Chapter 17 - SALING MENGUATKAN

Sebenarnya Kejadian hari ini sungguh membuat Hati Emil tersiksa, Ia tengah merasa bersalah pada Vio karna sudah lancang memintanya menjadi madu. Namun ia harus kembali diingatkan pada keinginan Ayah dan bunda Haris disaat pernikahan sang Adik dulu, tatkala ia tak sengaja mendengar percakapan Haris ditelepon yang mungkin saat itu orang tuanya kembali mengingatkannya untuk berta'addud. Hingga ia memberanikan diri menawarkan Haris untuk menikahi sahabatnya tersebut.

Semula Emil mencoba bersikap biasa saja kepada Haris, ia tidak ingin sang suami tahu bahwa betapa terpukulnya ia atas permintaan kedua orang tuanya tersebut, Emil kecewa.. ia juga merasa terhina di depan keluarganya. Namun apalah daya sebuah kenyataan yang menyakitkan harus bisa ia telan, mungkin ini salah satu ujian kesetiaannya kepada sang suami dalam bahtera hidup menuju jannah dan ridhoNYA. Tapi Emil hanya wanita biasa.. ia rapuh dan tak berdaya.

"Haruskah ku bertahan pada keadaan ya Robb.. ?? Sedang kedua orang tua Ka Haris Nda sedikit pun menganggap ku ada.." batinnya. Bahkan kali ini Emil teringat akan pernyataan dokter yang hanya bisa berkata, "Mungkin sudah dari sononya". Sebuah pernyataan yang semakin membuatnya down dan menyerah, namun Emil sadar.. Allah pasti menyayanginya hingga memberikan cobaan seindah ini dan ia percaya jika Allah sudah berkehendak semuanya akan menjadi lebih indah.. inilah alasan terbesarnya tuk tetap bertahan dan tak menyerah pada waktu.

Kalo pun jika memang suatu saat, ia harus kembali keribaanNYA sebelum ia mampu mewujudkan penantian itu Emil yakin Allah pasti menggantinya di akhirat kelak.

Setibanya di rumah, Emil merasakan ketegangan itu masih nampak di raut wajah Haris. Mungkin ia pun begitu tertekan dengan sikap sang istri dan juga pilihan yang di tawarkan kedua orang tuanya, meski Emil tahu Haris sangat berusaha membuatnya nyaman dan tak ingin melihatnya bersedih dengan semua keadaan ini. Haris sangat memanjakannya, ia tidak pernah marah apalagi membentaknya sekalipun gadis itu berbuat salah seperti hari ini. Haris begitu sabar dan menyayanginya, sungguh semua itu justru semakin membuat Emil merasa bersalah. Ia tak tega dengan keadaan sang suami saat ini.

"Ambillah keputusan yang lebih membutuhkan kebahagiaan itu ka, yang lebih membuat Ka Haris bahagia, orang yang lebih mulia karna doanya mampu di ijabah Allah.." bujuknya mencoba mengendurkan otot kaku sang suami dengan memijat kakinya. Spontan Haris langsung menatap wajah Emil, ia terlihat bingung dan gelisah namun berusaha menyembunyikannya. Ia pun buru-buru bangkit seraya berkata:

"Kakak mau mandi dulu, cuacanya lumayan panas..", sangkalnya menghindari Emil.

"Kita Nda harus bercerai kan Ka.. Kakak hanya cukup minta izin pada Emil secara baik-baik.. !!??" Imbuh gadis itu seakan mengulang perkataan Ayah Haris dulu, tak terasa airmata sudah mengalir begitu saja di wajah cantiknya. Langkah Haris terhenti, ia terkejut bahkan nyaris tak percaya bahwa ternyata Emil sudah tahu semuanya. Ia pun kembali menghampiri sang istri tanpa mengeluarkan sepatah kata pun..

Emil tertunduk karna airmata tak mampu ia tahan, seperti berontak tuk mencari jalannya sendiri. Ia mengalir deras di pipi sayu Emil dan berhenti di hijabnya.

"Maafkan Emil ka, jika selama satu tahun ini Emil belum bisa membahagiakan ka Haris.. bahkan keluarga Kakak sendiri. Mungkin Emil bukan istri yang tepat tuk Ka Haris, turutilah keinginan keluarga Ka Haris. Siapa tahu dengan wanita lain ka Haris akan lebih cepat mendapatkan momongan, jangan buang masa muda Kakak bersama istri yang sama sekali Nda mampu memberikan Ka Haris titipan dan amanah dari Allah.. ka Haris Nda usah khawatir karna Emil Nda akan pernah meninggalkan Kakak, kecuali jika Ka Haris sendiri yang meminta." isak Emil lagi berusaha meyakinkan Haris tuk mampu mengambil keputusan itu, meski sejujurnya ia tak kuasa menahan perih.

"Ya Allah.. ikhlas kah hatiku berkata begitu, sedang rasa takut, khawatir dan tak rela itu masih bergelayut di relungku." Batin Emil bergemuruh. Emil memegangi tangan sang suami dengan begitu erat, seakan tak ingin Haris pergi meninggalkannya.

Sementara laki-laki tersebut masih terdiam, ia belum mampu tuk berucap. Kembang kempis nafasnya sangat terasa di tubuh Emil karna jarak keduanya yang memang sangat dekat, begitu berat dan sesak. Cukup lama pasangan suami istri itu saling terdiam, namun tiba-tiba Haris berkata:

"Kakak Nda akan setega itu mil.. Kakak ingin membahagiakan orang tua Kakak namun tanpa menyakiti Emil, bersabarlah.. karna Kakak yakin Allah pasti memberikan jalan yang terbaik tuk kita.. tanpa adanya orang ketiga." Hiburnya seraya mengusap airmata sang istri dan mengecup keningnya, ia pun berlalu dari hadapan Emil menuju kamar mandi. Tangis gadis itu kembali pecah, ia menangis dengan penuh rasa bersalah.

"Ya Robb.. ia lah imamku, imam seiman dan setaqwaku.. panutan aku tuk menuju jannahMU.. ia berusaha tegar di hadapan ku dan berhasil menyembunyikan kegundahan hatinya, meski aku tahu di dalam sana airmata itu pasti mengalir di sela-sela guyuran air yang membasahi wajahnya. Ia lah suamiku, persatukan kami ya Allah di akhirat kelak.." Rintih Emil ditengah tangisnya yang memilukan.

Disisi lain...

Sepeninggalnya Emil, Vio masih termenung di tempat itu. Pikirannya kacau dan gelisah bahkan ia ikut tertekan dengan masalah yang tengah di hadapi sahabatnya itu, kenapa Emil seakan egois melibatkan Vio dalam kemelut rumah tangganya sendiri. Putus asakah ia dengan keadaan yang terjadi tanpa memikirkan bagaimana perasaan Vio saat ini atau perasaan cinta Vio pada Faiz, kenapa Emil harus setega itu mengingatkan perkataan Vio dulu tentang berbagi suami yang saat ini justru menjadi belenggu tuk Vio sendiri. Sekejam itu kah Emil, hingga permintaannya sungguh sangat melukai perasaan Vio. Namun gadis itu justru sama sekali tak menyalahkan Emil, ia sangat mengerti bahkan memahami. Mungkin jika Vio yang berada di posisi Emil, ia pun akan melakukan hal yang sama. Bagaimana tidak.. Emil adalah sahabatnya, sahabat suka duka yang sudah pasti tahu kepribadian masing-masing, sudah tahu kelebihan kekurangannya dan sudah pasti akan lebih harmonis. Lagi pula Vio pernah berkata seperti itu kepada Emil hingga ia berani menagihnya. Tapi jika bersama orang lain.. mampukah Emil berbagi ?? Mungkin ia bisa, tapi bagaimana dengan madunya.. ?? Bisa jugakah ia seperti Emil.. ?? Atau jangan-jangan madunya itu akan menguasai suaminya dan menelantarkan Emil karna di anggap tak berguna dan mandul.

"Astagfirullah Al 'Adziim.." gumam Vio, membayangkan Emil seperti itu justru membuat Vio semakin sakit. Lebih menyakitkan dari bayangannya menjadi madu sahabatnya sendiri, haruskah Vio penuhi permintaan Emil.. ?? namun bagaimana rasa cintanya pada Faiz ?? Meski tak ada titik penjelasan tentang hubungannya itu, nyatanya doa Vio masih terhembus indah tuk ikhwan nan rupawan itu. Hati Vio semakin sesak, ia bingung harus berbuat apa sedang Airmata terus membanjiri pipinya.

"Vii.. mana nak Emil ??" Tanya sang Bunda tiba-tiba, Vio pun terkejut ia buru-buru mengusap airmatanya.

"Vii.. kenapa, teringat Abi ya sayang.. ?" Tanyanya lagi, namun Vio langsung memeluk tubuh wanita itu,

"Emil.. Umi, hiks hiks". Isaknya,

"Ada apa dengan nak Emil..??" Tanya bundanya lagi tuk yang ketiga kalinya, beliau masih terlihat bingung. perlahan lahan Vio pun menceritakan semua keluh kesahnya tentang Emil kepada sang bunda.

"Sayaangg... mungkin saat ini nak Emil pikirannya sedang kacau, ia kalut hingga bisa berkata seperti itu pada Vi. Mungkin seiring berjalannya waktu semuanya pasti akan baik-baik saja, siapa tahu atas kehendak Allah besok, lusa atau bulan depan ia bisa hamil. Hati nak Emil sepertinya sedang sensitif, hingga mudah rapuh dan mengaitkan hal itu terlalu berlebihan. Padahal sebenarnya ia masih bisa menahan ketakutannya, apalagi baru satu tahun menikah. Dan kalo pun memang ia serius meminta itu pada Vi, pasrahkan saja semuanya pada yang Maha Kuasa. Jika gusti Allah memang sudah menghendaki, apapun itu pasti yang terbaik tuk Vi dan Allah akan memberikan jalanNYA meski dengan cara yang mustahil sekalipun." Ungkap sang bunda mencoba meredam ketertekanan putrinya.

Mendengar penjelasan ibundanya saat ini Vio bisa menyimpulkan bahwa sang bunda sepertinya tidak berkeberatan jika suatu saat dirinya menjadi madu sahabatnya sendiri. Sejujurnya dia merasa sedikit kecewa, namun jika Allah sudah berkehendak memang semuanya itu tidak ada yang tidak mungkin.