Chapter 18 - MOVE ON

"Jika Allah memberikan tanda-tandaNYA bahwa Vi memang harus menjadi madunya Emil yang berarti Vi bisa disebut sebagai p*lak*r, apa Umi nda kecewa ??" Tanya Vio, mengejutkan wanita itu. Beliau terdiam dan menghela nafas panjang,

"Jika itu memang sudah kehendak Allah.. Umi harus bisa terima, karna pada dasarnya begitulah takdir sebagian wanita. Menjadi madu atau justru di madu, sejujurnya itu mulia apabila sang suami tidak menyembunyikan pernikahan keduanya dengan istri pertama dan juga bisa bertindak adil. Begitu juga dengan Vi yang meniatkan itu semata mata hanya tuk ibadah, bahkan tujuan Vi ingin memberikan cahaya pada pernikahannya. Jika Vi nda bisa jadi lentera tuk mereka, setidaknya jadilah lilin di antara keduanya." Jawab Sang bunda dengan begitu sangat bijaknya.

Sudah ia duga sang Bunda pasti akan memberikan jawaban kurang lebih seperti itu, tapi setidaknya Vio bisa sedikit menerima dengan pendapat ibundanya bila dilihat dari sudut pandang seorang ibu yang pasti akan lebih matang dalam perencanaan hidup karna hal ini menyangkut tentang kemanusiaan, yakni membantu menghasilkan generasi keturunan.

"NgGiihh Umi, tapi jujur tuk saat ini hati Vi nda menginginkan itu. Meski Vi merasa iba bahkan turut merasakan kesedihan Emil, namun Vi masih berharap bahtera rumah tangga Vi lebih indah dari hanya sekedar menjadi madu. Vi masih mengharapkan berjodoh dengan ka Faiz, doa yang senantiasa selalu Vi semogakan dari dulu. Vi mencintainya Umi, Vi sangat mengharapkannya. Apa Vi salah berharap seperti itu ??" Rengek Vio pada wanita itu,

"Faiz.. ?? Faiz siapa.. ?? apa dia teman Vi di pesantren ??" Vio tersentak kaget, Ia lupa karna sedari dulu ia tidak pernah menceritakan Laki-laki tersebut dengan ibundanya. Vio hanya menunduk, ia masih belum siap untuk memberitahukannya pada sang Bunda.

"Ya sudah jika Vi Nda mau cerita.. sekarang Vi sholat.. tenangkan pikiran Vi dulu tuk saat ini ya sayangg, besok kan harus berangkat. Kita pasrahkan saja semuanya pada Gusti Allah pasti kita akan menemukan jawabannya, biar waktu yang menentukan. Tugas Vi tuk saat ini, belajar yang tekun supaya bisa menjadi apa yang Umi dan almarhum Abi inginkan." Ujar bunda Vio seraya menyeka Airmata sang putri. Gadis itu hanya mengangguk, ia terlihat sudah mulai tenang dibandingkan sebelum datangnya sang bunda.

Keesokan harinya..

"Vi pamit ya umi..." Seraya mencium dan memeluk sang Bunda.

"Umi yakin akan baik-baik saja tanpa Vi.. ??" ucapnya lagi khawatir.

"Sayang... jangan mulai... kita semua sudah sepakat untuk hal ini, jadi Umi mohon jangan bahas itu lagi." ujar sang bunda tanpa melepaskan pelukan sang putri.

"Ok.. ok... Vi minta maaf... Vi hanya merasa sedikit khawatir saja karena harus ninggalin Umi di rumah sendiri." Ucap Vio dengan manja, ia mulai melepaskan pelukan ibundanya.

"Kita bertiga ko.. ada Bi Inah dan mang Ujang juga.. nanti Umi sering-sering nyuruh anaknya Bi Inah main kesini, biar Umi Nda kesepian." Sang bunda berusaha menguatkan Vio.

"Dengerin tuh Bi Inah, janji ya jangan bikin Umi ngerasa kesepian.. mang Ujang juga.." Ancam Vio kepada Asisten dan supir keluarganya tersebut.

"Siap neng... In syaa Allah !!" jawab si bibi.

Vio langsung masuk kedalam mobil, ia tak ingin terlalu lama berpamitan dengan sang bunda karna Vio takut justru dia sendiri yang akan berubah pikiran.

Di sepanjang perjalanan, Vio justru teringat akan permintaan Emil yang kemarin.. Ia merasa tak enak hati karna sudah menolaknya. Namun Bagaimana pun juga ia hanya manusia biasa, sepelik apapun keadaan Emil sekarang ini ia masih tak ingin menuruti permintaan konyol sahabatnya tersebut Vio hanya bisa mendoakan yang terbaik tuknya. Mendoakan Emil agar bisa mendapat kebahagiaan di keluarga kecilnya tanpa adanya seorang madu, Vio benar-benar berharap keluarga Emil bisa menjadi seperti yang dari dulu gadis itu impikan.

4 jam kemudian...

Sesampainya di pesantren.

"Viii..." Teriak Riha tatkala Vio keluar dari mobil, akhwat itu sengaja menunggu Vio di pintu gerbang pesantren.

"Assalamualaikum mba.. Vi kangen..!" Vio langsung di sambut pelukan hangat Riha, keduanya saling melepas kangen.

"Wa aIaikumussalam...sama Vi mba juga kangen, mba minta maaf karna Nda bisa hadir dan menemani Vi di saat Vi berduka..." balasnya seraya melepaskan pelukan.

Sebenarnya saat itu Riha sudah tahu bahwa Ayah Vio meninggal dunia karna pak kyai sudah memberitahukannya terlebih dahulu sebelum Vio mengetahuinya yang memang saat itu sudah di kabarkan sang bunda satu jam sebelum Acara malam Jumat itu di mulai. Namun karna tak ingin membuat Vio histeris, Akhwat itu pun lebih memilih diam.

"Nda papa ko mba, Vi ngerti... mba kan Ummi sejuta Umat..'' Canda Vio. Keduanya langsung menuju rumah pak kyai.

Setelah menemui pak kyai, Vio kembali berbincang dengan Riha.. keduanya saling mengumbar Canda. Ada banyak hal yang Vio ceritakan, tentang Almarhum, tentang komanya, keadaan sang Bunda bahkan tentang permintaan Emil yang berkesan konyol itu. Namun Vio sangat tertegun karna respon Riha ternyata menyerupai nasehat ibundanya, ia pun semakin memasrahkan semuanya pada sang khalik.

Satu tahun kemudian..

"Vi.. gantiin mba ngajar di kelas bahasa Arab junior ya.. soalnya hari ini mba ada keperluan di panti." Suara Riha terdengar di ruang tengah, sepertinya Akhwat itu sedang terburu-buru.

"NgGiihh mba... hati-hati, nanti Vi ke sana". Sementara suara Vio masih terdengar dari dalam kamar. Setelah mengucapkan salam pada Vio, Riha langsung keluar rumah.

Kini hari-hari Vio dalam mengikuti kegiatan di pesantren itu seakan lebih mudah dari tiga tahun sebelumnya, ia menunjukkan perkembangan yang sangat pesat hingga satu tahun sekembalinya ia di pesantren itu membuat Riha dan pak Kyai terkagum dengan perubahan Vio tersebut. Bahkan atas persetujuan pak kyai, Vio sering di minta Riha tuk mengajar santri junior, atau ikut mengajar di panti asuhan bahkan menggantikan Riha sementara di pesantren, namun tentu saja masih di bawah pengawasan akhwat tersebut maka tak heran jika para santri banyak yang memanggilnya dengan sebutan Assisten Ustadzah Riha.

Di tahun pertama meninggalnya sang Ayah, Vio sering bolak balik tuk menemui sang bunda meski hanya sehari dan dalam waktu tiga-empat bulan sekali, itu pun atas usul pak kyai apalagi di momen hari raya. Baik hari raya idhul fitri maupun hari raya kurban, sesibuk apapun keadaannya Vio harus tetap pulang.

"Umi.. kenalin ini mba Riha, mba Riha ini Umi Vi..." Vio memperkenalkan kedua wanita yang sangat ia sayangi itu.

Pada lebaran tahun ini kebetulan Riha ikut berlebaran di rumah Vio. bahkan sebuah kejutan juga karna Emil dan sang suami pun ikut hadir di rumah itu yang memang Emil sering menemani sang Bunda selama Vio di pesantren hingga mudah bagi gadis itu tuk mengenalkan Riha pada keduanya.

"Assalamualaikum.." Emil masuk bersama sang suami, Ia langsung memeluk Vio tanpa rasa canggung.

"Wa Alaikumussalam...". Ketiga wanita itu menjawab serentak. Emil terlihat lebih ceria, ia seakan melupakan kejadian tahun lalu itu meski pada tahun ini pun ia masih belum mempunyai momongan. Mungkin memang benar dengan yang di katakan sang bunda dan Riha bahwa saat itu mungkin Emil sedang sensitif hingga terbawa suasana kemelut. Vio pun merasa lega, ia berharap Emil bisa lebih bahagia dari itu, bisa mendapat momongan dan bisa lebih istiqomah lagi. Apalagi ibundanya sudah menganggap Emil sebagai anak kandungnya sendiri hingga ia masih merasakan sentuhan seorang ibu.

"Bagaimana kabarmu Vi.. ini mba Riha yang sering kamu ceritain itu, cantik ya.. pantesan kamu betah di sana". Canda Emil seraya mencubit pipi Vio.

"Awww..." pekik Vio hingga membuat semua orang tertawa geli, Vio memandangi Emil dengan seksama. Wajah itu terlihat ceria dengan hiasan senyum tulusnya, Berbeda dari tahun lalu dimana saat itu Emil terlihat memprihatinkan. Yang membuatnya lebih bahagia lagi adalah karna Emil yang bersikap baik-baik saja padanya, ia tidak benci apalagi dendam. Gadis itu masih seperti dulu, sangat menyayangi Vio.

Dua tahun setelah kematian sang Ayah..

Di tahun kedua ini Vio sudah mulai membatasi kunjungannya pada sang bunda, yakni 6 bulan sekali bukan karna larangan pak kyai namun atas inisiatif ia sendiri dan ibundanya pun berharap seperti itu agar ia bisa tetap fokus pada pelajarannya lagipula ada Emil yang sering menemani sang bunda.

Di tahun ketiga, Vio sudah mulai menunjukkan eksistensinya.. ia sering di undang masyarakat sekitar pesantren tuk membawakan sepatah dua patah kata dakwahnya atau kadang menjadi Qori'ah.