa pamit kepada ibunda Vio.
"Ya Allah Mil.. aku harus bagaimana.." gerutu Vio seraya meranangkup wajahnya dengan kedua tangan.
* * *
"Gimana tadi sayang .. ?? Vio besok jadi berangkat ??" tanya Haris di tengah perjalanan menuju rumahnya.
"Hu,um.. " jawab Emil malas.
"Oh iya... kakak kemaren lupa menyampaikan salam Faiz untuk Vio, apa Emil udah bilang ke Vio ??" Tanya Haris lagi.
Emil menggelengkan kepalanya yang secara tidak langsung menyatakan bahwa ia belum menyampaikan salam tersebut.
"Emil kenapa.. capek ??" Haris kembali bertanya ia mengusap usap kepala sang istri.
Gadis itu hanya terdiam, ia memalingkan mukanya dari sang suami.
"Kita mampir ke mesjid terdekat dulu ya sayang... sekalian nanti cari makan siang." Ujar Haris lagi, meski ia sadar bahwa Emil sedang tak ingin merespon perkataannya.
Sesampainya di tempat tujuan Keduanya langsung bergegas masuk ke dalam.
Haris keluar dari mesjid terlebih dahulu, ia kemudian mengangkat panggilan yang ternyata sudah beberapa kali berdering di handphonenya.
"Assalamualaikum pak...
iya..
kenapa ??
sekarang.. ??
Nda bisa pak..
Haris mohon..
mengertilah dengan keadaan sekarang..
Bukan begitu pak...
Masyaa Allah..."
Entah apa yang di bicarakan Ayah dan anak itu namun yang pasti Haris terlihat shock dan tertekan.
"Emil berhak atas Haris pak..
iya Haris ngerti, tapi Nda begitu juga caranya..
kami berdua baik-baik saja..
Beri kami waktu....
Wa alaikumussalam.."
Haris memegangi kepalanya yang serasa berat, ia kemudian berbalik dan tak sengaja melihat Emil yang ternyata sudah ada didepannya. Wajah Haris langsung pucat Pasih, ia bingung harus berkata apa.
"Udah dari tadi..??" ucapnya memecah kecanggungan. Sedang Emil hanya menganggukkan kepala.
Suasana dalam mobil terasa hening, keduanya saling terdiam.. Haris sibuk dengan pikirannya sendiri yang sangat mengkhawatirkan keadaan Emil yang mungkin saat ini sedang salah paham, namun harus ditambah pula dengan persoalannya tadi di telpon. Ia bingung harus mulai dari mana untuk bisa menjelaskan semua itu.
"Gimana kalo kakak... menikah lagi dengan Vi...??" Tanya Emil tiba-tiba.
"Astaghfirullah Al Adziim.." Haris membanting setir kekiri, ia langsung menginjak rem secara spontan karna terkejut dengan perkataan sang istri. Hingga keduanya hampir terpental membentur kaca depan jika saja tidak memakai sabuk pengaman.
"WOOYYY... MAU M*TI APA...!!!" Teriak salah seorang pengendara motor di belakang Haris, ia berlalu seraya memukul kaca pintu depan mobil Haris.
Emil terlihat shock, kepalanya menunduk sedang tangannya gemetar memegangi seatbelt Ia tak berani menatap wajah sang suami. Sementara muka Haris terlihat merah padam menahan Amarah, kedua tangannya masih memegangi setir dan bergetar hebat. Terlihat jelas ia juga mengalami shock, Namun pandangan matanya tetap lurus ke depan.
Haris kemudian mengatur nafasnya perlahan, memejamkan mata seraya melafalkan sesuatu berulang kali. Ketika sudah merasa tenang ia kemudian memegangi dadanya dan menoleh ke arah sang istri.
"Emil Nda papa..?? maaf tadi kakak refleks karna menghindari sesuatu.. apa ada yang luka..??" Tanyanya khawatir seraya mengelus kepala Emil. Ia bersikap seolah Emil tidak pernah mengatakan apa-apa. Gadis itu langsung mengangkat kepala dan menatap sang suami, ia terkejut karna ia pikir Haris akan Marah dengan ucapannya tadi.
"Kita lanjutin lagi ya perjalanannya, kakak janji kali ini akan lebih hati-hati." ucapnya lagi menggenggam tangan Emil dan menciumnya.