"Lo!" ucap Liona sebagai ucapan selamat datang pada tamu makan siang kedua orang tuanya.
Bagas balas tersenyum geli, ia tahu Liona tidak akan pernah mengira jika yang rekan bisnis kedua orang tuanya merupakan keluarganya.
Sama halnya dengan Bagas yang kebingungan saat pertama kali datang ke rumah Liona, ia jelas mengenal bangunan itu secara sepintas. Karena ragu ia memilih diam dan setelah masuk ke dalam rumah mengah ini, pertanyaannya terjawab.
Keluarga Liona merupakan rekan bisnis keluarganya yang baru. Kali ini Bagas bisa lebih santai, Liona bisa menjadi teman diskusi yang baik, setidaknya ia tidak perlu berpura-pura membahas rancangan bisnisnya di masa depan.
"Hai Lio," sapa Bagas.
Mami yang berdiri disamping Liona balas menyikut pinggang putrinya itu.
"Ehhh---hai," balas Liona kikuk.
"Udah kenal kan? Yu langsung duduk aja. Kita makan siang bareng, abis itu kita bisa ngobrol-ngobrol," ujar Mami meminta tamu undangannya untuk bergegas ke meja makan yang penuh dengan berbagai macam hidangan itu.
"Emmm, Tante boleh gak aku ajak Liona makan di pinggir kolam renang aja?" pinta Bagas.
"Boleh aja. Yaudah sana," balas Mami setuju.
Mau tidak mau Liona menurut, ia bergegas mengambil satu piring penuh berisi menu makan siang hari ini dan membawanya ke pinggir kolam bersama dengan Bagas yang mengekor dibelakang.
Kolam renang itu terletak tidak jauh dari ruang makan. Suasana yang asri dengan pohon-pohon berdaun hijau juga beberapa bunga mawar yang ditanam di sana membuat area kolam renang dan taman bunga yang ada disekitarnya dapat membuat mata terpana.
Liona dan Bagas memilih duduk di kursi taman dengan view jernihnya air kolam.
"Makan Gas," ucap Liona.
Bagas mengangguk, tangannya meraih sendok, satu suap nasi meluncur mulus ke dalam mulutnya.
Indera pengecap nya lantas bekerja dengan baik. Merasakan setiap rasa yang tidak asing itu.
"Ini lo yang masak?" tanya Bagas memastikan indra pengecapan nya tidak salah menilai citarasa makanan yang tengah ia nikmati ini.
Liona balas mengangguk.
"Enak," puji Bagas, namun tidak mendapatkan respon apapun dari Liona.
"Lo kenapa?" tanya Bagas lagi, pria di hadapan Liona ini tidak hentinya terus bertanya. Apa cara dia makan memang harus diselingi percakapan? Sama seperti apa yang kini tengah dilakukan kedua orang tua mereka?
"Makan mah makan aja. Lo gak usah kayak mereka," balas Liona sambil menunjuk keramaian empat orang dewasa disana dengan sorot mata yang tajam.
Bagas mengalihkan pandangannya pada kedua orang tuanya yang tengah asik bercengkrama sambil makan siang. Kebiasaan para pebisnis jika tengah bernegosiasi akan proyek baru.
"Lo gak suka?" tanya Bagas.
"Hmmm," balas Liona malas. Sudah jelas jawabnya, ya! Liona memang tidak suka jika diajak ke jamuan makan antar rekan bisnis kedua orang tuanya, karena ia tahu akhir dari semua itu hanya berkutat soal bisnis.
Membosankan untuk di dengar bagi remaja yang belum mengerti akan kehidupan bisnis.
"Sama sih! Gue juga kadang gak suka, tapi kadang gue juga tertarik," sambung Bagas.
Nasi dipiring Liona telah habis, kini ia bisa mengobrol dengan santai. Setidaknya selama menanggapi pertanyaan Bagas napsu makannya tetap terkendali.
Nasi dipiring Bagas juga telah habis. Kini ia dan Liona bisa mengobrol tanpa tersendat acara suap menyuap nasi.
"Lo kenapa Lio?" tanya Bagas.
Sedari tadi wajah Liona tampak murung, kelopak mata gadis itu turun pertanda ada beban berat juga rasa sedih yang mendalam.
Apa semua berhubungan dengan Annisa? Buku yang diberi gadis itu kemarin atau keluarga?
"Emang gue kenapa? Kok lo nanya itu terus?" bukannya menjawab Liona justru bertanya kembali.
Apa yang salah dengan dirinya? Apa topeng yang selama ini ia gunakan retak? Topeng bahagia!
"Lo gak baik-baik aja kan?" tanya Bagas lagi.
"Gue gak papa," balas Liona cepat.
Siapa bilang dia tidak baik-baik saja, lebih tepatnya Liona hampir gila jika terus memikirkan hal yang tidak ada ujungnya itu.
"Udah deh! Jujur aja!" ucap Bagas sembari menyadarkan punggung pada kursi taman itu.
Pria ini sangat jeli, ia bisa mengenali psikologi lawan bicara hanya dengan melihat raut wajah juga binar matanya.
"Kata orang, kejujuran seseorang itu bisa dilihat dari binar matanya dan binar mata lo itu memancarkan semua rasa sakit yang jelas gue gak tahu, tapi setiap kali gue liat mata lo, gue kek sedih aja. Maybe, perasaan sedih yang gue rasa juga sama kayak perasaan sedih yang lo rasain. Bahkan mungkin lebih," jelas Bagas.
Liona dengan mata yang mulai berembun mendengarkan dengan baik setiap kata yang keluar dari mulut Bagas, semuanya memang benar adanya. Bagas benar, ia memang sedang tidak baik-baik saja.
"Gue egois gak sih Gas?" cicit Liona pelan.
Ia sebenarnya ragu menceritakan masalahnya ini, tapi mungkin Bagas memiliki jawaban yang baik juga solusi yang sesuai dengan masalahnya ini.
"Egois? Dalam hal apa?" tanya Bagas serius.
"Mempertahankan Lion. Gue yakin lo ngerti arah pembicaraan gue," jawab Liona.
Tarikan napas Liona kian berat, rasa sesak di dada juga hati yang resah membuat suasana hatinya jadi kacau. Ia tahu ia tidak bisa mengulang kembali kejadian tempo hari, ia juga tahu akibat yang akan ia ambil dari perkataannya itu, tapi mengapa hari ini ia harus merasakan sesak di dada? Kemana rasa percaya diri Liona tempo hari?
"Apa semua ada hubungannya sama Annisa?" tanya Bagas memastikan. Dia pikir Liona memang kuat dalam mempertahankan cintanya. Tanpa beban tanpa paksaan juga tanpa rasa bersalah, tapi apa? Lihat gadis itu kini tertunduk lesu dengan sorot mata penuh rasa bersalah.
Patah-patah Liona mengangguk. Annisa! Kenapa gadis itu harus hadir dalam kisah cintanya, membuat rasa bersalah yang selama ini ia kubur dalam-dalam menguap kembali ke permukaan.
"Gak usah lo pikirin," balas Bagas santai.
"Lagian kalau lo jauhin Lion, belum tentu Lion mau sama si Nisa. Gue yakin si Lion justru bakalan marah sama si Nisa, bahkan mungkin gak mau deket-deket lagi. Percaya deh! Si Lion itu gak bercanda sama lo Lio, jadi gue harap lo juga bisa bertahan ditengah rasa gak enakkan lo itu," lanjut Bagas membangkitkan kembali kepercayaan diri Liona.
Wanita kadang kala terjebak dengan rasa bersalah yang keliru. Dalam hal cinta, menyakiti hati lain bukankah perkara lumrah?
Lihat pasangan suami istri yang baru saja menikah, sudah dipastikan masa lalu cinta mereka patah karena melihat kedekatan mereka, melihat kebahagiaan mereka, melihat binar cinta mereka yang dulu pernah mereka harapkan, jadi siapa yang egois? Ada yang tidak egois dalam hal cinta?
Coba pikirkan kembali, berapa banyak hati yang patah dalam cinta? Banyak bukan. Semua itu bersumber dari keegoisan pribadi yang ingin bahagia, semua manusia egois dengan kebahagiaan, kebutuhan juga kenyamanan masing-masing.