Kedatangan Lion dan keluarganya disambut antusias pemilik pondok pesantren, para tamu undangan bahkan berdiri menyambut kedatangan satu keluarga itu.
Lapangan olahraga itu di sulap menjadi ruang terbuka untuk kelulusan para santri tahun ini.
Lion dan Bagas terpilih menjadi santri dengan nilai ujian nasional paling tinggi satu angkatan.
Lion diurutkan pertama, Bagas kedua dan di posisi ketiga ada Annisa yang tengah menahan rasa sakit dalam hati.
Liona melangkah dengan anggun bersama Bunda. Gadis itu tersenyum beberapa kali pada orang tua santri yang lain.
Setelah sambutan tepuk tangan, Lion dan Bagas memisahkan dirinya ke barisan santri di kelas masing-masing, sedangkan keluarganya pergi ke barisan khusus orang tua santri.
Acara kembali berlangsung dengan khidmat, sampai pembagian mendali juga piagam penghargaan dan sertifikat pemenang.
Kedua orang tua Lion dan Bagas bertepuk tangan ria saat putra mereka bisa maju ke depan dan menerima penghargaan itu.
Hasil ujian ulang memuaskan, kebanggaan tersendiri bagi kedua orang tua itu.
"Selamat Lion," ucap kepala pondok pesantren.
"Terima kasih pak," balas Lion.
Setelahnya Lion dan Bagas kembali duduk, beberapa teman sekelas keduanya mengucapkan selamat atas hasil ujian mereka.
"Baik, acara selanjutnya. Ucapan terima kasih dari Lion, juga beberapa pesan dan kesan, untuk tempat dan waktu kami persilahkan," ucap pembawa acara kelulusan hari ini.
Lion melekatkan satu buket bunga, piala dan piagam di kursi yang tadi ia duduki.
Kini ia melangkah menuju panggung, bersiap memulai pidatonya hari ini. Pidato tanpa text.
"Assalamu alaikum, selamat siang semuanya, selamat atas kelulusan kalian. Teman kita memang patuh bangga pada diri sendiri atas perjuangan kurang lebih 3 tahun, tapi sebelum itu mari kita mengucapkan kalimat syukur pada Tuhan.
Atas izinnya kita bisa lulus hari ini dan merasakan rasa bahagia yang tiada tara. Teman, ini bukan akhir dari dunia pendidikan, ini awal baru dunia pendidikan di jenjang yang lebih tinggi. Teman, mari kita mengucapkan terima kasih pada kedua orang tua kita, guru juga teman-teman seperjuangan. Selain itu saya pribadi ingin mengucapkan terima kasih pada satu teman saya, Lio, teman yang selama ini mendukung saya dengan surat-surat yang ia kirimkan secara pribadi untuk saya. Terima kasih Lio, selebihnya saya benar-benar berterima kasih atas jasa para guru. Terima kasih telah mendidik kami semua. Sekian saja yang bisa saya sampaikan, karena jika diteruskan akan sangat panjang dan menyita waktu. Sekian dan terima kasih."
Tepat saat kata terakhir keluar dari mulut Lion, tepuk tangan menggelar memenuhi lapangan olahraga itu.
Lion melangkah dengan tertunduk menuju kursinya. Akhirnya ia berani mengungkapkan kalimat terima kasih itu.
Ia benar-benar bisa membuktikan bahwa Liona bukan hanya teman biasa, teman masa kecil, sahabat, Liona jelas lebih dari itu.
"Gila lo bro! Salut gue!" puji Bagas atas keberanian sahabatnya itu.
Lion balas tersipu malu. Ia juga tidak pernah memikirkan kalimat itu akan keluar di panggung kelulusan, tapi mungkin ini cara terbaik untuk memberikan satu kenangan indah pada Liona.
Disaat Lion mengucapkan terima kasihnya pada Liona, mata pria itu benar-benar menatap manik mata Liona, fokus pada gadis itu seorang.
Membuat Liona tersipu malu, beberapa pasang mata balas menatap Liona menyelidiki terutama mata kedua orang tua Annisa juga mata Annisa dan teman-temannya.
"Jadi itu Liona," bisik-bisik itu terdengar jelas di telinga Annisa.
Beberapa temannya masih saja membicarakan Liona bahkan setelah Lion kembali duduk di sana.
"Kenapa? Apa hebatnya dia?" tanya Annisa dalam hati.
Matanya memanas menatap punggung Lion yang ada di depannya. Pria itu berkali-kali tersenyum saat teman-temannya mengejek akan keberanian Lion barusan.
"Harusnya gue yang ada di posisi Liona, bukan dia! Dia gak tahu siapa lo!" gerutu Annisa iri.
3 tahun jelas bukan waktu yang singkat untuk menyimpan perasaan cinta. Ia bahkan harus berancang-ancang dalam mengungkapkan perasaan itu. Sungguh itu bukanlah hal yang menyenangkan dengan akhir yang benar-benar menyesakkan dada.
Lihat! Hari ini seharusnya ia bahagia. Segala bayang akan rasa bahagia itu telah terekam dengan jelas jauh-jauh hari. Membayangkannya saja sudah membuat Annisa senyum-senyum sendiri, tapi sayang itu hanya halusinasi semata.
Semua berakhir, benar-benar berakhir. Ia justru mendapatkan rasa sakit dari pengharapan. Ia terjatuh dengan cinta yang mulai pergi perlahan.
Lapangan itu kembali riuh. Setelah acara selesai, beberapa santri mulai melakukan sesi foto-foto. Lion sendiri setelah mengambil beberapa foto dengan teman sekelas dan sekobongnya, lantas pergi menemui Liona juga keluarganya.
Lion mengecup singkat pipi Bunda, lalu memeluk Ayah dan terkahir menerima sebuket bunga mawar putih dari Liona.
"Happy graduation Lion, semoga ilmunya bermanfaat," ucap Liona.
"Makasih Lio," balas Lion malu-malu.
"Ehhh kita foto yu," ajak Bunda.
Lion dan Liona yang masih malu-malu mengangguk samar.
Bunda bergegas membuka kamera digital yang ia bawa di tasnya, memberikan kamera itu pada salah satu santri yang melintas.
"Tante bisa minta tolong gak?" tanya Bunda memastikan bahwasanya santri itu bisa membantu.
"Bisa Tante," ucapnya.
"Tolong fotoin ya," lanjut Bunda sambil menyerahkan kamera itu.
1 2 3 4 entah sudah berapa kali mereka bergaya di depan kamera. Rasanya masih kurang, Bunda terus memaksa mereka untuk bergaya di depan kamarnya.
"Ehhh udah deh!" ucap Bunda entah dijepretan yang keberapa.
Santri itu balas tersenyum hangat dan memberikan kembali kamera milik wanita setengah baya yang ramah itu.
Bunda memberikan dua lembar uang berwana biru pada santri itu sebagai tanda terima kasih dan untuk bekal jajan.
Awalnya santri itu menolak, tapi karena paksaan Bunda akhirnya ia menerima uang itu.
"Terima kasih Tante, semoga rezeki Tante dan keluarga makin banyak dan berkah," ucap santri itu.
"Sama-sama. Semoga kamu makin pinter, sehat dan sukses ya. Makasih udah mau Tante repotin," balas Bunda.
Setelah santri itu pergi kini gantian Bunda yang menjadi fotografer dadakan.
"Liona, Lion ayo foto!" pinta Bunda.
Liona dan Lion terpilih menjadi model Bunda hari ini. Ayah otomatis tersingkir.
"Kok Ayah gak diajak Bun?" tanya Ayah dengan mata puppy eyes.
"Kita udah tua, giliran yang muda!" balas Bunda.
"Ayo cepetan bergaya!" lanjut Bunda.
Terpaksa, tapi penuh kebahagiaan hati. Liona dan Lion bergaya di depan kamera. Ada batas antara tubuh keduanya, tapi tetap tampak serasi.
"Lagi dong! Lion senyum nak," pinta Bunda sambil mengarahkan gaya keduanya.
Lion menurut tersenyum dan kembali bergaya, Liona juga melakukan hal yang sama.
Kegiatan keluarga kecil itu tak lepas dari pandangan mata Annisa.
Gadis itu tersenyum kecut dengan apa yang terjadi di depan sana. Kedua bola matanya kini sempurna menatap binar bahagia di wajah Lion.
Pria itu bahagia bukan hanya karena kelulusan hari ini, tapi juga karena Liona yang berdiri di sampingnya.
"Lupain Lion! Dia jelas lebih cinta sama Liona. Dan cinta mereka lebih kuat juga lebih besar dibandingkan cinta lo. Cinta mereka bukan cinta murahan, jadi lo harus bisa ikhlas," ucap seorang pria jujur.
Ia tentu tidak ingin pertemanan Lion dan Annisa hancur, jadi bagaimana pun ia harus bisa menjadi penengah. Mengambil posisi yang labil. Berpikir logis dan bisa diandalkan.
"I know it, makasih," balas Annisa lesu.
Sampai kapanpun cinta yang bertepuk sebelah tangan hanya akan menjadi angan semata.