Hari kian berlalu, waktu terus berjalan begitu cepat, secepat pertemuan antara Lion dan Liona.
Keduanya kini hanya menanti jam berdenting, esok hari Liona akan menggelar acara kelulusan dari bangku putih biru, tapi Lion berbeda.
Waktu paling berharga, paling dinanti keduanya akan segera tiba. Liona kini tengah memilih beberapa gaun yang akan ia kenakan esok hari sedangkan Lion tengah asik menata hatinya untuk berterus terang nanti sore di hadapan Annisa.
Sesuai ucapannya pada Bagas, hari ini setelah masa ujian selesai, Lion akan menjelaskan setiap perkara yang selama ini mungkin mengganjal kepala Annisa, membuat Annisa gundah, apa Lion menyambut hari perasaan atau hanya teman biasa.
"Lo dah siap?" tanya Bagas sambil menepuk bahu teman sekamarnya itu.
Lion menganggukkan kepalanya patah-patah. Jika mengikuti isi hati, ia ingin sekali menolak hal ini. Menolak kejadian ini, ia hanya ingin kehidupan yang bahagia bersama Liona. Cukup! Liona menjadi hal yang paling ia inginkan juga pelengkap sebagai kisahnya.
"Tenang, gue anter kok. Gue kan saksi, jadi gak usah tegang gitu!" bujuk Bagas. Pria itu tampak santai menghadapi kasus sahabatnya, lagi pula Annisa bukan wanita yang mudah untuk ditaklukkan juga bukan wanita yang tak mudah mendapatkan pasangan. Tapi sayang, kecantikan gadis itu tidak bisa mengikat hati Lion.
"Iya. Yaudah kita ngaji dulu. Masih ada waktu 2 jam," ajak Lion.
Bagaimanapun kegiatan masih panjang, dua hari lagi barulah mereka bisa bernapas lega dan bisa berbaur lebih jauh pada dunia.
Keduanya bergegas menuju masjid utama, bergabung dengan santai lainnya dan memulai kegiatan mengaji.
Satu jam berlalu, kegiatan itu selesai dengan Lion yang jauh tampak lebih baik. Hatinya jauh lebih tenang setelahnya.
"Yu!" ajak Bagas yang bergegas menyeret Lion menuju taman belakang pesantren itu. Taman yang sering Lion datangi saat suntuk dan membaca beberapa surat dari Liona.
Lion mengangguk dan bergegas mensejajarkan derap langkahnya dengan Bagas.
Sepertinya dalam hal ini Bagas yang lebih bersemangat, ada apa dengan teman sekamarnya ini? Apa hal ini sangat menganggumkan baginya?
Saat hendak menginjak rumput hijau di area taman, Lion tiba-tiba menghentikan langkahnya. Ia termenung beberapa detik dan menatap dua wanita yang ada di depan sana.
"Kenapa sih?" tanya Bagas jengkel.
Lion menelan ludahnya kasar, ia mulai gugup lagi. Bukan karena ia memiliki perasaan yang sama dengan apa yang Annisa rasakan, tapi justru rasa bersalah yang semakin meningkat seiring dengan wajah Annisa yang tampak bahagia.
Keceriaan itu akan usai saat Lion mengatakan perasaannya yang jelas tidak akan pernah Annisa bayangkan. Bahwa selama ini pria yang ia cintai justru mencintai wanita lain.
"Jangan ragu Lion. Lo harus tegas!" tegas Bagas.
Dengan susah payah Lion menarik napasnya dalam-dalam. Ya! Bagaimana pun ia harus tegas. Ia tidak ingin membuat masalah yang simpel ini menjadi semakin rumit.
"Ayo!" ajak Bagas untuk yang kesekian kalinya.
Lion kembali mengangguk. Annisa di depan sana tampak tersenyum lebar dengan rona merah di pipinya, ia bahagia akhirnya Lion mau membicarakan hal penting dengannya.
Perasaannya dengan mudah mengangkasa, seolah ia benar-benar akan mendapatkan kebahagiaan dari rasa sabarnya selama ini. Ia akan mendapatkan satu kejutan yang selama ini ia nantikan.
Teman sekamar Annisa yang juga sering menjadi tukang pos, mendengar derap langkah Lion dan Bagas. Ia menoleh dan bergegas menyikut lengan temannya itu.
"Kenapa sih An?" tanya Annisa masih dengan wajah yang malu-malu.
"Lion udah datang. Liat ke sana," ujar Ani.
Tatapan Annisa dan Lion bertemu selama beberapa detik, membuat desir darah Annisa semakin berdenyut-denyut.
Beda halnya dengan Lion. Ia justru merasa bersalah, tapi apa yang bisa ia perbuat? Cinta itu tidak bisa dipaksakan. Jelas bukan hal mudah menerima seseorang yang selama ini hanya ia anggap sebagai teman.
Lagi pula, ada hati lain yang selama ini ia harapkan. Egois? Tentu, dalam hal cinta siapapun itu pasti egois. Merasa paling benar dengan pilihannya, seolah dunia akan runtuh jika tidak bersamanya.
Sering kali pecinta menempatkan hati dalam kendali kehidupan, membuat hidupnya gundah dengan derap langkah yang patah-patah. Semakin berat jika tidak bersama dengan hati yang sama. Sungguh pecinta bukan hanya egois, tapi juga bodoh. Karena terus berpayung rasa juga asa.
"To the point aja deh!" celetuk Bagas mempersingkat waktu.
"Gue minta maaf Nis," cicit Lion dengan suara pelannya.
"Minta maaf buat apa?" tanya Annisa dengan hati yang tiba-tiba berdenyut nyeri.
"Feeling gue kok gak enak ya," batin Ani dalam hati.
Jemari tangan Annisa mulai terasa lengket, ia berkeringat. Ia takut dengan apa yang akan diucapkan Lion.
"Gue minta maaf karena gue gak bisa terima cinta lo. Gue bener-bener gak bermaksud buat ngasih lo harapan, lo seharusnya tahu saat gue lebih memilih gak baca surat-surat itu. Bagas yang selama ini baca surat-surat itu dan lo juga tahu kan, kalau gue gak pernah bales surat itu. Gue tahu, gue juga salah. Sekali lagi gue minta maaf karena gak bisa nerima perasaan lo. Kayaknya itu udah lebih dari cukup, gue sama Bagas pamit," jelas Lion to the point sesuai dengan apa yang Bagas minta.
Saat hendak membalikkan badan dan melangkah menjauh, Annisa terlebih dahulu bersuara dengan nada yang amat memilukan.
"Siapa? Siapa yang berhasil curi hati lo?" tanya Annisa dengan suara yang tercekal. Kedua bola matanya mulai mengembun, sebisa mungkin ia menahan cairan bening itu agar tidak tumpah di depan pria yang selama ini ia cintai.
Bagaikan disambar petir disiang bolong, hatinya hancur berkeping-keping, tak bersisa dan meninggalkan goresan-goresan yang semakin menyayat jantungnya.
Kakinya serasa lumpuh, ia sangat ingin jatuh tertunduk dan menangis sekencang mungkin, tapi ia tahu. Semua manusia memiliki rasa sakit dalam cinta, tapi sungguh ini bukan rasa sakit, tapi derita, luka dan kehancuran.
"Apa dia Liona?" tanya Annisa setelah menarik napas lebih dalam.
Ani memegang jemari kanan Annisa menguatkan. Dugaannya benar, Liona adalah gadis yang selama ini dicintai Lion. Hubungan keduanya jelas sudah sangat dekat dan mungkin lebih kuat dibandingkan cinta Annisa. Terbukti dengan Lion yang selalu riang saat mendapatkan surat dari Liona.
Lion diam, ragu-ragu ia mengangguk. Kepalang basah, lebih baik ia jujur agar tak ada lagi hal yang bisa Annisa pertahanankan. Annisa harus bisa bangkit dan pergi menjauh dari kehidupannya, karena memang itu yang biasa dilakukan para pecinta jika patah hati. Menjauh sejauh mungkin bagaikan ditelan bumi.
"Gue harap lo gak benci sama gue. Lupain gue Nis, diluar sana banyak lelaki yang jelas lebih cinta sama lo. Gue pamit," tuntas Lion.
Tidak ingin berlama-lama ditempat itu, Lion dan Bagas akhirnya pergi menjauh meninggalkan Annisa dengan hati yang hancur.
Pertahanan gadis itu luruh. Ia tersungkur jatuh di hamparan rumput hijau yang ada di depannya, tangisnya pecah dengan tangan yang terus memukul dada.
"Gue sakit, gue gagal, gue kalah."
Pertama kalinya ia jatuh cinta dan langsung mendapatkan rasa sakit dari cinta pertama itu.
Cinta, hal yang membuat siapapun akan berjuang, mengorbankan segala hal yang ia miliki hingga akhirnya ia sadar bahwa cinta yang ia perjuangkan hanya dibalas duri kenyataan.