Vio keluar dari ruangan tersebut dengan perasaan sedih yang mendalam, meski dia sendiri sadar bahwa memang harus seperti itu karna bagaimana pun juga ia harus bertanggung jawab atas perbuatannya tersebut. Namun bagaimana dengan orang tuanya di rumah, Masih bisakah beliau memaafkan gadis itu atau Vio memang harus tega merusak kebahagiaan keduanya yang sudah merasa bangga akan keputusan anak gadisnya itu tuk berberhijab meski belum sempurna. Yang menurutnya merupakan langkah awal Vio tuk menjadi seperti yang Ayah dan ibundanya inginkan sedang masa itu baru berlangsung satu bulan. Entahlah.. karna yang pasti saat ini Vio benar-benar merasa tertekan, airmata nya pun sudah tak bisa ia sembunyikan lagi.
"VIII...." sebuah suara menghentikan langkahnya, Vio langsung membalikkan badan dan terlihat Emil berlari menghampiri dirinya.
"Jangan tinggalkan aku... aku mohon, bertahanlah di sini.. aku akan jelaskan semuanya kepada kepala sekolah bahwa kamu Nda bersalah.." isak Emil yang saat itu juga ingin berlari menemui pak kepala sekolah, mamun dengan sigap Vio langsung menarik tangan Emil dan menggelengkan kepalanya.
"Nda Mil... Nda ada gunanya, beliau sudah memfinish keputusannya, semua sudah terjadi... biarkan aku pergi, kamu Nda usah khawatir. Aku akan baik-baik aja... jaga dirimu juga ya.." cegah Vio seraya mengusap airmata yang terus berderai di pipi mulusnya.
"Hhuu hhuummm.." Tangisnya pecah, Emil langsung memeluk tubuh gadis itu,
"Maaf kan aku Vi... maaf, hanya karna gadis seperti aku kamu rela mengorbankan pendidikan mu.. masih pantaskah aku di sekolah ini Vi.. hiks.." isaknya lagi. Vio melepaskan pelukan Emil namun menggenggam tangannya dengan erat seraya berkata:
"Pantas Mil... bahkan sangat pantas, kadang aku merasa iri akan kecerdasan mu. Untuk sahabat sejati seperti mu aku rela melakukan apa aja.. apalagi ini menyangkut harga diri, jadi kamu Nda usah ngerasa bersalah ya dan Nda usah khawatir juga."
"Tapi Vi..."
"Selamat tinggal Mil.. jika kamu kangen, datanglah ke rumahku.." ucap Vio menyela perkataan Emil sambil perlahan lahan melepas genggamannya.
"Viiii.... hiks hiks.. !!" Isak Emil lagi, seakan tak rela melihat Vio pergi. Namun Vio tetap melangkahkan kakinya dan melambaikan tangan tanda perpisahan, teman-teman Vio yang lain ikut menyaksikan kepergian Vio dengan berbagai ekspresi. Ada yang mencemooh, bersikap sinis dan cuek namun ada pula yang turut bersedih dan ikut melambaikan tangan pada gadis itu, hingga sampai di pintu gerbang sekolah. Bahkan sang penjaga pintu ikut terharu tatkala Vio keluar dan berbalik badan memandangi sekolah tersebut, sekolah yang telah membesarkan namanya dalam berbagai prestasi di setiap kegiatan.
"Hati-hati ya Neng.. maaf.." ucap penjaga pintu itu sembari menutup gerbang tersebut.
"Iya mang... terimakasih.." jawab Vio berusaha tegar, bahkan tukang penjaga pintu itu pun ikut bersedih mengiringi kepergiannya, beliau sudah menganggap Vio seperti anak sendiri. Meski nakal dan sering bolos sekolah atau kesiangan, laki-laki tersebut selalu membantu Vio karna beliau tahu bahwa Vio sebenarnya sangat baik. Apalagi Vio pernah membantunya beberapa kali tatkala istrinya dirawat di rumah sakit. Emil yang saat itu masih berdiri melambaikan tangan padanya, merasa tak sanggup melihat pemandangan seperti itu, ia pun berlari ke dalam kelas. Sementara Tere dan Oliv sudah terlebih dahulu meninggalkan sekolah, tepat setelah keluar dari ruangan pak kepsek.
Vio pun akhirnya pergi meninggalkan sekolah tersebut. Melangkahkan kakinya yang tak tentu arah, langkah nya gontai sedang Hatinya sudah terasa sesak dan tertekan, namun Vio tidak langsung pulang ke rumah karna belum merasa sanggup tuk memberitahukan semuanya pada Ayah dan sang Bunda. Vio lebih memilih beritikaf di sebuah mesjid, ketika waktu sudah menunjukkan sore hari barulah Vio pulang ke rumahnya.
"Bismillah... huufzz.." ucap Vio menghela nafas panjang ketika ia sudah sampai di depan pintu rumahnya, Vio berencana tuk tidak memberitahukan kedua orang tuanya dulu karna ingin mencari waktu yg tepat.
"Assalamualaikum..." ucap Vio sembari membuka pintu.
"Wa alaikumussalam..." balas Bunda dan Ayah Vio yang ternyata saat itu keduanya sudah berada di ruang tamu, mereka sengaja menyambut kedatangan Vio. Gadis itu pun terkejut, namun ia lebih terkejut lagi karna di samping sang Bunda sudah ada koper besar yang entah apa isi di dalamnya.
"Duduk Vi, Abi mau bicara .." pinta sang Bunda.
Gadis itu duduk di samping bundanya, namun sangat terlihat jelas bahwa wanita paru baya itu habis menangis. Sedang sang Ayah nampak geram dgn emosi yg tertahan,
"A.... da apa ini Abi... ??" Tanya Vio, suaranya sedikit bergetar. Sepertinya Vio menyadari bahwa kedua orang tuanya sudah mengetahui masalah dirinya di sekolah.
"Vi harus 'angkat kaki' dari rumah ini.. !!" Ujar Ayah Vio, tanpa sedikitpun melihat wajah gadis itu. Beliau tetap menunduk sedang tangannya memegangi kepala.
"Tapi kenapa Abi... ??" Tanya Vio lagi yang kali ini airmata nya sudah mulai mengalir.
"JANGAAN PURA PURA TIDAK TAHU !!?? Bentak Ayah Vio sembari tangannya memukul meja hingga terdengar suara gebrakan yg sangat keras, beliau langsung bangkit dari tempat duduknya dan tentu saja hal itu membuat Vio dan ibundanya terkejut dan menangis, Ia tak pernah menyaksikan Ayahnya semarah itu.
"Istighfar Abi...!!" ucap bunda Vio, ia berlari menghampiri sang suami.
"Ampun Abi, maafkan Vio.. Vio nda bermaksud mengecewakan Abi.. Maaf. Hiks hiks.." isak Vio memegangi kaki Ayahnya, Laki-laki itu pun kembali duduk.
"Astagfirullah... minta maaf lah pada Allah Vi... Abi malu.. malu mempunyai putri yg sama sekali tidak takut pada yang menciptakanNYA. Alasan apa yg harus Abi berikan tuk pertanggungjawaban di akhirat kelak.. Astagfirullah ya robb !!" Ucap laki-laki itu yang nafasnya sudah semakin tak beraturan.
"Sekarang... pergilah dari rumah ini, laksanakan kewajiban mu sebagai seorang anak dan..."
"Tapi Abi...." sela Vio memotong perkataan Ayahnya,
"PERGII !! DAN JANGAN KEMBALI SEBELUM ABI YANG MEMINTAMU TUK KEMBALI.. !! Aaaa.... " bentak Ayah Vio lagi yg kali ini di barengi dengan tumbangnya beliau dengan posisi tangan yang terus memegangi dadanya. Vio dan Bundanya langsung histeris menyaksikan sang Ayah yang seakan sekarat menahan sakit, beliau mempunyai riwayat penyakit jantung yang mgkin saat ini kembali kambuh.
Bunda Vio langsung memanggil supirnya tuk memapah tubuh sang suami masuk kedalam mobil, sedang Vio trus ia pegangi. Beliau tak menginginkan gadis itu ikut ke rumah sakit.
"Umi.. Umi... Vio ikut Umi.. izinkan Vio ikut, Vio mohon Umi !!" Bujuk Vio sambil berusaha menghampiri mobil ayahnya, namun sang Bunda tetap tak mengizinkannya.
"Nda Vi... sekali Umi bilang nda ya nda, lagi pula Abi belum tentu izinkan Vi ikut... Umi mohon sayaangg, kali ini nurut sama Abi. BIIII... BAWA VI KE KAMAR.. " ujar wanita itu, setelah si Bibi memegangi Vio.. beliau pun langsung masuk ke dalam mobil dan meninggalkan putrinya yang sekuat tenaga berlari mengejar mobil tersebut hingga ia terjatuh.
"Umii... Vio mohon Umi... Uummmiii.. (Tangisnya pecah).. " ia berhenti berteriak karna sudah lelah mengejar sang Bunda.
"Maaf kan Umi sayang..." gerutu bunda Vio ketika sempat melihat Vio jatuh tersungkur di tanah.
Selamatkah Ayah Vio...