Chereads / Ricketly House / Chapter 19 - Langit Pagi

Chapter 19 - Langit Pagi

Keesokan paginya, Liona kembali bangun paling awal, menyiapkan sarapan pagi untuk keluarga Lion juga dirinya dan Bagas.

Bunda membantu setelah mencuci pakaian, dengan bantuan Bunda pekerjaan jadi lebih cepat.

Tepat pukul 6 sarapan siap, Bunda naik untuk membangunkan Lion dan Bagas juga membangunkan Ayah.

Ketiga pria itu melangkah gontai dengan sisa kantuk juga rambut berantakan.

"Masak apa Bun?" tanya Ayah.

"Sup iga, kerupuk sama capcay," jawab Bunda sambil memberikan sepiring nasi juga lauknya pada Ayah.

Ayah mengangguk, tangan merayap meraih segelas air putih meminumnya hingga tersisa setengah, barulah menyantap nasi dan kawan-kawannya.

Lion dan Bagas melakukan hal yang sama, disusul Liona yang duduk di samping Lion sedangkan Bagas berada di seberang Lion.

"Enak banget Bun," puji Bagas dengan cita rasa sup iga yang masuk ke mulutnya barusan.

"Itu Liona yang masak, Bunda cuma masak capcay," balas Bunda sambil melirik ke arah Liona yang kini tertunduk malu.

"Wahhh, mantu Ayah makin pinter masak aja. Bisa gendut Ayah," celetuk Ayah enteng.

"Walah! Dah dicomot jadi calon mantu aja. Padahal Bagas baru mau gerak," balas Bagas memantik gelak tawa, tapi tidak dengan Lion yang balas menatap tajam.

"Kalem Lion, gue gak akan nyalip kok," lanjut Bagas.

"Diem lo," cicit Lion pelan. Bisa-bisanya Bagas membuat lelucon yang tidak lucu itu. Apalagi ada kedua orang tuanya, astaga!

"Beres sarapan Lio izin pulang ya Yah, Mami udah wa Lio, suruh pulang katanya," jelas Liona.

Ia sebenarnya masih ingin bersantai di rumah Lion, tapi Mami sudah memintanya untuk pulang. Biasanya ada hal yang akan dibicarakan dan itu penting. Biasanya!

"Ada acara di rumah?" tanya Bunda.

"Gak tahu Bun, mungkin iya. Biasanya kan juga gitu," balas Liona santai.

Siapa yang tidak mengenal perangai Maminya itu. Setiap kali ada acara dan Liona tengah diluar maka ia akan dipaksa pulang tanpa bantahan dan ujung-ujungnya dipamerkan di depan teman arisan atau rekan bisnis sebagai pewaris satu-satunya kerjaan bisnis yang ia dan suaminya bangun.

Hal yang paling membanggakan bagi seorang ibu kala mendapati bahwa putra-putrinya berprestasi dan bisa dibanggakan. Jika tidak dari prestasi setidaknya wajah yang rupawan.

"Yaudah, nanti Lion yang anter. Bagas bisa pulang sendiri kan?" jelas Ayah.

Bagas mengangguk dengan mulut yang penuh dengan nasi. Sejak tadi Bagas hanya menguping, lebih baik sarapan dari pada mengurusi hidup orang lain.

Lagi pula ia baru mengenal keluarga Lion dan Liona secara langsung, jadi masih agak canggung dan kurang baik jika ikut campur.

Tiba-tiba saat suasana sarapan pagi kembali tenang, ponsel Bagas berbunyi, ada panggilan masuk tertera dilayar ponselnya.

"Sebentar," pamit Bagas.

Ia melangkah menjauh dari meja makan. Telpon itu dari bundanya, tidak baik mengangkat telpon di meja makan, itu yang diajarkan kedua orang tuanya.

"Hallo, kenapa Bun?" tanya Bagas to the point.

"Kamu masih di rumah Lion?" tanya Bunda Bagas.

"Kenapa emangnya?" tanya Bagas balik.

Firasat gue kok gak enak ya, gumam Bagas dalam hati.

"Pulang sekarang, nanti siang Ayah mau ajak kita ketemu sama rekan bisnisnya. Ayah mau kamu ikut, anak rekan bisnis Ayah juga ikut," jelas Bunda.

Wajah Bagas berubah masam mendengar kata bisnis. Rencananya hari ini Bagas akan duduk santai di depan televisi sambil memainkan game, bukan ikut mengobrol bersama orang dewasa yang membahas bisnis.

Bagas memang menyukai hal-hal yang berkaitan dengan bisnis, tapi tidak semua hal ia sukai, kadang jika moodnya tidak bersahabat maka Bagas orang pertama yang akan mengutuk pintu bisnis itu.

Tapi jika dilihat secara kaca ekonomi, bisnis memang menjanjikan. Apalagi dizaman yang serba digital ini.

Bisnis start up menjamur di berbagai belahan dunia, tak dipungkiri pebisnis muda mulai bermunculan hanya soal waktu Bagas akan menjadi salah satu dari jejeran pebisnis muda Indonesia.

"Iya. Yaudah siapin baju buat Bagas. Bagas tutup ya," ucap Bagas mengakhiri sambungan telpon itu.

Ia lantas bergegas kembali ke meja makan. Menyuap satu sendok penuh nasi, lalu minum dan membereskan piring bekas makannya.

"Ehh gak usah. Biar Bunda aja," cegah Bunda saat Bagas hendak membawa piring kotor itu ke wastafel.

"Ehh gak papa Bun, Bagas aja. Lagian Bagas udah biasa," tolak Bagas yang ngotot mencuci piring sendiri.

Bunda akhirnya menyerah, membiarkan Bagas mencuci piring kotor yang ia gunakan tadi.

"Siapa yang nelpon Gas?" tanya Ayah setelah Bagas kembali duduk di meja makan.

"Bunda Yah. Bagas langsung pulang ya. Bunda sama Ayah udah nunggu soalnya, makasih sarapannya Bun, Li dan makasih tumpangannya kemarin," ucap Bagas sembari berpamitan.

"Hati-hati ya," ucap Bunda yang mengantarkan Bagas sampai ke depan pintu gerbang.

"Deket Bun, cuma beda dua rumah," balas Bagas dengan tawa singkatnya.

"Ya kali aja kamu keseleo atau nyandung batu. Yaudah titip salam ke Bunda, sering-sering main ke rumah Bunda Lion gitu!" imbuh Bunda.

Bagas mengangguk, mengecup singkat punggung tangan Bunda Lion dan bergegas melangkah menuju rumahnya yang berjarak dua rumah dari rumah Lion.

Bunda kembali masuk ke dalam rumah dan mendapati Liona yang telah bersiap pulang ke rumahnya.

"Sering-sering main ke sini ya. Selama Bunda sama Ayah masih libur ngajar kita bisa liburan," ucap Bunda saat Liona hendak berpamitan.

"Iya Bunda siap. Boleh tuh Bun, nanti kita atur jadwal liburan ya," balas Liona setuju.

Daripada diam di dalam rumah yang seolah tanpa penghuni lebih baik Liona menghabiskan waktu dengan berlibur ke beberapa destinasi wisata.

Berlibur bersama keluarga Lion jauh lebih menyenangkan daripada berlibur dengan keluarganya. Keluarga dengan anggota para rekan bisnis.

"Hati-hati bawa sepedanya lion. Jangan ngebut, tar mantu Bunda lecet lagi," ujar Bunda pada putranya itu.

"Iya, Ayah juga setuju. Beres nganterin Liona langsung pulang gak usah mampir kemana-mana," imbuh Ayah.

Lion mengangguk pasrah. Liona benar-benar telah mencuri posisinya sebagai anak di keluarga ini, tapi gak mengapa asalkan Liona bahagia dengan kasih sayang kedua orang tuanya dia cukup bergembira hati.

"Yaudah yu Lio," ucap Bagas.

Liona segera berpamitan dengan Ayah dan Bunda, mengecup singkat kedua punggung tangan orang tua Lion, barulah setelah itu ia naik ke atas sepeda Lion tanpa duduk, ia berdiri di besi yang ada di dekat ban belakang dengan berpegang di pundak Lion.

"Siap?" tanya Lion memastikan.

"Alhamdulillah udah, ayo!" balas Liona mantap.

"Bismillah," setelahnya sepeda melaju dengan kecepatan sedang. 3 tahun lebih tidak membonceng Liona kali ini ia harus mengayuh lebih kuat lagi. Liona tambah berat ternyata.

"Berat banget sih kamu!" gerutu Lion.

"Sembarangan! Kamu aja yang ngayuhnya kurang tenaga!" tangkas Liona.

Ia tidak berat hanya bertambah berat badannya saja.

"Perempuan gitu ya! Jujur berat salah gak jujur berat toh faktanya berat. Serba salah emang jadi cowok," gumam Lion pelan.

"Apa?" tanya Liona yang sanyup-sanyup mendengar Lion berbicara.

"Enggak, pegangan yang kuat." Kilah Lion.

Angin juga langit biru menjadi saksi dua muda-mudi yang tengah bersepeda di terik matahari pagi, segala cinta dan harapan sejalan dengan kayuhan sepeda yang kadang naik kadang turun bahkan kadang berhenti.

Sama halnya dengan cinta Lion dan Liona yang akan diwarnai bumbu-bumbu kehidupan baik turun.