Chapter 15 - POLEMIK

"NgGiihh Umi.. Vi akan menjalankan amanat Abi tapi nda sekarang ya, izinkan Vi untuk tinggal beberapa hari lagi di sini mengurus semuanya. Vi yakin beliau dan pak Kyai akan mengerti dengan keputusan Vi ini.." ucap Vio berusaha meyakinkan bundanya, ia pun melepas pelukan itu. Sedang wanita itu hanya mengangguk seraya mengusap pipi Vio dan mencium keningnya.

Keesokan harinya ketika pagi yang berselimut kabut kedukaan itu menjelma suasana ramai masih nampak di rumah itu, masih banyak sanak saudara yang berdatangan yang memang baik keluarga ayah Vio maupun ibundanya berasal dari daerah yang jauh, di tambah lagi sang Ayah merupakan tokoh yang berpengaruh dilingkungannya hingga sudah pasti Keluarga Vio sangat kerepotan tuk mengurus itu semua hingga wajar jika Vio tak ingin buru-buru kembali ke pesantren.

Ketika Vio sedang menyiapkan jamuan, tiba-tiba tanpa sengaja dari balik kaca jendela ia melihat sebuah mobil berhenti di depan pagar rumahnya. Ia cukup penasaran dengan orang yang berada di dalam mobil tersebut, namun ketika kaca mobil itu di buka subhanallah nampaklah Emil beserta suaminya. Ternyata Haris memang menepati janjinya kemarin.

"Alhamdulillah.. kehidupan Emil sekarang jauh berbeda, sepertinya ka Haris memang imam yang cocok tuk nya. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmatnya untuk keluarga kecilmu Mil.. Aamiin." Ucap Vio membatin. Namun tiba-tiba ia justru kembali teringat pada Faiz, rasa rindunya kembali berkecamuk. Ia merasa tertekan bahkan seakan lebih egois tatkala dirinya melihat Emil mencium tangan sang suami sedang Haris mencium kening istrinya tersebut dengan kasih sayang yang begitu tulus. Ada perasaan iri dan haru, hingga Vio menitikkan airmata. Kapankah ia bisa seperti itu, bisa merasakan di cintai seorang laki-laki selain Ayahnya. Sedang Faiz...

"Ka Faiz.. ??" Gumamnya. Ia menarik nafas panjang.. "Ada apa dengan ku ini Ya Allah, bukankah ikhwan itu Nda pernah menjanjikan apa-apa padaku.. Nda seperti ka Haris. Tapi...

Hamba ingin berjodoh dengannya ya robb.. hiks hiks" gerutu Vio di dalam hati. Namun ia justru kembali teringat pada sosok ayahnya,

"Abi... maafkan Vi yang meneteskan airmata ini tuk laki-laki lain. Vi mencintainya Abi.. Vi mengharapkannya. Hiks hiks." Isaknya lagi, masih dengan suara hatinya. Namun Vi kembali merasakan sesak di dalam dada, ternyata kehilangan sang Ayah lebih menyakitkan daripada merindukan sosok laki-laki yang belum tentu berjodoh dengan nya itu. Lalu Ia pun beristigfhar, tiba-tiba suara sang Bunda dari belakang mengejutkannya. Vio langsung menyeka airmata nya, ia tak ingin sang Bunda melihatnya menangis. Karna dengan begitu sang bunda akan berpikiran bahwa ternyata ia juga belum cukup tegar tuk bisa menerima semua kenyataan itu.

"Vii... ini ada nak Emil", ujar wanita tersebut.

"NgGiihh Umi.." jawab Vio pendek, ia pun menyambut kedatangan Emil tersebut.

Hampir setiap hari Emil datang membantu keluarga Vio, meski kadang hanya sebentar ia tetap hadir hingga sampai Acara selesai. Kesibukan Vio saat itu banyak menyita waktu kebersamaannya dengan Emil, bahkan Emil kadang tidak terespon. Untuk berbincang pun mereka jarang, namun Emil sangat memaklumi keadaan keluarga Vio yang saat itu memang sangat sibuk. Vio tak menyadari bahwa sahabatnya itu pun sedang di rundung kedukaan. Selesainya semua urusan yang berkaitan dengan Almarhum, berarti Vio harus bersiap tuk kembali lagi ke pesantren. Namun ia masih butuh beberapa hari lagi tuk mengurus segala sesuatunya termasuk meyakinkan hatinya bahwa sang bunda akan baik-baik saja ketika ia tinggalkan, Vio sangat khawatir dengan keadaan beliau yang sudah pasti akan merasa kesepian sepeninggalnya sang suami sedang Vio sendiri harus kembali ke pesantren. Namun satu minggu setelah wafatnya sang Ayah berselang, alhamdulillah ternyata beliau terlihat lebih tegar dan istiqomah dengan demikian Vio pun tenang meski harus meninggalkan sang Bunda bersama bi inah dan mang Ujang. Ia percaya bahwa bi inah bisa menjaga wanita yang sangat ia sayangi tersebut, Sementara itu Peternakan dan perkebunan yang biasa di kelola sang Ayah di sela kesibukannya mengurus mesjid atas persetujuan sang bunda, Vio percayakan pada mang Ujang orang yang sudah 30 tahun lebih mengabdi pada keluarganya itu. Setelah Vio sudah cukup yakin ia pun memantapkan hatinya tuk segera berangkat, namun sehari sebelum keberangkatannya tersebut datanglah Emil yang saat itu memang tahu bahwa Vio akan kembali ke pesantren. Ia ingin mengucapkan salam perpisahan sekaligus memanfaatkan moment yang ada sebelum keduanya benar-benar berpisah. Seperti biasa ia datang dengan diantar sang suami dan seperti biasa juga ia akan kembali di jemput oleh laki-laki tersebut.

"O iya Mil.. Umi sampai lupa, dari minggu kemarin Emil datang ke sini Umi nda sempat nanya kabar ibumu.. bagaimana kabar beliau, baik-baik saja kan ??" Tanya ibunda Vio kepada Emil yang saat itu ia baru beberapa menit duduk di temani Vio. Namun Emil justru menundukkan wajahnya, bahkan gadis itu menitikkan airmata. Ia seperti berat tuk mengatakan sesuatu, Vio kemudian memegang bahu Emil seraya berkata:

"Hey.. Kenapa Mil... ??" Tanyanya pelan. Ibunda Vio pun bingung ia kemudian menatap wajah putrinya, sedang Vio mengerutkan dahi tanda tak mengerti.

"Ibu sudah meninggal satu tahun yang lalu Umi, 2 hari setelah pernikahan ku. Beliau sakit parah oleh sebab itu pernikahan kami di percepat.." isak Emil. Ibu dan putrinya itu pun terkejut, Vio langsung mendekap Emil. Ia tak menyangka karna ternyata Emil pun sudah kehilangan orang yang sangat di cintai dalam hidupnya itu.

"Yang sabar ya nak, Umi baru tau.. maaf jika pertanyaan Umi justru membuka kembali luka hati nak Emil," ucap bunda Vio ikut menangis, ia turut merasakan betapa pedihnya kehilangan orang yang di sayang. Gadis itu melepas pelukan Vio dan mulai bercerita betapa tersiksanya sang bunda ketika sakit parah namun suaminya (Ayah tiri Emil) tidak perduli sama sekali, bahkan yang paling membuat ia lebih terpukul adalah karna baru seminggu ibundanya meninggal ia dan sang suami beserta kedua adiknya di usir dari rumah tersebut karna sang ayah telah menjualnya. Emil dan Haris kemudian membeli sebuah rumah yang tidak begitu besar namun nyaman tuk di tempati, sementara kedua adiknya atas permintaan masing-masing ia masukan ke pesantren di tempat Haris mengajar. Haris mencukupi semua kebutuhan anak-anak tersebut dan sebulan/ dua bulan sekali Emil datang tuk menjenguknya. Namun keputusannya itu justru di salah artikan sang ayah tiri yang menganggap bahwa Emil dan sang suami telah mentelantarkan kedua adiknya, mereka di anggap tak mau mengurus keduanya oleh sebab itu si Ayah Tiri selalu menekan keluarga Emil agar mau memberinya uang sebagai jaminan, karena jika baik Haris maupun Emil tidak memberikan uangnya itu ia akan mengambil kedua anaknya tersebut dari pesantren. Dan akan memaksa keduanya untuk menjadi pengamen, Dan parahnya lagi sang ayah tidak akan segan-segan untuk menjualnya ke luar negeri.

Dikarenakan sikap Ayah tirinya seperti itu di tambah lagi kedua adiknya tidak ingin ikut dengan sang Ayah pantas saja pihak pengadilan memberikan hak asuh itu kepada Haris dan Emil, sepeninggal ibundanya. Namun keduanya tidak menyangka jika keputusan tersebut justru semakin membuat sang Ayah Tiri menjadi-jadi. Vio dan Bundanya sangat terharu, mereka ikut menitikkan air mata ketika mendengar cerita gadis itu. Vio tak menyangka jika ternyata penderitaan yang Emil alami dulu masih berlanjut sampai ia sudah berkeluarga, karna sang Ayah tiri masih sering mengganggu kehidupannya sampai sekarang.

"Astagfirullah.." gumam Vio.

"Nak.. nak Emil boleh ko anggap Umi ini sebagai ibu Emil sendiri, nda usah sedih lagi ya.. Tabahkan hati Emil. Sekarang Umi mau istirahat.." ucap bunda Vio seraya menepuk-nepuk punggung tangan Emil, dan kemudian beranjak dari duduknya menuju tangga. Istirahat atau memang beliau sudah tak kuasa lagi menahan kesedihannya, Emil pun mengangguk. Setelah wanita itu berlalu Emil justru semakin terisak, tangisnya tak bisa ia tahan bahkan nafasnya sampai kesegukan.

Sepertinya Masih ada beban berat dalam hati yang ingin Emil luapkan pada sahabatnya itu, namun ia terlihat ragu. Perasaannya kacau hingga hanya air mata yang mengalir menganak sungai.