Chereads / Ricketly House / Chapter 13 - Jalan Cerita

Chapter 13 - Jalan Cerita

Pukul 7 pagi keempat berangkat menuju pondok pesantren Lion dengan menumpangi mobil Avanza warna hitam milik keluarga Lion.

Liona duduk di belakang bersama dengan Lion, Liona dan Lion tampak serasi. Warna baju keduanya sama, krem.

Baru saja mobil milik Lion akan melewati pintu pagar rumahnya, mobil milik keluarga Bagas justru menghadang mobil Lion.

"Heyyy!" gerutu Ayah.

Bagas dengan wajah tanpa dosa menyembulkan kepalanya di balik kaca pintu penumpang bagian belakang.

"Tayo," gurau Bagas. Pria itu tersenyum penuh kemenangan dengan wajah cengo Ayah Lion.

"Astagfirullah Bagas!" gerutu Ayah.

"Maaf Ayah," balas Bagas masih dengan senyum mengejeknya.

Baik Bagas maupun Lion sama-sama anak tunggal, juga Liona.

"Duluan Yah, nanti mobil Bagas nyusul di belakang," ucap Bagas.

Ayah mengangguk, supir keluarga Bagas bergegas memundurkan bodi mobilnya yang menghalangi laju mobil Lion.

Keluarga Bagas hampir sama dengan keluarga Lion, hanya berbeda di pekerjaan juga kekayaan.

Jika ditilik dari bidang ekonomi, kekayaan keluarga Bagas hampir sama dengan Liona. Hanya saja Bagas memiliki keluarga yang utuh dengan Nenek dan Kakek masih ada. Bahkan kini keluarga Bagas berangkat bersama menuju ke pondok pesantrennya, sama-sama merayakan hari paling penting dalam hidup Bagas.

Awal dimulainya kehidupan remaja selalu dinanti banyak orang tua, tapi banyak dari mereka yang tidak mempersiapkan mental dengan baik juga pola didik.

Sering kali mereka melepas begitu saja putra-putri mereka hingga sebagian salah jalan. Ada juga yang terlalu dikekang hingga menganggap rumah bukan lagi tempat pulang.

Beda dengan Liona, ia tidak dikekang tidak juga di bebaskan, ia hanya digunakan saat berprestasi, di pamerkan layaknya lukisan di pameran, bukan karena kedua orang tuanya tidak mau, tapi kedua orang tuanya terlalu sibuk hingga tak sempat mengajak Liona, lagi pula Liona lebih senang jika menyendiri walau sepi.

Sepanjang perjalanan suasana hening menghampiri mobil Lion.

Para anggota tampak asik dengan kegiatan masing-masing, hanya Bunda dan Ayah yang sering kali bercengkrama.

Lion lebih memilih tidur sedangkan Liona memilih untuk berselancar di dunia maya.

Ada beberapa notifikasi pesan yang masuk, selain itu ada beberapa yang memberikan komentar di akun sosial medianya termasuk Rio. Entahlah pria itu entah ingin apa.

"Bales wa gue!" gerutu Rio di pesan akun media sosial Liona.

Cih, ujar Liona saat membaca pesan itu.

Dalam kurun waktu 3 tahun Rio memang sering kali menghubunginya, tapi tidak sesering akhir-akhir ini. Kadang pria itu hanya menghubungi Liona saat ada kepentingan, tapi sekarang? Entah apa yang diinginkan pria itu.

"Ngapain sih ni orang chat gue mulu! Kurang kerjaan apa? Atau buku bacaan dia abis?" gerutu Liona.

Bunda yang tidak sengaja mendengar gerutuan Liona, ia menoleh dan menatap wajah Liona yang masih tampak murung.

"Sayang," ucap Bunda.

Liona mengalihkan tatapannya, mengernyitkan dahinya dan bertanya, "Iya Bun?"

"Kamu kenapa?" tanya Bunda.

"Ehhh...emm gak papa kok Bun," balas Liona kikuk. Tidak mungkin ia menceritakan masalah Rio, lagi pula apa pentingnya membahasa pria itu.

"Yakin?" tanya Bunda lagi.

"Iya Bunda sayang," balas Liona jauh menyakinkan.

Setelahnya Bunda tidak lagi membahas kemurungan Liona, ia kembali mengobrol dengan Ayah. Membicarakan banyak hal, kadang kala tertawa kadang kesal. Pasangan suami istri itu tampak jauh lebih bahagia ditengah kesederhanaan.

Membuat Liona yang melihat secara langsung kejadian itu terenyuh, ia ingin mendapatkan keluarga yang rukun seperti keluarga Lion.

Sebanyak apapun ia membandingkan keluarga Lion dengan keluarganya maka dalam kasih sayang keluarga Liona tetap kalah.

Sejauh apapun ia berangan-angan akan kehidupan keluarga yang rukun, maka hasilnya akan tetap sama.

Jadi lebih baik diam dan menikmati sensasi di tengah-tengah keluarga yang amat penuh dengan kesepian juga kesibukan dunia.

Setelah puas memperhatikan keluarga kecil itu, Liona kembali fokus dengan ponselnya.

30 menit berlalu, ia mulai merasakan kedua bola matanya berat, kantuk mulai menyerangnya.

Tanpa sadar 10 menit berikutnya Liona sudah terlelap dengan berbantalkan bahu Lion yang kekar.

"Ayah," gumam Bunda.

Ayah yang tengah menyetir dan kebetulan lampu merah di depan menghentikan kegiatannya, ia menoleh dan menatap dua wajah polos yang kini tengah terlelap.

"Manis," ucap Ayah.

Bunda menganggukkan kepalanya, ia setuju dengan apa yang dikatakan suaminya.

Lion dan Liona memang tampak manis saat tengah tertidur. Wajah polos keduanya tampak menyejukkan mata. Membuat mereka terpana dengan apa yang ada di depan sana. Melupakan sejenak akan rasa lelah dan khawatir.

Perjalanan masih panjang dan jam sudah menunjukkan pukul 08.30, itu artinya tersisa waktu 30 menit sebelum acaranya dimulai.

Jalanan cukup ramai, bahkan berkali-kali mereka terjebak kemacetan.

"Kayaknya kita bakalan telat deh," ucap Ayah dengan mata menatap ke kanan dan kiri jalanan.

"Mau gimana lagi, kalian sih bangunnya telat!" gerutu Bunda.

"Ehhh! Anak kamu tuh yang susah bangun. Kayak gak pernah mondok aja!" balas Ayah.

Dari pada melanjutkan pertengkaran unpaedah itu, Bunda memilih untuk memainkan gawai pintarnya.

"Ehhhh! Malah dicuekin!" gerutu Ayah.

Bunda tetap acuh, asik berkirim pesan dengan pemilik pondok pesantren, mengatakan bahwa mereka akan terlambat datang.

Beberapa orang tua murid juga aktif saling menghubungi di grou khusus orang tua murid.

Bunda asik membalas satu persatu pesan yang menandai dirinya, bahkan orang tua dari murid yang bernama Annisa menghubungi secara pribadi.

Bunda tidak sedikitpun menaruh curiga pada ibu Annisa itu, ia menganggapnya hanya sebagai teman. Terlepas dari kedua putra-putrinya yang terlebih sekandal.

Yang satu jatuh cinta yang satu menolak, itulah kasus yang sering terjadi di kehidupan yang sebenarnya.

Cinta antara teman sering kali mendatangkan lara. Banyak hal yang sulit dijelaskan dalam cinta itu, itu sebabnya hubungan Liona dan Lion tampak spesial.

"Astagfirullah macet Bun. Jam berapa sekarang?" tanya Ayah. Matanya tak pernah lepas dari jalanan yang panjang itu.

Matahari bersinar dengan terang, membuat jalanan semakin ramai dengan bunyi klakson pengendaranya.

"Jam 8.45 Ayah. Bunda udah bilang kok sama mereka kalau kita bakalan telat, Ayah santai aja," jelas Bunda.

Akhirnya Ayah bisa menarik napas lega, ia bisa menyetir dengan santai tanpa harus menyalip beberapa kendaraan besar yang menghambat laju jalan.

Setidaknya mereka bisa sampai sebelum mendali dikalungkan di leher Lion.

"Bangunin mereka Bun, tar baju mereka pada kusut," ujar Ayah.

"Enggak ahh, kasian lagi anteng juga. Udah Ayah fokus nyetir aja!" balas Bunda enggan. Ia tidak tega membangun dua pasang mata yang tengah terlelap itu.

Bunda tahu, semalam Lion pasti kurang tidur, Liona? Entah, tapi bisa dipastikan Liona juga tidak ingin terjaga seorang diri karena hal itu jelas membosankan.

"Sekarepmu Bun," tuntas Ayah. Sekali bendahara keluarga berucap maka tidak ada seorangpun yang bisa membantahnya. Dengan cara apapun hasilnya tetap nihil.

Bunda balas tersenyum, kali ini raja itu kalah dan ia bisa kembali fokus berchating ria dengan ibu dari Annisa itu.

"Lion udah ada yang punya Bu, Liona calon Lion." balas Bunda dengan bangga saat percakapan keduanya tengah membahas soal masa depan kedua putra-putrinya. Terutama perihal cinta.

"Jadi Lion beneran dateng sama Liona," ucap seorang gadis yang kini tengah menggenggam erat ponsel milik ibunya.

Dan sekali lagi hati gadis itu patah. Tindakannya kali ini berujung duri. Semua semakin jelas, kini ia hanya akan bisa menanti kedatangan Lion dengan Liona. Maka semua akan berkahir.

Cintanya patah untuk selamanya.