Chapter 11 - DIARY EMIL

Seminggu Setelah wafatnya sang Bunda, Ayah tiri Emil mulai bertingkah ia mengambil Alih kepemilikan rumah dan kemudian menjualnya. Ia tidak memperdulikan kedua Anak kandungnya sendiri yakni buah hasil dari pernikahannya dengan ibunda Emil.

Namun untungnya anak tersebut tidak menuruni watak sang Ayah meski keduanya laki-laki, malah mereka meminta untuk dimasukkan ke pesantren. Keduanya bersikukuh tidak ingin kembali membebankan sang kakak karna selama ini mereka tahu seperti apa perjuangan dan pengorbanan Emil untuk ikut membantu keuangan keluarga meski dirinya harus sambil bersekolah.

Padahal usia keduanya baru sekitar 10 tahun dan yang tertua 12 tahun, mereka sangat mengerti bahkan sangat memahami dengan apa yang sudah Emil alami selama ini terlebih lagi perlakuan sang Ayah kepada ibunda dan kakaknya tersebut.

Haris membeli sebuah rumah kecil di daerah tempat tinggal Emil, karna kebetulan ia juga sudah dipindahtugaskan ke daerah tersebut dan ia memasukkan kedua adik Emil ke tempat dirinya mengajar. Namun sang Ayah tiri masih kerap kali datang ke rumah keduanya untuk meminta uang.

* * *

Satu tahun kemudian...

Hari ini merupakan hari yang bahagia tuk ipar Emil yakni Adik Haris, karna akad nikah akan dilaksanakan malam ini. Emil turut bahagia karna setidaknya masih ada harapan dari iparnya tuk ibunda Haris mendapatkan cucu, yang tak harus selalu berharap padanya meski sejujurnya ia pun sangat menginginkan anak tersebut. Namun entah mengapa suasana bahagia itu harus menjadi kelabu tatkala sang Bude kakak dari Ayah Haris mengajaknya berbincang.

"Kamu gimana.. ?? Sudah 'berisi' (istilah hamil) !!?" Tanyanya membuka percakapan kala itu.

"Belum Bude.. minta doanya saja, ini juga lagi berobat terus." Jawab Emil dengan sedikit tertahan malu, karna banyak orang di sekelilingnya.

"Ngapain berobat terus, cuma menghabiskan uang suami saja. mungkin kamu itu memang mandul makanya nda mau ngisi, kalo memang nda mandul nda di obatin juga bakalan ngisi..??!!" Ujar wanita tua itu dengan nada bicara yang sangat ketus.

Emil hanya terdiam dan tertunduk menahan perih dalam hati, sedang Airmata.. sungguh tak sanggup ia bendung, Baginya perkataan beliau sangat menyakitkan. Padahal ia tahu bahwa mereka berdua tengah berada di riuh ramainya suasana pesta pernikahan yang sudah pasti banyak orang yang mendengar meski tanpa di sengaja. Emil tak ingin merusak kebahagiaan iparnya, oleh sebab itu ia pun buru-buru berlari menuju kamar tuk mengganti hijabnya yang lumayan basah bersimbah airmata. Namun ketika sampai di ruang tengah langkahnya terhenti, lagi-lagi hati Emil harus kembali tersayat mendengar pembicaraan Haris sang suami bersama kedua orangtuanya.

"Gimana tawaran bapak nak.. ?? Sudah ada keputusan ?? Kamu nda harus menceraikan nya, toh cukup minta izin baik-baik.. kalo memang kamu nda sanggup biar kita rahasiakan saja. Jadi istrimu nda harus tahu kalo kamu menikah lagi.." ucap sang Ayah.

Bak meledak dahsyat hati Emil mendengar perkataan itu, kali ini lebih menyakitkan dari yang Budenya ucapkan beberapa menit yang lalu.

"Haris nda tega pak menyakiti Emil..". Terdengar Jawaban Haris pendek, yang semakin membuat batinnya menjerit.

"Menyakiti piye toh nak, wong sudah jelas dia nda bisa ngasih kita keturunan. Jadi dia harus bisa terima, sudah kodratnya wanita itu kalo nda di madu yo jadi madu.." sergah ibunda Haris, ikut angkat suara yang memang status beliau adalah istri kedua dari Ayah Haris karna istri pertama tak bisa hamil.

Kali ini Haris hanya terdiam, sementara Emil tahu betapa bingungnya sang suami harus berkata apa sedang keputusan ada di tangannya. Bagaimana pun ia harus bisa menentukan antara kebahagiaan Emil istrinya atau kedua orangtua nya.

"Ingat nak.. bapak dan ibu mu ini sudah uzur sudah gaek, sudah seharusnya punya cucu. Apalagi kamu anak pertama, usia manusia memang di tangan Allah.. Nda memandang tua atau muda tapi sa'Ndanya kamu harus memikirkan masa depan mu. Nda mungkin harus selalu berduaan saja dengan istrimu, dan ingat nak.. jika amal mu sudah terputus, anak-anakmulah harapannya. Tapi jika nda punya anak... ??"

Deg... tangis Emil semakin membuncah, terlalu sakit membayangkan masa tuanya jika ia memang benar-benar tak bisa mempunyai keturunan. Orang tua itu pun tak sanggup melanjutkan perkataannya.

Dalam suasana yang penuh gelak tawa dan kebahagiaan hari ini, namun airmata Emil harus terkuras hanya karna suatu keadaan yang sudah digariskan sang Khalik yang ia sendiri tak kuasa mencegahnya bahkan jika Emil boleh memilih ia pun tak ingin semua ini terjadi kepadanya. Namun.. ia juga tak bisa menyalahkan mereka yang sangat mengharapkan kebahagiaan dari pernikahan anaknya tersebut, itu wajar dan lumrah jika memang suatu saat harus terjadi. Emil merasa rela tersakiti tuk kebahagiaan mereka.

"Ya Allah... salahkah aku yg belum bisa menumbuhkan janin di tubuh ini ?? Bukankah jodoh, rizki, maut, hidup dan takdir manusia itu dalam kehendakMu.. aku hanya bisa berencana sedang Engkaulah yang Maha Menentukan. Aku yakin ini adalah yang terbaik untukku karna aku percaya Engkau tidak akan mengujiku di luar batas kemampuan ku, semua akan indah atas izinMu.

Beri aku kekuatan ya Robb.. dalam menjalani hari-hariku, dan bahagiakanlah orang-orang yang aku sayang yang sangat berharap lebih padaku.. Engkaulah maha penerima doa. Aamiin.." Isak Emil di sela-sela sujudnya.

Kejadian malam itu Emil lewatkan dengan penuh kesedihan namun ia juga harus menyembunyikan kesedihannya tersebut, ia tak ingin merusak kebahagiaan keluarga sang suami yang saat itu sedang merayakan pernikahan.

"Tadi Emil dari mana ?? Kakak cari di kamar Nda ada ??" tanya Haris tatkala acara tersebut usai.

"Emil dari musholla depan ka, abis sholat isya.. di rumah rame jadi Emil ke sana, maaf Nda izin dulu," jawab Emil seraya menundukkan kepala.

"Iyah.. Nda papa.." ucap Haris, ia nampak canggung didepan Emil..

"Hhmmm... kapan kita pulang ka ??" Tanya Emil ragu. Haris seperti terkejut, ia nampak canggung semenjak pembicaraannya dengan sang Ayah.

"Kenapa.. apa besok masih ada acara lagi ??" tanya Emil lagi seraya menggenggam tangan sang suami.

Haris langsung menarik tubuh Emil dan memeluknya, Gadis itu hanya bisa menyambut pelukan tersebut. Ia yakin saat ini suaminya sedang tertekan, namun tak berani bercerita padanya dan Emil pun tak ingin memberitahu sang suami jika sebenarnya ia juga sudah tahu masalahnya.

"Ka Haris kenapa.. ??" Apa ada yang salah ??" ujarnya lagi mencoba menghilangkan ketegangan Haris, Ia menepuk-nepuk punggung laki-laki itu.

"Nda papa sayang.. Kakak hanya ingin memeluk Emil saja, berjanjilah apapun yang terjadi Emil Nda boleh ninggalin Kakak." jawabnya seraya mencium kening Emil. Gadis itu begitu terharu, ia tidak pernah menyangka bahwa Haris bisa sangat menyayanginya padahal baik ia maupun Haris tidak pernah tahu kepribadian masing-masing. Pertemuan keduanya singkat hanya ketika mereka bertemu di program singkat acara sekolah yakni pesantren kilat namun Haris langsung berani mengkhitbahnya, dan sesuai perjanjian 2 tahun kemudian keduanya menikah dan sekarang usia pernikahan mereka sudah berjalan satu tahun.

Cukup lama keduanya berpelukan, hingga sebuah ketukan dan ucapan salam terdengar dari balik pintu kamar. "Biar Emil aja ka yang buka..." Pinta Emil seraya melepaskan pelukan sang suami.

"Nda usah sayang.. biar Kakak aja, sepertinya Ayah ingin bicara dengan kakak.." Cegah Haris, ia menarik tangan Emil kembali.

"Emil langsung istirahat aja ya.. Nda usah nungguin kakak, mungkin kakak bakal lama.." Perintahnya lagi seraya mengelus pipi Emil dan mencium keningnya. Sementara gadis itu hanya mengangguk.

Di teras belakang rumah...

"Ada apalagi pak.. kenapa selarut ini belum istirahat ??" Tanya Haris sesampainya didepan sang Ayah.

"Duduklah dulu.. bapak mau melanjutkan pembicaraan kita sore tadi.." Ucap pak tua itu.

"Pak... Haris Nda siap.. Haris Nda tega sama Emil, kami sudah cukup bahagia meskipun belum mendapat momongan." Tolak Haris.

"Kamu harus mikirin perasaan bapak juga, Nda harus buru-buru.. Ta'aruf saja dulu, besok malam kebetulan keluarganya kemari. Kamu bisa hantar nak Emil pulang dulu.. Jadi kamu Nda khawatir nak Emil cemburu.