"Sabar neng... istighfar, mari bibi antar ke dalam.." Seru Bibi itu berusaha membantu Vio tuk berdiri dan berjalan menuju kamarnya, sedang Vio masih kesegukan menahan tangis. Sesampainya di kamar, Vio langsung duduk di atas tempat tidurnya sementara bibi itu buru-buru keluar tuk mengambilkan air putih. Setelah meneguk segelas air pikiran Vio sudah lumayan tenang, wanita itu pun pamit tuk kembali ke belakang.
"Bii... di sini aja ya temani Vio..." pinta gadis itu dengan suara yang sedikit serak.
"Muhun neng.." jawab sang bibi, beliau pun duduk di bawah tempat tidur Vio.
"Jangan duduk di situ bi, di sini aja bersama Vio.." pinta Vio lagi, namun wanita tersebut nampak ragu-ragu. Vio langsung ikut duduk menemani bibi itu di lantai,
"Vio boleh peluk bibi... ??" Tanya Vio dengan mata yang kembali berkaca kaca. Belum sempat wanita itu menjawab Vio langsung memeluk tubuh bibi tersebut, tangisnya pun kembali pecah. Mungkin saat ini Vio benar-benar sedang membutuhkan sandaran, karna bahu ternyaman adalah satu-satunya tempat yang mampu meredam kepedihan hatinya. sedang sang bunda tengah pergi karna harus menemani sang Ayah.
"Yang sabar neng.. ini semua pasti ada hikmahnya, mungkin ini ujian Allah tuk mengangkat derajat keluarga neng.. Neng Vio harus kuat, doakan saja Abi biar cepat sembuh.." tutur bibi itu seraya mengusap usap kepala Vio, gadis itu pun melepaskan pelukannya.
"Vio hanya nda abis pikir, kenapa Abi setega itu kepada Vio tanpa bertanya dulu apa yg sebenarnya terjadi.. hiks" isaknya.
"Maaf neng jika bibi lancang, sebenarnya bibi juga kecewa sama neng Vio dan mungkin jika bibi jadi posisi Abi bisa-bisa bibi gelap mata memukul neng Vio karna benar-benar malu dan kecewa.." ujar wanita itu.
"Tapi Apa harus seberat ini hukuman yang harus Vio terima bi.. ?? sementara posisi Vio itu hanya membela sahabat Vio yang di hina..." Tanya Vio lagi seakan tak terima dengan keputusan sang Ayah.
"Maksud neng Vio bagaimana.. ?? Ko ceritanya beda sama yg di bilang orangtuanya neng Tere.." ujar bibi itu bingung.
"Maksud bibi gimana.. ??" Tanya Vio terkejut, ia menyeka airmatanya namun nampak lebih bingung dari wanita itu.
"Lagi siang itu orang tuanya neng Tere ke sini, beliau memaki maki Abi yang kebetulan Umi belum pulang dari pengajian. Katanya neng Vio sudah merebut pacarnya neng Tere dan malah mengajak berantem sampai-sampai neng Tere dan neng Vio di keluarkan dari sekolah. Makian ibunya neng Tere itu.. astagfirullah neng.. bikin nyesek di hati. Dan bayangin saja sampai Umi datang beliau masih tetap berkoar koar dan lebih parahnya lagi para tetangga pada ikut nimbrung neng, mereka ikut mencemoohkan dan malah membawa bawa latar belakang Abi yg katanya Haji tapi nda bisa mendidik anak gadisnya. Umi juga sempat pingsan neng..." ungkap bibi itu serius.
"Astagfirullah bi... pantas aja Abi semarah itu hingga sakit jantungnya kambuh, nda seperti itu bi ceritanya... justru Vio lah yang jadi korban.." ujar Vio ia berusaha menjelaskan duduk permasalahannya kepada wanita itu. Secara garis besar si bibi mengerti peristiwa yang menimpa anak majikannya tersebut.
"Ya Allah... tega sekali ya Neng Tere, kenapa neng Vio tidak menjelaskan semuanya itu kepada kepala sekolah.. padahal kan neng Vio yang jadi korban.." ucapnya.
"Udah bi, tapi beliau tetap mengambil keputusan itu. Vio di anggap mencemarkan nama baik sekolah, salah Vio juga karena udah menampar Tere terlebih dahulu. Harusnya kalo Vio bisa cukup bijak, laporkan saja Tere pada Guru BP tapi karna hati Vio udah kesel banget jadi ga sadar nampar Tere.." ungkap gadis itu lagi.
"Bukannya neng Tere itu temen akrabnya neng Vio ya, kenapa tiba-tiba jadi jahat begitu. kasihan juga neng Emil harus mendapat hinaan dari neng Tere." selidik sang bibi.
"ceritanya panjang bi..." tiba-tiba adzan magrib pun berkumandang.
"Iya sudah neng.. ambil hikmahnya saja, ini sudah kehendak Allah semoga kedepannya bisa lebih baik. Sekarang neng Vio bersih-bersih dulu ya jangan lupa tiga rokaatnya, minta petunjuk pada yang Maha kuasa.." ucap wanita itu, Vio pun hanya mengangguk dan langsung bergegas menunaikan kewajibannya. Setelah cukup lama Vio selesai berserah diri pada sang khalik terdengar suara mobil masuk kedalam Garasi, gadis itu pun buru-buru keluar menghampiri mobil tersebut dengan tetap berbalut mukenah. Airmata nya sudah mulai membasahi pipi,
"Umiii... Umii.. " teriaknya, namun yg keluar hanya mamang si tukang supir.
"Mana Umi dan Abi mang... bagaimana keadaannya, antar Vio ke sana mang.. Vio mohon.. " rengek Vio pada laki-laki itu.
"Alhamdulillah Abi sudah sadar dan beliau sudah baikan.. tapi maaf mamang nda bisa antar neng Vio kesana karna Abi melarangnya, beliau hanya menitipkan ini tuk neng Vio.." ucap mamang itu sembari memberikan Vio selembar kertas, gadis itu pun langsung menerimanya. Sebuah alamat terpampang di kertas tersebut,
"Apa ini maksudnya mang.. ??" Tanya Vio bingung.
"Itu alamat pesantren yang harus neng Vio tinggali, tadinya sore itu mau Abi sendiri yang nganterin neng Vio.. tapi karna Abi sekarang sakit jadi neng Vio harus berangkat sendiri.." ujar mamang itu lagi.
"Sendiri mang... ?? di daerah seluas itu.. ?? Tapi Vio mau ketemu Abi dulu mang, Vio mohon.. " pinta Vio lagi.
"NgGiihh neng, sekali lagi maaf.. mamang Nda bisa, mamang Nda mau mengecewakan Abi. Tapi neng Nda perlu khawatir, karna Abi sudah memaafkan neng Vio dan Abi ingin neng Vio kali ini nurut dengan permintaannya tuk bisa mesantren di tempat itu sekaligus sebagai perenungan akan sikap neng selama ini.. Abi juga berpesan agar Neng Vio baik-baik di sana, buat Abi bangga dengan perjuangan neng Vio dalam belajar Agama. Besok mamang akan antar neng Vio di stasiun.." ujar laki-laki itu. Vio sedikit shock namun ia merasa lega karna sang Ayah sudah memaafkan nya, mungkin saat ini maaf Ayahnya itu lebih penting dari pada harus menemui beliau sedang beliau sendiri tak mau menemuinya.. Vio hanya bisa pasrah dan menurut apa yang di inginkan sang Ayah. Meski perasaannya masih kalut dan tertekan, namun ia berharap keputusan sang Ayah akan membawanya pada kehidupan yang lebih baik.