Tidak berapa lama kemudian Vio kembali tersadar, gadis itu membuka matanya perlahan lahan. Ia melihat Emil yang masih terus memegangi tangannya di sebelah kanan sedang di sebelah kiri ada bi Inah yang mengipasinya.
"Alhamdulillah.. Vi sudah sadar.." seru Emil begitu juga dengan bi Inah. Gadis itu mengedipkan matanya pelan seakan berat tuk membukanya kembali, ia pun bangkit tuk mencoba bersandar di tepi tempat tidurnya di bantu Emil dan bi Inah seraya berkata:
"Siapa yang meninggal bi.. ??" Tanyanya lirih.
Kedua wanita itu saling berpandangan, mereka seakan tak tega tuk memberitahukan kabar duka itu kepada Vio.
"Nda papa.. kasih tahu aja bi, bukankah ini Alasannya Vi di suruh pulang ??" Ujarnya lagi meyakinkan Emil dan bi inah bahwa ia akan baik-baik saja. Namun Emil sudah kembali menitikkan airmata, ia tetap memegangi tangan Vio namun kali ini lebih erat, ia tahu bahwa Gadis itu akan lebih terpukul darinya atau mungkin histeris.
"Abi.. neng.. hiks hiks..!!" Jawab Bi Inah dengan suara hampir tak terdengar karna menangis.
"Innaa lillaahi wa innaa illaihi roojiuun.." ucap Vio, airmata nya sudah mulai membasahi pipi. Namun ia menghela nafas panjang seraya menutup mata dan beristigfhar, mulutnya seakan tak berhenti mengucapkan sesuatu. Ketika di rasa cukup tenang ia pun kembali bertanya:
"Umi kemana.. ??"
Subhanallah, ternyata Vio sudah bisa mengendalikan hatinya. Ia lebih terlihat tabah dari yang lain, bahkan Emil dan Bi inah seakan tak percaya melihat sikap Vio seperti itu, ternyata tiga tahun di pesantren tersebut mampu membawa perubahan positif tuk pribadi Vio sendiri.
"Di kamarnya neng, dari semalam nda mau keluar. Bahkan selalu histeris dan pingsan-pingsan terus.." jawab bibi itu lebih tenang.
"Ya sudah... bibi lanjutkan aja pekerjaannya, Vi mau ke kamar Umi dulu." Ujar Vio lagi. Bi inah pun keluar dari kamar Gadis itu.
"Viii.... yakin kamu Nda papa ??" Tanya Emil mengelus pipi Vio. Ia sangat tahu bahwa sebenarnya hati Vio sangat terguncang. Namun Gadis itu tetap beranjak dari posisinya seraya berkata:
"Takkan ada yang bisa menahan kesedihan ketika di tinggal oleh orang yang kita sayang mil.. sungguh aku pun begitu. Namun.. haruskah kita selarut itu menikmati kesedihan yang nyatanya itu kehendak Allah, haruskah aku selalu teteskan airmata sedang yang dibutuhkan Abi ku adalah kridhoan dan doaku bukan air mata. Abi..." Vio menghentikan ucapan dan langkahnya, hatinya kembali sesak bahkan ia nyaris tumbang lagi. Emil buru-buru menahan tubuh gadis itu,
"Astagfirullah Al 'Adziim.. Astagfirullah Al 'Adziim.. Astagfirullah Al 'Adziim, Alladzi Laa ilaaha illahu wal hayyul qoyyum wa aatubu ilaih, Laa haula wa laa kuwwata illa billah" ucap Vio memejamkan mata seraya memegangi dadanya. Ia ucapkan kalimat itu berkali-kali, sedang Emil langsung memeluk gadis itu seraya berkata:
"Masya Allah Vii... sungguh berjiwa besar sekali hatimu, kamu pasti kuat..." ujarnya dengan terus berderai airmata. Vio melepaskan pelukan Emil dan kembali melanjutkan langkahnya menuju kamar sang bunda, namun ia tetap menggenggam erat tangan Emil.
"Assalamualaikum Umi.. Vi boleh masuk ??" ucap Vio ketika sampai di depan pintu kamar itu. Namun sang bunda tak menjawab salamnya, Vio kembali mengucapkan salam yang kedua bahkan yang ke tiga kalinya namun wanita paru baya itu tetap tak menjawab salam Vio.
"Vi dan Emil masuk ya Umi.." ujarnya lagi sembari membuka pintu. Ia melihat bundanya termenung duduk bersandar di tepi tempat tidurnya, namun dalam keadaan kacau dan kumal. Rambutnya terikat namun setengah terurai dengan sedikit menempel di sekitar wajahnya, melihat keadaan beliau seperti itu Emil justru semakin terisak ia tak bisa membayangkan betapa terpukulnya beliau di tinggalkan laki-laki yang sangat disayanginya itu untuk selamanya, bahkan tanpa dukungan sang putri ketika ajal menjemput suaminya tersebut, Emil menggenggam tangan Vio lebih erat dan memeluknya. Namun lagi-lagi Vio melepaskan pelukan Emil, ia tetap melangkah menghampiri sang Bunda meski airmata terus berderai di pipinya.
"Umi... " ucapnya. Ia duduk di hadapan sang bunda kemudian memegang kedua tangan beliau dan menciumnya. Sedang wanita itu tetap dengan posisinya, beliau melihat Vio dengan tatapan kosong dan berlinang airmata.
"Umi... Abi nda butuh airmata kita, yang sekarang Abi butuhkan itu keikhlasan dan doa kita. Apa Umi tega menghambat perjalanan abadi beliau yang akan menuju Rabb nya ?? Bukankah kita beriman Umi ?? Bukankah sejatinya manusia memang pasti akan mati.. lalu nikmat mana lagi yang akan kita ingkari dengan ketetapanNYA.. ?? Istighfar Umi, kasihan Abi.. beliau nda suka melihat Umi seperti ini. Bersabarlah.. karna sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.." ujar Vio berusaha menyadarkan sang Bunda, ia kemudian mengucap istighfar dan membisikkannya di telinga beliau. Subhanallah Wanita itu pun sadar dan langsung memeluk Vio dengan ikut mengucapkan istighfar, Emil lagi-lagi terisak ia seakan tak kuasa melihat pemandangan seperti itu namun sungguh ia terkagum akan sikap Vio yang berusaha tegar meski sesungguhnya ia juga butuh sandaran. Vio melepaskan pelukan bundanya, ia kemudian menyeka airmata wanita itu dan merapikan rambutnya kemudian memakaikannya Hijab.
"Sekarang kita turun ya Umi, pak kyai sudah menunggu. Beliau memberikan kesempatan kepada kita supaya bisa melihat wajah Abi tuk yang terakhir kalinya sebelum Almarhum di sholatkan dan kemudian dikebumikan.." ajak Vio dengan sangat hati-hati, tak harus menunggu lama karna wanita itu pun langsung menganggukan kepalanya. Dengan di tuntun Emil dan Vio beliau pun beranjak dari posisinya, mereka keluar menghampiri jenazah laki-laki yang sangat mereka cintai tersebut. Sesampainya didepan Almarhum keduanya dipersilahkan melihat untuk yang terakhir kalinya, Di mulai dari sang bunda yang dengan penuh kepedihan berkata pada Almarhum,
"Abi... sungguh Umi bukan seorang istri seperti Umi khadijah yang sangat tegar, bukan juga Umi Aisyah yang penyabar. Umi hanya manusia biasa yang banyak khilaf dan berdosa, yang mungkin Umi belum bisa menjadi istri yang sangat Abi banggakan. Atas segala kekurangan akhlak ini, Umi mohon maaf yang sebesar-besarnya. Begitu juga Abi.. apapun yang Abi lakukan untuk Umi selama ini lillahi ta'ala Umi ikhlas Bi.." ungkapnya, beliau pun terisak di pelukan Vio.
"Abi... tiga tahun lalu Vi melihat Abi dengan Wajah marah dan kecewa, menyesakkan hati dan melukai perasaan ini. Bahkan Vi harus menerima hukuman yang hanya karna kesalahpahaman, namun kelembutan suara Abi di hari-hari yang Vi lalui ternyata menyadarkan hati ini. Dengan segala kegiatan yang Vi lakukan di pesantren itu seakan menghakimi Betapa bodohnya Vi yang menganggap semua itu hukuman, sungguh perintah Abi itu benar.. karna mencari ilmu itu wajib apalagi tentang akidah islam.
Sekarang.. setelah tiga tahun itu terlewat, Vi bisa melihat wajah Abi lagi. Wajah dengan sejuta ketenangan yang luar biasa, meski Vi harus melihat kapas di setiap celah wajah itu.
Abi... maafkan Vi yang belum bisa menjadi anak kebanggaan Abi, maafkan Vi yang selalu mengecewakan Abi. Namun.. selama nafas ini masih berhembus, in sya allah doa Vi nda akan terputus untuk Abi.." ujar Vio, ia nampak lebih tegar dari sang Bunda. Ia pun mencium pipi ayahnya tersebut sambil mulutnya terus bergumam membaca doa.
Setelah selesai pak kyai pun menyuruh para jamaah tuk memasukkan jenazah tersebut ke keranda dan membawanya ke sebuah mesjid tuk di sholati. Tangis Ibunda Vio kembali pecah, namun gadis itu kembali berusaha menguatkan hati sang Bunda.
Sekitar hampir satu jam kemudian jenazah tersebut selesai di sholatkan dan langsung di bawa ke tempat pemakaman umum, Vio dan sang Bunda beserta seluruh pelayat ikut mengiringi jenazah laki-laki tersebut. Mereka iba bahkan turut bersedih atas kepulangan Ayahanda Vio ke Rahmatullah. Suasana seakan hening yang terdengar hanya suara kalimah-kalimah Allah yang di hembuskan, seakan menambah kerisauan hati ibunda Vio bahwa betapa nyatanya sosok laki-laki itu sudah pergi dari hidupnya dan untuk selamanya.
Terlebih lagi saat tubuh tak bernyawa itu harus di masukkan ke liang lahat dan di timbun dengan tanah, sungguh hati Vio merasa sesak. Kali ini airmata nya sudah tak bisa dibendung lagi,
"Selamat jalan Abi, selamat tinggal.. semoga Allah memberi tempat yang lapang di SisiNYA, mengampuni segala dosa-dosanya dan di terima segala amal ibadahnya.. memberikan kami kesabaran dan keikhlasan dalam menyikapi musibah ini, Aamiin" ucapnya membatin. Setelah proses pemakaman selesai dan di tutup dengan doa pak kyai para pelayat pun satu persatu mulai meninggalkan tempat itu, tiba-tiba Vio merasakan kehadiran sang Ayah disampingnya kemudian menggenggam erat tangannya dan berbisik:
"Jadilah akhwat yang shaliha Vi.." Vio pun terkejut dan menoleh, Namun.. ia tak melihat siapa pun di sampingnya. Gadis itu pun bangkit dan mengajak ibundanya tuk pulang.