"Maaf pak.. beri Haris kesempatan, usia pernikahan kita baru berjalan satu tahun. Haris percaya Emil masih bisa hamil, hanya perlu waktu saja." bujuk Haris, ia berusaha meyakinkan sang Ayah.
"Tapi mau sampai kapan..??" Tanya nya.
"Haris juga Nda tau pak, tapi yang pasti saat ini Haris Nda bisa.. Besok Haris harus pulang, masa cuti Haris sudah habis.. Maafin Haris pak.." Ujar Haris lagi seraya mengelus elus tangan sang Ayah, ia kemudian bangkit dan meninggalkan orang tua itu.
Ayah Haris hanya bisa menghela nafas panjang, ia tahu ini semua memang tidak mudah untuk Haris terlebih lagi ia sangat mencintai istrinya namun ia juga sangat tahu bahwa watak sang anak tidak mudah untuk dipengaruhi jika ia sudah mengambil keputusan, seperti dulu ia pernah melarang Haris pergi mesantren karna yang ia inginkan sang anak meneruskan perusahaan yang dikelolanya. Namun Haris tetap bersikeras hingga sang Ayah harus mengalah.
"Bapak yakin nak.. suatu saat kamu bisa berubah pikiran karna keadaan seperti ini jika terus berlanjut akan membuatmu mengerti artinya kesepian.." Ungkap bapak itu seakan mengenang masa lalunya dulu.
Ya... Ayah Haris adalah seorang pengusaha kaya raya yang saat itu sudah mempunyai istri namun belum bisa memberikan keturunan kepada orang tuanya, pernikahannya dengan sang istri kala itu sudah berjalan lima tahun. Ia sangat mencintai istrinya, karna dengan wanita inilah asal mula ia merintis karir dari nol. Suka duka ia jalani berdua dengan sang istri hingga ia mencapai kesuksesan yang luar biasa, namun suatu ketika sang dokter memvonis istrinya tak bisa hamil karna mengidap penyakit kelainan pada rahimnya.
Semula keduanya baik-baik saja, tapi seiring berjalannya waktu laki-laki tersebut merasakan kesepian yang luar biasa. Di tengah-tengah rumah besar yang ia tempati berdua dengan sang istri seakan menambah kesunyian hati kedua pasangan itu tanpa adanya tangisan seorang bayi. Hingga keduanya berencana mengadopsi anak dari panti Asuhan, namun Entah kenapa suatu ketika sang istri dengan tabah malah menyuruh suaminya itu untuk menikah lagi, ia beranggapan bahwa sebaik-baiknya anak angkat tetap masih lebih baik mengurus anak sendiri. Ia juga tak ingin egois memutuskan keturunan sang suami, karena sebenarnya memang hanya dia yang tidak produktif.
Sebenarnya Ayah Haris sangat keberatan, bahkan ia dengan tegas menolak perintah sang istri namun wanita itu selalu membujuknya dengan berbagai alasan hingga akhirnya hati Ayah Haris luluh dan terjadilah pernikahan kedua itu, dan hingga sekarang kehidupan keluarganya tetap harmonis bahkan kedua istrinya pun tetap akur.
Begitu juga dengan Keluarga Haris, ia ingin sang Anak mengikuti jejaknya Hanya supaya Haris tetap mempunyai keturunan. Dan garis keturunan itu tidak terputus di pernikahannya dengan Emil, karna sang Ayah percaya bahwa saat ini Emil lah yang bermasalah hingga menyebabkan ia sulit untuk bisa hamil.
Sesampainya di kamar tidur Haris melihat Emil yang tengah memejamkan matanya dengan tenang, ia menghampiri gadis itu dan mengusap pipinya dengan pelan karna takut akan membangunkannya. Dipandanginya wajah itu dengan sangat lama,
"Sayang... kakak sangat mencintaimu, kakak mohon apapun yang terjadi nanti jangan pernah tinggalin Kakak ya.." ucapnya lirih.
Haris bangkit dari posisinya dan kemudian masuk ke kamar mandi.
Sepeninggal Haris, Emil membuka matanya.. ia menangis dengan sedih tak kuasa melihat orang yang sangat ia sayangi tertekan.
"Ya Allah.. aku harus bagaimana.. ??" batinnya, namun ia kemudian teringat akan sahabatnya Vio. "Vi... kamu dimana.. aku butuh kamu viii.. aku kangen kamu.." isaknya lagi. Tak lama kemudian terdengar bunyi pintu kamar mandi terbuka, Emil langsung membalikkan badannya karna tak ingin Haris mengetahui keadaannya yang tengah bersedih. Tanpa curiga Haris langsung naik ke atas ranjang dan memeluk tubuh istrinya itu dari belakang. Ia berusaha memejamkan mata supaya segera tertidur, sementara Emil ia merasa sulit untuk membuat matanya terpejam Hingga tanpa disadari Haris membuka matanya dan menarik bahu Emil agar posisi gadis itu berhadapan dengannya.
"Emil kenapa.. ?? mimpi buruk kah ??" Tanya Haris seraya mengusap rambut Emil. Laki-laki itu sangat lembut kepada istrinya.
"Nda ada ka.. Emil hanya kangen dengan Vi.." jawabnya pendek.
"Ya sudah kita sholat malam aja dulu ya sayang.." Ajak Haris yang kemudian Emil balas dengan anggukan.
Sementara itu..
Dari tahun ke tahun seperti yang sudah diketahui bahwa Vio semakin jarang menerima kabar dari rumah, namun demikian tak menyurutkan gadis itu untuk selalu melaksanakan kewajibannya di pesantren tersebut. Namun...
Di penghujung Tahun ketiga ini perasaan Vio justru semakin gelisah, ia benar-benar ingin pulang kerumah meski hanya tuk sebentar. Ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya namun entah apa itu, ia sendiri pun tak tahu. Ia sangat rindu kepada Emil sahabatnya, kepada Ayah dan bundanya.. Vio sering bermimpi Emil menemuinya, memeluknya dengan sangat erat namun sambil terisak. Ia juga pernah bermimpi berjalan di lorong yang gelap, menelusuri jalan dengan pelita yang ia bawa kemudian ia melihat seseorang seperti sekarat karna pengap dan gelapnya tempat tersebut. Tanpa pikir panjang Vio meletakkan pelita itu disamping orang tersebut dan kemudian ia buru-buru pergi meninggalkan tempat itu karna dari kejauhan seseorang telah memanggil namanya.
"Ada apa dengan mereka ya Robb..." batinnya seraya mengusap-usapkan dada.
* * *
Malam itu ketika bertepatan dengan malam jumat seperti biasa para santriawan dan santriawati di pesantren tersebut serentak membaca surat AL_Kahfi yang kemudian di susul surat Yaa Siin dan waqiah yang di mulai ba'da magrib hingga waktu isya tiba, dengan di bimbing oleh pak kyai langsung di sebuah Aula besar yang mampu menampung ratusan santri baik yang junior maupun senior. Malam jumat yang hening itu seakan terasa berbeda bagi Vio, apalagi pak kyai mengatakan acara itu juga tuk mengadakan doa bersama atas terjadinya suatu ketetapan Allah pada takdir seseorang. Suasana mencekam itu menghanyutkan perasaan Vio yang kembali larut akan rasa rindunya pada kedua orang tuanya, bahkan di penghujung doa itu pak kyai seakan turut sedih ketika beliau kirimkan sebuah surat AL_Fatiha tuk para Almarhum dan Almarhumah yang mungkin juga tuk kedua orang tua beliau, namun suara itu semakin lama semakin lirih ibarat menahan tangis.
Setelah Acara selesai Riha menghampiri Vio,
"Vi.. kita ke rumah pak kyai dulu ya, beliau mau bicara dengan Vi.." ujarnya seraya menggenggam tangan Vio dengan erat.
"NgGiihh mba..", balas Vio meski dengan perasaan bingung. Tak berapa lama kemudian sampailah keduanya di rumah pak kyai yang ternyata beliau sudah menunggu kedatangannya di ruang tamu.
"Vi... Abi meminta Vi tuk pulang ke rumah besok..!!" Ucap Pak kyai. Vio masih terlihat bingung,
"Abi nda bisa jemput ke sini, pak kyai yang suruh antar Vi ke sana." Ujar beliau lagi seakan mengerti kegelisahan Vio tentang pesan Ayahnya.
"NgGiihh pak kyai.." ucap Vio mengiyakan.
Keesokan harinya setelah mengerjakan sholat subuh, Vio, pak kyai dan juga istrinya berangkat tuk menghantarkan Vio pulang ke rumahnya dengan di antar supir. Sayangnya saat ini Riha tidak bisa menemani Vio karna sudah terlanjur ada janji dengan Anak-anak panti. Di sepanjang perjalanan itu Vio sudah mengkhayalkan kedatangannya tersebut akan menjadi moment kebahagiaan yang tak terkira, tiga tahun berpisah tentu saja menciptakan suatu kerinduan yang mendalam. Ia ingin segera memeluk Ayah dan Bundanya, bertemu Emil yang pasti sudah mempunyai momongan pikirnya dan pastinya akan ada banyak hal yang ingin Vio lakukan setibanya di rumah nanti. Sekitar hampir 5 jam perjalanan sampailah mereka di kawasan tempat tinggal Vio, masih dengan jarak sekitar 100 meter ke arah rumahnya Vio sudah melihat banyak orang yang berdatangan. Semula ia berpikir bahwa Ayahnya telah mengundang para tetangga untuk menyambut kedatangannya, namun setelah Vio turun dari mobil terlihat jelas berkibar bendera kuning di pagar rumahnya. Gadis itu semakin bingung namun airmata sudah tak bisa ia bendung, apalagi ketika para tetangga itu berkata:
"Yang sabar ya Neng.."
Ia semakin tak kuasa menahan tangisnya, perlahan lahan ia langkahkan kakinya melewati para pelayat yang tengah duduk di luar dan terlihat Emil bersama seorang laki-laki yang juga ikut melayat dan menunggu kedatangannya.
"Viii... hiks hiks" teriaknya seraya berlari memeluk Vio.
"Yang sabar ya Vii..." ujarnya lagi, namun tiba-tiba Vio tumbang dan jatuh pingsan. Para pelayat itu segera berlari menyanggah tubuh Vio dan langsung membawanya ke kamar.