Chereads / Ricketly House / Chapter 25 - Bisnis Jodoh

Chapter 25 - Bisnis Jodoh

Suara lembut namun terkesan tegas itu membuat ruang rawat Liona tampak lenggang. Tidak ada yang berani membuka suaranya, semua diam menatap wanita berjas abu-abu yang melangkah mendekat ke ranjang dimana Liona kini berbaring.

"Sekarang kamu bisa pulang kan?" tanyanya lagi.

"Liona baru aja makan Tante, mungkin siang Liona baru bisa pulang," celetuk Bagas.

"Gak bisa! Kamu pulang sekarang. Mami sama Papi ada meeting sama klien dan kamu harus ikut! Ada Rio juga di sana," jelas Mami, wanita yang menjabat sebagai ibu Liona.

"Mami gak liat tangan Liona?" balas Liona.

"Itu bisa dilepas, gak usah manja! Sekarang ganti pakaian kamu pake ini!" jawab Mami sambil melempar paper bag berwarna hitam yang ia bawa.

Lion menangkap paper bag itu dan menyerahkannya pada Liona.

Dengan malas Liona menerima paper bag itu dan membukanya, gaun warna hitam dengan high heels dan beberapa alat make up juga aksesoris seperti jam, cincin dan kalung menjadi pelengkapnya.

"Liona gak mau pake ini," tolak Liona sambil meletakkan paper bag itu di nakas.

"Apa maksud kamu?" tanya Mami.

"Kasih Liona pakaian yang bisa nutupin aurat Liona, baru Liona ikut!" jawab Liona.

Mami tampak menghela napasnya berat, lalu pergi begitu saja. Entah kemana, tapi bisa Liona pastikan ibunya itu akan membeli baju baru dengan beberapa perlengkapan lainnya.

Setidaknya Liona bisa menghela napas walau sesaat.

"Kamu belum sembuh total Liona," ujar Lion khawatir.

"Iya bener. Lagian kenapa nyokap lo gak ngerti sih? Kan dia liat sendiri gimana kondisi lo," imbuh Bagas.

Kini giliran Liona yang menghela napas berat, dia tidak ingin membuka aib keluarganya, tapi itu kelemahan yang sangat sulit untuk ditutupi.

"Gue bisa apa? Biaya rumah sakit ini mereka yang bayar, mereka jelas gak mau rugi. Lagian cuma makan siang aja kok, meeting dalih makan siang. Udah biasa gue!" jelas Liona.

Bagas balas mengangguk. Apa yang dikatakan Liona memang benar, tapi jika melihat kondisi Liona yang tengah sakit, rasanya tidak etis jika membawa gadis itu ke pertemuan resmi dimana pembahasan mereka berkutat soal bisnis, padahal Liona tidak bisa ikut mengobrol lalu untuk apa Liona dibawa ke tempat itu?

"Aku bisa kok ngomong sama Mami kamu supaya kamu gak usah ikut," saran Lion.

Pria itu tampak begitu khawatir dengan kondisi Liona yang masih dibalut baju pasien dengan tangan yang diinfus.

Dia tidak ingin terjadi apa-apa pada Liona, dia hanya ingin memastikan Liona bisa beristirahat dengan cukup dan hanya fokus pada kesehatannya.

"Gak usah Lion. Makin rumit tar, gue baik kok. Kondisi gue jauh lebih baik dari kemarin, jadi kalian gak usah khawatir. Oh iya chat Bunda dong, gue mau Bunda yang pakein gue kerudung, nanti malem gue nginep di rumah lo deh, lo juga ikut ya Gas," tuntas Liona.

Lion tidak bisa berbuat apa-apa lagi, Liona telah menolak bantuannya. Dia akhirnya memilih untuk mengabari Bunda kalau Liona akan segera keluar dari rumah sakit dan meminta bantuannya untuk membantu Liona bersiap-siap.

Bagas sendiri hanya diam memperhatikan, dia jelas tidak bisa berbuat banyak karena bukan keluarga Bagas yang akan ditemui kedua orang tua Liona.

Semakin mengenal Liona, perasaan penasaran juga iba mulai hinggap di benak Bagas, tapi dia cukup tahu tidak ingin melebihi kapasitasnya sebagai seorang teman baik dari Lion.

Bagas tahu, Lion jauh lebih berharap banyak pada Liona. Cinta keduanya jelas sangat kuat bahkan setelah waktu dan jarak membuat keduanya berpisah.

Tapi keduanya saling merindukan dalam diam, dalam doa-doa panjang setiap malamnya.

Tidak berselang lama, Bunda datang disusul Mami.

"Nih!" ucap Mami yang kembali memberikan paper bag warna hitam itu.

Liona menerimanya, membuka dan tersenyum simpul pada Bunda.

"Bisa bantu Liona siap-siap kan Bun?" tanya Liona.

Bunda balas tersenyum dan mengangguk, tanpa diminta Lion dan Bagas keluar. Membiarkan Bunda menjalankan tugasnya.

Tiga puluh menit berlalu, Liona telah siap dengan jilbab panjang yang membalut kepalanya, suster dan dokter tadi sempat mengecek kondisi Liona lalu melepas jarum infus yang menempel di punggung tangan Liona.

Kini diatas kursi roda Liona duduk dengan Mami yang mendorongnya dari belakang.

"Tunggu gue di rumah Lion. Tar gue langsung ke sana kok," ucap Liona di depan Lion yang tengah duduk di kursi ruang tunggu yang ada di depan pintu ruang rawat Liona.

Lion balas tersenyum simpul lalu mengangguk dan membiarkan Mami mendorong kursi roda Liona menjauh.

"Balik yu!" ajak Bagas.

"Ayo pulang," imbuh Bunda.

Sekali lagi Lion mengangguk, hanya matanya yang terus fokus menatap punggung Mami yang menjauh dengan Liona yang berkali-kali mengacungkan jempolnya, memberikan isyarat pada Lion bahwa dia baik-baik saja.

Jujur dalam hatinya, Liona tengah sudah payah menahan derai air matanya saat tadi Mami meminta dia untuk ikut bergabung dalam meeting itu.

Apa yang sebenarnya dipikirkan Mami? Apa dia tidak memiliki sedikitpun rasa kasihan atupun empati pada Liona?

Liona bahkan tengah berbaring di ranjang pesakitan, tapi Mami tetap memaksa Liona untuk tetap ikut.

"Senyum! Jangan sedih!" celetuk Mami membuyarkan lamunan Liona.

"Mami kalau nyetir ya nyetir aja. Aku juga mau fokus nata pikiran aku," balas Liona singkat tanpa sedikitpun menoleh pada Mami yang duduk di kursi kemudi.

Mami tidak balas menyahut. Dia diam dan fokus menyetir. Masih banyak yang harus dia pikirkan, urusan Liona mudah untuk diurus jadi lebih baik fokus dengan perbincangan nanti.

Satu jam berlalu, kini kedua wanita lintas generasi itu tengah duduk menanti kedatangan kepala keluarga mereka juga tamu yang akan mereka temuin.

Sebelumnya Liona telah memesan beberapa makanan yang menjadi andalan restoran ini, sedikit banyaknya Liona bisa belajar bersabar atau lebih tepatnya dia bisa meluangkan waktu untuk berchating ria bersama Lion.

Lion tak hentinya mengirim beberapa pesan singkat yang berisi pertanyaan, apa dia sudah makan? Apa dia sudah sampai? Sedang apa? Apa Rio dan keluarga telah datang? Dan yang lain sebagainya.

Liona dengan telaten membalas satu persatu pesan singkat itu lalu kembali bertanya hal yang sama pada Lion.

Kedua asik dalam dunia maya, melupakan sejenak apa yang terjadi di dunia nyata.

Saat tengah asik berbincang, Papi dan keluarga Rio datang. Membuat Liona terpaksa menghentikan kegiatannya. Saatnya berpura-pura.

"Bangun," tegur Mami.

Liona menurut bangun dan saat Papi juga Ayah Rio dan ibunya datang dia bergegas bersalaman dengan mereka. Tidak lupa tersenyum dan menuntun mereka duduk di tempat yang kosong.

"Anak kamu makin cantik aja," ujar ibu Rio.

Rio yang duduk di dekat Ayahnya tersenyum dengan pipi yang memerah.

"Dih yang dipuji juga gue! Kok lo yang blushing?" gumam Liona.

"Diem!" tegur Mami.

Liona kembali memasang senyum palsunya yang canggung padahal itu sebuah ejekan tak tersirat.

"Gimana kalau kita jodohkan mereka?" celetuk Ayah Rio.

"Gak!" balas Liona spontan dan berhasil membuat beberapa pelanggan menatap ke arahnya.

Jika pertemuan ini hanya untuk meeting maka seharusnya fokus untuk meeting. Tidak ada tambahan perjodohan segala! Sungguh Liona muak dengan perjodohan berbisnis ini. Liona punya jelas punya pilihan sendiri.