Chereads / Ricketly House / Chapter 6 - Hati yang Tersembunyi

Chapter 6 - Hati yang Tersembunyi

Seorang gadis tengah mendengus kesal saat telinga baru saja mendengar kabar baru dari pria yang selama ini ia cinta.

Pria yang selalu mengusik hatinya, membuat ia senantiasa memberi sepucuk surat dalam dua bulan sekali.

"Kamu yakin?" tanya gadis dengan hijab panjang berwarna putih itu.

Gadis yang bertugas mengantarkan surat layaknya tukang pos mengangguk.

"Kamu tahu dari mana? Selain kamu siapa yang tahu?" tanya gadis bernama Annisa itu.

"Bagas. Kayaknya dia tahu siapa Liona itu, kamu coba aja tanya sama Bagas Nis. Oh iya aku ke kamar dulu, mau ganti baju," ujar teman sekamar Annisa yang bernama Ica itu.

Annisa mengangguk patah-patah. Hatinya berdenyut nyeri mendengar hal itu. Kini ia memiliki saingan, entah ia yang telat atau dia yang jauh lebih unggul.

"Liona? Siapa gadis itu? Kenapa Lion lebih bahagia saat nerima surat dari Liona dibandingkan dari aku? Apa istimewanya dia?" tanya Annisa dalam hati.

Kerena tidak ingin terus bertanya-tanya dengan argument negatif yang terus berkeliaran di kepalanya. Annisa memilih untuk bergegas mencari keberadaan Bagas yang kini tengah mengintip Lion di taman dekat pesantren.

Taman yang sepi, taman yang biasa digunakan Lion untuk membaca beberapa surat dari Liona. Bahkan sampai sekarang Bagas belum menemui dimana Lion menyimpan surat-surat yang telah ia baca.

Pria itu menyimpan berbagai ceritanya rapat-rapat apalagi jika itu berhubungan dengan Liona.

Entah seistimewa apa gadis itu, sampai-sampai temannya ini jatuh hati bahakan sering kali meminta namanya dalam sujud panjang di malam-malam kelamnya.

"Secantik apa sih Liona?" gumam Bagas yang bersembunyi di semak-semak belukar.

Lion sendiri tengah merobek ujung amplop putih itu, setelah ia mengeluarkan selembar kertas berwarna abu-abu.

Matanya fokus membaca setiap kata yang ada di kerta itu.

'Haii Lion....

Apa kabar? Aku harap semua baik. Lion aku kangen, kangen banget.

Bentar lagi kita ketemu, aku harap gak ada yang berubah ya Lion.

Aku gak tahu mau ngomong apa lagi. Aku cuma pengen kita ketemu, aku capek Lion. Orang tua aku sibuk terus aku sendiri. Ayah sama Bunda juga gak pernah kerumah aku, lebih sering aku yang ke sana.

Tapi gak seru Lion, gak ada kamu. Jadi aku cuma bisa tidur di kamar kamu. Lion cepet pulang. Aku kangen....

Liona si cantik wkwk..'

Ujung sudut bibir Lion terangkat, ada rasa bahagia saat mengetahui bahwa gadis yang ia cintai juga merindukannya.

Rasa rindu yang sama dengan apa yang dia rasakan. Rasa rindu yang perlahan membunuh keduanya.

Tapi dilain sisi hati Lion terenyuh sakit, ada rasa iba dalam hatinya. Mengapa Liona harus menghadapi hidup serumit itu?

Liona hanya menginginkan kasih sayang yang lengkap dari kedua orang tuanya, tapi hal itu tidak bisa ia dapatkan.

Mungkin Liona harus banyak bersabar demi mendapatkan kasih sayang itu. Ujiannya yang ia hadapi jelas dalam perasaan, berbeda dengan Lion. Ia mendapat semuanya, hidupnya teramat sempurna dalam mata Liona. Tapi tidak ada satupun yang tahu bahwa Lion dan keluarganya menyimpan satu rahasia.

"Aku bahkan gak tahu hidup menyenangkan itu kayak gimana. Aku gak tahu jenis keberuntungan apa yang aku miliki? Aku gak tahu Liona, aku cuma tahu kalau aku hanya ingin membahagiakan kamu," gumam Lion.

Bagas yang mendengar hal itu kini mulai bertanya-tanya, apa yang disembunyikan Lion sebenernya? Apa hal yang selama ini coba Lion tutupi? Selain cintanya pada Liona! Apa?

Sesuatu dengan lincah merayap naik ke tubuh Bagas. Membuat setiap jejak dalam tubuhnya dan menimbulkan rasa gatal.

"Kok gatel ya?" gumam Bagas sambil melirik ke arah kakinya.

"Astagfirullah! Ulat!" teriak Bagas membuat Lion menoleh dan kaget.

"Bagas?"

"Ulat!" sekali lagi Bagas berteriak dan berlari berhamburan menuju Lion. Ia bergegas menggerakkan badannya seolah sedang menari. Meliuk ke sana kemari mengenyahkan ulat bulu yang ada di kakinya.

"Ehhh! Sini gue bantu. Diem dulu Bagas!" gerutu Lion. Sudah ketahuan menguping kini Bagas justru menambah kemalangan yang terjadi padanya.

Bagas menurut dan berhenti bergerak membiarkan Lion membuang ulat bulu yang ada di kakinya. Ulat berukuran jempol itu sangat menggelikan. Terutama bagi Bagas yang memiliki trauma dengan ular itu, jijik dan mengerikan.

"Udah," balas Lion sambil menghela napas panjang.

Bagas menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Menundukkan kepalanya merasa tidak enak.

"Ayo siap-siap sarapan," ajak Lion seolah melupakan bahwa Bagas telah mendengar keluhannya.

"Tunggu!" cegah Bagas. Bagaimana pun ia harus meminta maaf karena lancang menguping. Ia juga tidak ingin karena ulahnya itu hubungan antara dirinya dan Lion terganggu.

"Apa?" tanya Lion datar. Ia sebenarnya tidak marah, tapi moodnya saja yang tiba-tiba hancur. Mungkin karena ia tidak bisa berada di dekat Liona padahal gadis itu tengah membutuhkan pertolongannya.

"Gue minta maaf Lion. Gue gak bermaksud..."

Sebelum melanjutkan kalimatnya, Lion terlebih dahulu menyanggahnya.

"Gak papa, gue gak marah kok. Gue tahu lo pasti kepo kan? Ada waktunya buat nanti gue cerita apa yang sebenarnya terjadi, tapi buat kali ini gue belum bisa. Gue perlu waktu. Lo paham kan?" jelas Lion.

Bagaimana ia percaya Bagas bisa menjadi teman yang baik, bukan hanya teman, Bagas jauh lebih dari itu. Tapi di lain sisi ia memerlukan waktu untuk berbagi cerita dengan Bagas. Itu jelas bukan hal yang mudah. Sungguh!

"Gue ngerti, tapi gue cuma mau bilang...Lo harus bisa tegas! Lo tahu kan Annisa juga suka sama lo, gue gak mau Annisa berharap lebih. Gue ngomong kayak gini sebagai temen lo. Gue jelas lebih dukung hubungan lo sama Liona, gue tahu rasa cinta yang lo punya buat Liona jauh lebih gede dibandingkan rasa cinta yang nantinya akan hadir diantara lo sama Annisa. Bentar lagi ulang, dan kita bakalan pisah. Terutama lo sama Annisa, ngomong baik-baik sama dia. Gue gak mau kita pergi, tapi ada yang terluka," saran Bagas.

Dalam hal ini ia hanya ingin menjadi teman yang baik. Baik bagi Liona maupun Annisa. Liona, gadis yang tidak ia kenali tabiatnya, sedangkan Annisa gadis yang jelas selalu ada dalam pandangan matanya. Ia jelas lebih tahu sikap dan sifat Annisa, tapi dalam pandangan matanya jelas Annisa tidak memiliki tempat di hati Lion.

Hati pria itu telah beku pada satu gadis, Liona. Dan jika ia memaksa Lion untuk menerima cinta Annisa bukan hanya Lion yang menderita, tapi juga Liona dan dikemudian hari mungkin Annisa.

Semilir angin menerpa ujung rambut Lion, pria itu menatap hamparan langit yang mulai berwarna biru terang, menghela napas berat dan panjang.

"Gue akan ngomong baik-baik sama Annisa, tapi gue mohon jangan tanya soal Liona. Nanti saat kita sekolah SMA lo akan tahu siapa Liona," tuntas Lion.

Hari yang cerah dengan langit yang sama juga rindu yang sama. Hari yang dipenuhi cerita dua anak manusia yang saling memendam perasaan dalam jarak juga situasi yang kurang kondusif bagi keduanya.