Chereads / Ricketly House / Chapter 27 - Gadis Manis

Chapter 27 - Gadis Manis

Kedua muda-mudi itu kini tengah asik menikmati beberapa menu andalan restoran dengan hidangan western itu.

Liona dengan lahap menyantap steak daging sapi bagian tenderloin yang dia pesan. Ada juga fried rice, chicken katsu, kentang goreng dan juga jus mangga kesukaan Liona dan juice jeruk kesukaan Rio. Tidak luput hidangan penutup, cheese cake, banana roll cake dan chocolate mouse.

"Enak banget," gumam Liona.

Rio mengangguk, tersenyum, tangannya naik merapihkan sisa saus bbq yang ada di sudut bibir Liona.

Liona yang diperlakukan seperti itu terpaku di tempatnya, dadanya berdegup kencang. Ini pertama kali dia diperlakukan dengan sangat romantis.

Secepat kilat dia menghalau perasaan aneh yang tiba-tiba bergeliat di hatinya.

Satu jam berlalu, beberapa piring hidangan hampir kosong. Rio bergegas membayar makanan pesannya.

"Balik yu!" ajak Rio setelah selesai membayar.

"Orang tua kita belum jemput. Gue gak mau mereka khawatir atau nyariin kita," balas Liona.

"Gue udah chat bokap. Mereka masih ada meeting sama klien lain, kita bisa balik duluan. Supir ada di parkiran," jelas Rio.

Tanpa menunggu waktu lama, Liona bangkit dan bergegas melangkah, tapi kali ini tanpa sungkan Liona menggandeng jemari Rio, menyeret tubuh pria itu dengan lembut.

Rio sempat bingung dengan apa yang dilakukan Liona, tapi tak ayal ia balas tersenyum. Akhirnya Liona mulai terbuka padanya. Satu tahap menjadi teman akan segera terlaksana.

Rio mengantar Liona kembali pulang, tapi bukan ke rumah gadis itu melainkan ke rumah temannya, Lion.

"Makasih buat hari ini Rio. Oh iya gue sama Lion, Bagas ada rencana mau liburan, lo ikut juga yu!" ajak Liona.

Mungkin tidak ada salahnya mengajak Rio, dia pria yang baik dan bisa diandalkan. Lagipula masalah Liona bukan pada Rio, tapi kedua orang tuanya yang selalu menuntut Liona tampil sempurna sama seperti Rio.

Rio jelas bukan alasan dari rasa sakit yang setiap hari Liona rasakan. Rio hanya peran sampingan yang membuat hidup Liona tampak jauh lebih berwarna.

"Boleh, tar chat aja. Tanpa orang tua kan? Gue males kalau ada orang tua," balas Rio.

"Awalnya dianter dulu sama Ayah, Bunda Lion, tapi nanti di tempat wisata kita bebas kok. Jadi tenang aja gak akan ada gangguan apapun. Lagian gak mungkin nginep juga, kecuali kalau kita camping," jawab Liona.

"Yaudah camping aja. Di puncak gimana? Gue ada vila juga di sana, lumayan lah nyegerin otak sebelum sibuk tugas," saran Rio.

Liona tampak berpikir keras sebelum akhirnya mengangguk mantap. Setelah supir membawa mobil mewah milik Rio pergi kembali ke garasi rumahnya sedangkan Liona dengan riang masuk ke dalam halaman rumah Lion yang tampak asri.

"Assalamu alaikum, Bunda lagi apa nih?" ucap Liona saat melihat ibu dari teman yang dia sayangi tengah asik menyiram beberapa tanaman kesayangannya.

"Waalaikum sama, lagi asik mandiin anak-anak Bunda. Gimana kondisi kamu? Jauh lebih baik? Obat udah dimakan kan?" tanya Bunda beruntun.

Liona tersenyum simpul mendengar beberapa rentetan pertanyaan itu. Bunda selalu cerewet, tapi itu yang dirindukan Liona.

"Alhamdulillah semuanya baik dan berjalan dengan sangat baik. Ion mana Bun?" tanya Liona lagi.

"Ada di kamarnya, kamu masuk aja. Bentar lagi Bunda juga selesai," jawab Bunda.

Liona mengangguk lalu bergegas masuk ke kamar yang biasa ia tempati, berganti pakaian dan kembali melangkah menuju kamar Lion. Pria itu pasti tengah asik membaca novel atau tidur.

Tok tok tok

Satu detik hening.

Tok tok tok

Masih sama.

Tok tok tok

Hanya terdengar suara cicak.

"Astaga! Pasti tidur deh tuh bocah. Yaudah deh gue masuk aja!" gumam Liona sambil memegang gagang pintu kayu itu.

Perlahan ia membuka pintu kamar Lion, menyembulkan kepalanya, kamar Lion tampak sepi.

"Di mana dia?" tanya Liona yang hanya bisa di dengar udara kosong.

Pintu kayu itu terbuka lebar dan Liona mulai mencari-cari keberadaan Lion di setiap sudut kamarnya, tapi nihil pria itu tidak ada di sana.

"Ihh ke mana sih? Katanya tadi ada di kamar," gerutu Liona karena tak kunjung menemukan kebenaran Lion.

Saat akan membuka pintu kamar mandi, telinga Liona mendengar suara. Dia merapatkan telinganya pada pintu kayu bercat coklat itu.

"Mandi ternyata," gumam Liona. Ia lantas duduk di kursi belajar milik Lion.

Membaca kembali buku tebal yang pria itu gunakan sebagai catatan hariannya.

Sesekali Liona tersipu malu saat membaca beberapa kalimat yang tertulis dalam setiap lembarannya.

"Si cantik yang selalu membuat aku salah langkah. Aku mungkin mencintainya, tapi apa artinya cinta tanpa ikatan yang resmi dan pengakuan secara publik yang dianggap sah secara hukum dan agama. Jika saja waktu bisa diputar, maka aku akan mengambil jalan cepat menuju dewasa, maka akan ku pastikan orang yang pertama kali aku temui selain Ayah dan Bunda adalah Liona. Aku ingin mengajaknya menikah dan membina keluarga kecil. Manis, tapi sayang hari itu itu hanya halusinasiku." Tulis Lion.

Bukan hanya Lion, Liona juga memimpikan kehidupan yang sama, tapi apa daya. Mereka masih terlalu dini untuk mengenal akan hidup berumah tangga.

Liona balas menarik napasnya panjang. Tersenyum kecut dengan keadaan yang tengah terjadi. Ia hanya bisa bersabar sampai tiba waktunya.

"Pengen cepet dewasa, tapi kadang mikir apa dewasa semenyenangkan itu? Sekarang aja hidup gue berantakan, keluarga yang lengkap, tapi kurang kasih sayang. Tuntutan bejibun, hah! Tahu lah! Gue pusing sendiri kalau mikirin semua itu," ucap Liona dalam hati.

Setelah lelah dan bosan. Liona memilih untuk naik ke ranjang Lion. Merebahkan tubuhnya yang lelah dan mulai terlelap dengan selimut putih juga bantal guling yang nyaman.

Tak berselang lama Lion keluar hanya dengan mengenakan handuk yang melilit bagian bawah tubuhnya.

Lion terpaku melihat Liona yang kini tertidur di ranjang besarnya.

"Untung dia tidur, kalau enggak bisa bahaya," gumam Lion.

Pria itu kini melangkah perlahan tanpa menimbulkan suara, ia tidak ingin membuat Liona terbangun dan melihat dirinya yang tidak berpakaian.

Lion bergegas membuka lemari pakaian, kembali ke kamar mandi dan bergegas mengganti pakaiannya.

Setelah selesai ia kembali ke kamarnya, menjemur handuk di balkon kamarnya dan beralih duduk di samping Liona yang tertidur.

Tangan kanan Lion naik membenarkan rambut Liona. Sesekali ia mengelus lembut kepala gadis manis itu.

Tanpa disadari ujung sudut bibir Lion terangkat membentuk setengah lingkaran. Sangat manis.

"Aku suka kamu yang kayak gini Liona, kamu yang apa adanya. Aku bahagia kamu mau menutup aurat kamu, ya walaupun di hadapan aku kamu masih enggan melakukan hal itu. Tetap bahagia bersamaku Liona, aku ingin membantu kamu mencari kebahagiaan yang selama ini kamu inginkan. Aku berjanji tidak akan pernah pergi, asal kamu juga gak pergi dari aku. Rio hanya teman bagimu, aku harap itu," gumam Lion yang tentunya tidak bisa di dengar Liona.

Bagaimana pun Lion tetap iri dengan kedekatan Liona dan Rio, pria itu jelas memiliki apa yang tidak bisa dimiliki Lion dan keluarganya. Belum lagi Bagas, ketakutan itu kadang membuat Lion tidak ingin hidup di keluarga yang pas-pasan, tapi ia tidak bisa berbuat lebih karena dia jelas tidak bisa meminta untuk dilahirkan di keluarga yang seperti apa. Dia hanya manusia biasa dengan takdir yang tidak pernah terteka.